Konten dari Pengguna

Lika-Liku Politik Ketua Kelas

Alit Teja Kepakisan
Penulis Lepas & Mahasiswa Universitas Terbuka
23 Maret 2024 11:30 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alit Teja Kepakisan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Joko Widodo menghadiri acara Silaturahmi Ramadhan 1444 H DPP PAN di Kantor DPP PAN, Jakarta, Minggu (2/4/2023).  Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo menghadiri acara Silaturahmi Ramadhan 1444 H DPP PAN di Kantor DPP PAN, Jakarta, Minggu (2/4/2023). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan sehari-hari, yang mudah untuk kita lihat adalah kaki kita sendiri. Kaki, untuk bisa melangkah, dia perlu satu kaki yang di depan untuk berjalan dan begitu pun sebaliknya. Setelah kemenangan Jokowi-JK pada 2014, hampir bisa dipastikan tidak ada yang namanya matahari kembar, karena Megawati adalah ketua kelas. Jokowi bukan politisi yang seperti 2023-2024 kita lihat pada 2014, hampir bisa dipastikan bahwa PDIP adalah ketua kelas koalisi.
ADVERTISEMENT
Partai pengusung seperti Nasdem, PKB dan Hanura sudah pasti ikut PDIP. Pada 2019, misalnya, kita bisa melihat bahwa PDIP kembali sebagai ketua kelas tetapi memang bahwa perahu bocor di dalam koalisi itu sudah muncul ketika Nasdem mulai bertemu dan berpelukannya antara Surya Paloh dan Sohibul Iman dari PKS adalah tanda bahwa ada perahu bocor.
Tetapi, hal yang paling penting adalah bahwa politik ketua kelas ini memang merupakan konsekuen dari sistem presidensial yang dibalut dengan multipartai. Sejak kemenangan SBY-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004, cenderung kontestan yang pertama kali bertarung pada Pilpres itu didukung oleh minoritas.
Jokowi-JK pun demikian, bahwa Jokowi-JK itu hanya diusung oleh PDIP, Nasdem, PKB dan Hanura lalu lawannya adalah Prabowo-Hatta yang merupakan didukung oleh Gerindra, PAN, Golkar, PPP dan PKS, sehingga ketika Jokowi pertama kali duduk sebagai Presiden pada 20 Oktober 2014, setelahnya Koalisi Indonesia Hebat selalu dicukur oleh Koalisi Merah Putih.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya Golkar dan PAN merapat lalu disusul oleh PPP yang kemudian kekuatan Jokowi membesar setelah di 2019 kembali mengalahkan Prabowo-Sandi. Ditambah gabungnya Prabowo ke dalam pemerintahan, kekuatan Jokowi kian membesar dan semakin meyakinkan adanya stabilitas politik untuk memuluskan apa yang menjadi tujuan yaitu pembangunan dan ambisi-ambisi.
Politik Ketua Kelas ini menurut saya harus dipertimbangkan secara matang. Keuntungan Jokowi selama dua periode adalah memiliki kepercayaan diri bahwa kendaraan partainya adalah partai pemenang. Kalau kita melihat realitas hari ini, PDIP memang masih ada di puncak tetapi urutan kedua bukan Gerindra melainkan Golkar.
Menurut saya, ada pemisahan besar antara identitas Prabowo sebagai tokoh yang tidak ikut ke dalam Gerindra. Walaupun kalau berbicara soal Gerindra, sudah pasti bicara soal Prabowo tetapi bila berbicara soal Prabowo maka tidak selalu identik dengan Gerindra. Maka ini harus dipertimbangkan bahwasanya sistem presidensial yang dipadukan oleh sistem multipartai harus juga menjadi pertimbangan besar.
ADVERTISEMENT
Memang, ini mengingatkan kita dengan SBY yang pada periode pertamanya, Demokrat hanya mampu memiliki suara 7% tetapi dengan masuknya Golkar, komposisi menteri Golkar begitu besar, sekitar 7 kursi. Tetapi, Demokrat di 2009 kemudian menjadi papan atas tetapi Demokrat dengan kekuatan SBY mampu menarik kekuatan Golkar dengan mengganti Jusuf Kalla (JK) pada 2009 dan kemudian menjadi partai pemerintah.
Di era Presiden Jokowi, PDIP (Megawati)-lah yang menjadi Ketua Kelas, bukan Jokowi. Ini karena momentum kemenangan Jokowi disertai partai yang sudah kuat dan berhasil menduduki posisi atas yaitu PDIP. Jadi, sangat bisa dibayangkan posisi PDIP begitu banyak dalam kursi kabinet. Bahkan, ketika di periode kedua, tetap PDIP menjadi dominasi yang menduduki kursi di kabinet.
ADVERTISEMENT
Tetapi, periode kedua akan menjadi ulasan yang menarik apabila dibandingkan dengan periode pertama. Pada saat menjabat pertama kali sebagai presiden, Jokowi adalah pemimpin yang ditagih oleh Debt-Collector. Kursi Jaksa Agung diraup oleh Nasdem, Sutiyoso menjadi Kepala BIN dan Budi Gunawan yang merupakan ajudan Megawati saat menjadi Wakil Presiden mendapatkan kursi Kapolri meski dibatalkan dengan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK tetapi kelak menjadi Kepala BIN.
