Konten dari Pengguna
Megawati dan Menanti PDIP
16 Juli 2025 9:01 WIB
·
waktu baca 10 menit
Kiriman Pengguna
Megawati dan Menanti PDIP
Apakah Megawati akan kembali terpilih sebagai ketua umum PDIP? Saya memiliki imajinasi politik, dan membayangkan, PDIP pasca Megawati seperti apa.Alit Teja Kepakisan
Tulisan dari Alit Teja Kepakisan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
“Insyaallah Ibu Ketua Umumnya yang akan memutuskan,” kata Said Abdullah sebagaimana saya kutip berita di Kumparan yakni Jadwal Kongres PDIP Masih Belum Pasti, Kader Tunggu Arahan Megawati pada 24 Juni 2025. Alias belum lama ini, namun, Kongres PDIP ini apabila menjadikan Megawati Soekarnoputri kembali sebagai ketua umum, saya akan memberikan semacam skenario, apa yang memungkinkan terjadi.
ADVERTISEMENT
Sebab, haruslah diakui, Megawati sebagai salah satu tokoh yang sebagai simbol reformasi, bukanlah bisa dipandang sebelah mata. Brave Lady, begitulah saya menggunakan istilah sebagaimana buku yang berisi kumpulan tulisan di Kabinet Gotong Royong pada kepemimpinan Megawati - Hamzah Haz.
Brave Lady bernama Megawati Soekarnoputri ini amat penting diperhitungkan. Setiap pidato pada awal Januari, selalu ada hal yang nyentrik untuk dijadikan analisa komunikasi politik. Sekalipun gaya pidatonya terkesan blak-blakan apa adanya, namun saya melihat bahwa Megawati memang memiliki hal yang prinsip dalam dinamika politik kita.
Lantas, skenario apa yang bisa kita pertimbangkan?
Ideologi dan Identitas
Burhanudin Muhtadi bersama dengan Edward Aspinall, Diego Fossati, Eve Warburton dalam tulisan berjudul Mapping The Indonesian Political Spectrum dengan temuan bahwa dari spektrum antara lain : Pancasila & Agamis, Kiri & Kanan, berbasis Islam atau tidak bahwa PDIP memang partai yang Pancasila dan spektrumnya cenderung ada di kiri.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dalam hasil penelitian sebagai berikut.
Tetapi, saya tidak ingin sekedar mengutip hal itu, hanya saja yang menarik ada beberapa indikator yang menunjukkan PDIP ini ibaratnya adalah "kiri abis" dalam dua hal yakni Pancasila dan Reformasi (nanti kita ulas korelasi kuat dengan Megawati) bahwa PDIP itu kiri habis.
Nah, Pancasila dan soal Reformasi inilah yang menurut saya lebih menjadi identitas dan bahkan cara pikir daripada PDIP itu sendiri, yakni partai yang lahir dari euforia reformasi. Meski saya tidak menutup bahwa Soekarnoisme ada di dalamnya, tetapi dalam konteks abad ke-21, soal reformasi lebih dekat.
Meskipun konon partai kita tidak memiliki perbedaan, sebab tidak menjadi implementasi kebijakan, itu memang terlihat dalam tanda petik tidak kaku secara ideologi. Tentu, apapunlah alasannya bahwa partai kita, soal ideologi terutama, itu lebih kepada akibat daripada sebab. Analogi sederhana dari Chatib Basri, bahwa dalam bidang ekonomi misalnya bahwa tidak ada perdebatan fundamental.
ADVERTISEMENT
Semua capres-cawapres, bahkan partai, itu akan setuju dengan segala hal. Mengatasi kemiskinan, menghadirkan keadilan, pro iklim investasi, keterlibatan negara di dalam subsidi, bahkan slogan gratis - gratis itu. Semua orientasinya tidak ada kata "hemat" atau "surpluskan APBN" melainkan "spending". Tidak layaknya perdebatan fundamental seperti Hillary Clinton dengan Donald Trump pada debat 2016 silam yang secara ekonomi bertentangan.
Saya sepakat. Di bidang politik pun kita cukup dinamis. Siapa bilang pengaruh elit politik Jakarta begitu berpengaruh ke daerah? Ingat PKS dan PDIP itu cenderung oposan secara elit sulit akur dan sepanjang Jokowi, PKS menyisakan diri sebagai oposisi. Tapi, ideologi mereka bersatu ketika Jokowi mencalonkan Gibran. Yang notabene, sebenarnya ideologi "Anti-Jokowi".
Konon, ideologi kita seperti nasionalis dan religius itu mempengaruhi. Celotehan elit, sepanjang yang saya dengar dan baca menjelang Pilpres 2024, ada dua kubu yakni Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo yang kental akan nuansa nasionalis-religius itu. Maka, ketika Anies saat itu mengulur waktu mengumumkan Cawapres, menurut Effendi Choirie bahwa "cari dari NU".
ADVERTISEMENT
Romahurmuziy, Gus Rommy, selaku elit PPP, mengakui betul bahwa dampak nasionalis-religius itu adalah kodrat politik kita. Dari Soekarno-Hatta, kemudian misalnya Gus Dur-Megawati, lalu pada Pilpres 2004 adalah contoh konkret implementasi nasionalis-religius yakni Megawati-Hasyim Muzadi, Wiranto-Salahuddin Wahid, Hamzah Haz-Agum Gumelar, Amien Rais-Siswono dan SBY-JK , yang dalam tanda petik JK sebagai sosok religius.
Namun, terlepas soal itu, memang tidak bisa disamakan antara identitas dan ideologi. Dua hal yang dalam pandangan saya tidak bisa serta merta disamakan. Harus diakui bahwa perilaku pemilih kita erat kaitannya dengan personal daripada platform, program bahkan ideologi itu sendiri.
Sebab, semua partai yang ada di Parlemen, meski tidak selalu, semuanya selalu sepakat dalam hal - hal yang mungkin di Amerika Serikat atau di negara yang memiliki pertempuran ideologi cukup kuat perdebatannya. Contoh saja misalnya di Amerika Serikat, soal seperti sabuk pengaman dan masker saja mendapatkan resistensi dan persoalan ideologi.
ADVERTISEMENT
Tapi impresi saya melihat bahwa partai di Indonesia, lekat sekali dengan personal/figur daripada ideologi itu sendiri. Nah, dalam konteks PDIP, dan hasil penelitian Burhanudin Muhtadi, dkk, lantas apa yang melekat dalam PDIP? Saya akan urai sekilas, untuk melihat benang merah antara Megawati Soekarno Putri dan momentum reformasi dan kenapa Sukarnoisme sebenarnya dalam pandangan saya tidak menjadi yang "core" di dalam pembentukan identitas PDIP?
Dalam tulisan saya di Kumparan berjudul Purifikasi PDIP, saya sudah secara timeline, memperlihatkan sejarah PDIP dan khususnya PDI sebagai wadah di dalam karir politik Megawati dalam Orde Baru.
PDIP, Karena Peran Soeharto?
Mingguan Editor No.6, pada 3 Oktober 1987 , ada Megawati di dalam cover itu dengan kata kunci : Megawati Soekarno. Lalu, dibawahnya ada DPR & Politik. Bisa dibilang, Megawati tidak lahir karena sang Ayah, melainkan Soeharto.
ADVERTISEMENT
Kita berangkat daripada mingguan Editor ini. Kenapa penting? Edisi itu juga ada menampilkan tragedi 1 Oktober 1965, soal Jenderal dan satu Kapten yang terbunuh pada tragedi itu. Pesannya bukanlah sekedar mengingat tragedi itu karena bulan Oktober, tetapi juga pesan terselubung yakni sebagaimana kata - kata Muhidin M. Dahlan dalam menafsirkan mingguan itu bahwa : Hati - hati, karena ada Soekarnoisme.