Ini menandakan bahwa kalau dipetakan bahwa Jokowi memberikan kursi di periode pertama kepada partai-partai tetapi dominasi Ketua Kelas tetap dipegang oleh PDIP sebagai partai yang memberikan cap kepada Jokowi sebagai “Petugas Partai”.
Di periode kedua, aroma perpecahan memang sudah pasti ada, dalam hal ini kita membaca Nasdem yang sudah jauh mempersiapkan Anies sebagai jagoan. Lalu, pertemuan Nasdem dengan PKS yang mana dilakukan setelah pengumuman kabinet pada 2019, adalah ciri dimana koalisi Jokowi di periode kedua sepertinya adalah para penumpang kapal sudah menyiapkan sekoci agar berlabuh di 2024 nanti sedikit lebih siap daripada hanya larut pada kekuasaan Jokowi di periode terakhir.
ADVERTISEMENT
Ketika bergabungnya Prabowo, menurut saya, adalah titik dimana Jokowi mencoba mengganti ketua kelas tetapi dengan cara yang perlahan dan kemudian menjadi simbolis yaitu Prabowo dengan kendaraan bernama Gerindra. Apakah itu efektif? Jawabannya sederhana, harus perlahan tanpa terbata-bata.
Karena memang Jokowi sudah menjadi kekuatan yang bisa kuat dengan memanfaatkan kepercayaan dan kepuasan sekaligus citra Jokowi yang bisa dikatakan masih kuat bahkan sampai pada 2023, kekuatan Jokowi masih begitu kuat. Hingga ada isu mengenai king-maker bahwa ada semacam pertentangan antara king maker ini yaitu Jokowi dan Megawati. Kita bisa memastikan bahwa tidak semua pendukung Jokowi adalah PDIP tetapi PDIP belum tentu menjadikan Jokowi sebagai tokoh sentral, melainkan Megawati.
Menurut saya, Jokowi tidak percaya dengan PDIP karena kultur yang ideologis sedangkan Jokowi bukanlah ideolog melainkan pembangunanisme yang hampir pasti tidak menekankan ideologi melainkan pragmatisme, termasuk pragmatisme politik. Hubungan Ganjar dan Jokowi sebenarnya ditonjolkan apabila Jokowi memang masih murni seorang PDIP tetapi setelah Piala Dunia U-20 dan dibentuknya Koalisi Besar yang didepannya ada Jokowi, seolah-olah bahwa Jokowi ingin menunjukkan bahwa eksistensi dirinya bukanlah PDIP melainkan seorang King Maker.
ADVERTISEMENT
Mungkin orang tidak bisa membayangkan pada 2022 bahwa Gibran akan mampu mendongkrak elektabilitas tetapi dengan gaya Jokowi yang dibekali oleh kepuasan dan kepercayaan serta citranya yang lebih meluas daripada PDIP, ia mampu menggalang kekuatan yang lebih maksimal. Karena itulah menurut saya, Ganjar yang dianggap menjadi bayangan Jokowi tetapi ketika Ganjar menjadi seorang yang keras dengan garis ideologi partai maka Jokowi seperti lepas tangan.
Meski hadir saat mendeklarasikan, Jokowi seperti memiliki kehendak yang lain dan momentum Prabowo sangat tepat dengan mengatakan tunduk kepada Jokowi disaat Ganjar tunduk kepada partai. Taruhannya hanya satu, semakin Jokowi sukses dengan akrobatik pemerintahan dan akrobatik politiknya, maka Prabowo pasti akan jalan dan ditambah pula dengan memilih Gibran yang merupakan wujud asli seorang Jokowi daripada dengan partai-partai yang memiliki kepentingan lain.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, masalah yang harus dipikirkan setelah kemenangan kemarin adalah siapa ketua kelasnya? Kalau kita merujuk hasil pemilu atau hasil Pileg, tentu Golkar sedikit lebih unggul dari Gerindra sedangkan posisi nomor satu tetap oleh PDIP. Momentum kemenangan Prabowo ini tidak disertai dengan posisi partai. Berbeda dengan Jokowi, meski PDIP tampak monopoli tetapi realitanya bahwa ia adalah posisi atas.
Sedangkan, Gerindra bagaimana? Apakah tunduk dengan kekuatan Jokowi? Yang bahkan kabarnya akan merebut Golkar tetapi peliknya ketua kelas ini menurut saya juga disertai dengan alasan bahwa apakah yang memenangkan Prabowo-Gibran adalah Jokowi, Prabowo atau Partai? Sehingga, ada partai yang mau langsung lima kursi.
Padahal, ketua kelas ini haruslah menjadi perhatian yang serius terutama untuk stabilitas pemerintahan Prabowo-Gibran. Sehebat apapun Jokowi, ia akan berakhir pada Oktober 2024 dan belum ada posisi yang strategis dimiliki Jokowi.
ADVERTISEMENT
Walaupun sang putra adalah Wakil Presiden tetapi mental Gibran menurut saya tidak akan seperti JK seperti saat ia menjadi Wakil Presiden SBY (2004-2009). Realistisnya menurut saya adalah politik ketua kelas ini, sebaiknya menjawab dahulu adalah siapa yang menjadi faktor pemenang Prabowo-Gibran? Apakah partai, Jokowi atau Prabowo yang berhasil melakukan transisi dari galak-galakan lalu berubah menjadi boneka “gemoy” ditambah dengan aksi-aksi Gibran? Silahkan dijawab.