Simbol Soekarnoisme yang memiliki aroma Nas-a-kom (Nasakom) itu, warna yang mencolok adalah Kom-nya, yakni Komonis (Eh, komunis maksudnya). Maka, kalau Anda baca secara teliti memoar Kivlan Zen berjudul Dari Fitnah ke Fitnah, selalu saja dalam catatan memoar itu setiap berbicara kesaksian tentang Megawati dan PDIP atau secara umum aktivis atau mahasiswa itu selalu diikuti oleh narasi "orang kiri". Ibarat kata, "orang" yang di cap "kiri" (saya gunakan tanda petik), bahwa selalu mengikuti Megawati.
ADVERTISEMENT
Poin saya adalah bahwa orang Kiri, pada masa Orde Baru, nanti bisa dilihat di dalam novel Laut Bercerita karya Leila S Chudori, itu harus dilakukan secara sembunyi - sembunyi dan kiri adalah simbol perlawanan. Dalam novel itu misalnya disebutkan cerita soal Kedung Ombo, bahkan Kiri tidak mesti Komonis (sekali lagi, Komunis, maksudnya), melainkan juga progresif secara politik dan lambang demokrasi terhadap rezim yang menekankan stabilitas dan kebudayaan berkuasa secara penuh dengan kendaraan Golkar yakni Soeharto.
Maka, Megawati sedikit banyaknya lahir karena apa? Orde Baru c.q Soeharto. Bukan Soekarnoisme, bahkan ideologi Soekarno yang ada di dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Sarinah dan pidato lainnya. Menurut saya tidak secanggih itu dalam membangkitkan gairah perlawanan akar rumput, baik itu aktivis, mahasiswa dan akar rumput militan. Megawati lahir sebagai simbol perlawanan. Maka, sebagai kesimpulan bahwa ideologi atau nilai yang diusung barangkali memang Soekarnoisme tetapi identitasnya tetaplah Megawati itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Karakternya adalah Megawati Soekarnoputri, ajaran dan warna partainya adalah Soekarnoisme. Bisa dilihat bagaimana Said Abdullah yang memilih jadi PDI karena membaca Sarinah, namun kemudian tetap di dalam koridor politik Megawati Soekarnoputri (Soal Said Abdullah, bisa dilihat dalam salah satu podcast).
Identitas PDIP bagaimana pun akan tetap melekat di dalam Megawati itu sendiri, sebagai memori dan simbol perlawanan terhadap Orde Baru. Ketika Megawati dihadapkan pada Kudatuli atau Kudeta 27 Juli 1996, ia berhasil melakukan konsolidasi meskipun PDI (Partai Demokrasi Indonesia) itu direbut Soerjadi.
Alhasil, menurut catatan Virdika Rizky Utama dalam bukunya berjudul Menjerat Gus Dur, bahwa Kongres V PDI yang berlangsung pada 8 s.d 10 Oktober 1998 , memilih Megawati sebagai ketua secara aklamasi meski yang diakui hanya Soerjadi, akhirnya berdirilah kemudian partai bernama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) agar ikut Pemilu 1999, akhirnya didirikan menandingi PDI.
ADVERTISEMENT
Hal-hal yang terjadi pada Megawati, mulai dari menjadi Ketua PDI dari Kongres Sukolilo, menghadapi Kudatuli, dan tidak kalah penting perlakuan Soeharto terhadap Soekarnoisme terhadap ajaran maupun keluarga atau trah Soekarno, menyebabkan simpati Wong Cilik dan orang-orang Kiri menjadi ekor Megawati.
Siapa bilang Megawati menjual nama Soekarno? Sepengetahuan saya, Rachmawati Soekarnoputri menggunakan Partai Pelopor, sebuah gagasan Soekarno pada era pergerakan (bisa ditemukan pada karya Dibawah Bendera Revolusi Jilid I), tidak mampu mendongkrak bahkan menyaingi PDIP yang notabene menjadi pemenang pada 1999.
Sukmawati juga mendirikan PNI Marhaenisme, yang barangkali romansanya adalah PNI pada Pemilu 1955, nyatanya juga tidak mampu. Maka, Soekarnoisme atau Soeharto yang berperan terhadap besar, kuat dan fragile politik PDIP lewat kepemimpinan Megawati? Jawaban saya jelas, bahwa Soeharto memiliki peran yang besar.
ADVERTISEMENT
Pada 27 November 2023, misalnya, Megawati dengan gamblang "penguasa saat ini" seperti Orde Baru. Orang yang hanya ikut politik lima tahun sekali akan merasa absurd akan ucapan itu. Namun, bagi yang membaca sejarah politik barangkali lebih kritis, bahwa melekatnya identitas perlawanan itu lebih dimiliki PDIP dalam hal ini Megawati.
Maka, dalam konteks hari ini, seberapa relevan ideologi dan identitas PDIP itu, khususnya apabila Kongres nanti kepemimpinan masih dikomando oleh Megawati dan bagaimana skenario yang mungkin kita bayangkan setelah Brave Lady Megawati seperti apa PDIP ini?
Manuver Megawati
Banyak analisis mengatakan bahwa Prananda dan Puan adalah dualisme dan beda gaya kepemimpinan. Sayangnya, saya lebih sepakat bahwa itu adalah Manuver Megawati. Bukan beda gaya Puan dan Prananda, yang dikenal bahwa Puan itu lebih kepada pendekatan komunikasi politik yang tidak kaku, sedangkan Prananda sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Saya melihatnya tidak seperti itu. Dewan Kolonel atau pun Dewan Kopral, tidak berdampak apapun kepada Megawati. Maka sebenarnya adalah bahwa ini hanya soal pembagian peran dan Megawati mempersiapkan identitas baru agar mudah diterima nantinya baik itu Prananda maupun Puan.
Memiliki pendekatan komunikasi lintas elit perlu dalam sebuah organisasi politik, apalagi partai yang gerak-geriknya selalu menjadi perhatian. Karena pemenang, kan? 1999, 2014,2019 dan kini 2024 masih di papan atas.
Nah, lantas yang kemudian dinamakan Manuver Megawati ini, menurut saya adalah bahwa Megawati sengaja memelihara manuver ini untuk mengenalkan trah Soekarno yang merupakan generasi baru, generasi yang tidak merasakan kehidupan sang Ayah Megawati yakni Soekarno, sebuah generasi yang baru.
ADVERTISEMENT
Ya, inilah dia bahwa kenyataannya apakah baik faksi Puan maupun faksi Prananda melahirkan perpecahan dan kemudian melahirkan tokoh seperti Eros Djarot yang kemudian keluar mendirikan partai? Tidak, kan? Manuverlah dahulu para kader, dengan Dewan Kolonel, Dewan Kopral bahkan nanti Dewan apapun, ketika Ibu Ketua Umum memutuskan, maka itu adalah final and binding.
PDIP tidak perlu ada layaknya perpecahan Golkar, yang bisa kita baca bahwa partai yang hasilnya cukup memuaskan pada Pemilu, maka ketua umum sang nahkoda didongkel dari kursi di tahun yang sama. PDIP tidak segampang itu.
Karena itu, kerasnya suara Hasto Kristiyanto yang kemarin itu dinilai sangat keras, merupakan corak identitas PDIP itu sendiri. Ia sadar sekali bahwa PDIP ini selalu dikenang akan perlawanan. Ingat Rieke Diah Pitaloka, Puan Maharani yang keras menjadi oposisi pada SBY? Ya, itulah yang dikenang dari PDIP.
ADVERTISEMENT
Karena itulah, maka menggunakan Puan sebagai sebuah elit yang cair dan mudah berkomunikasi politik, adalah upaya menjadikan PDIP sebagai partai yang memiliki kebudayaan elit berkuasa, bukan sekedar oposisi dengan kritisisme yang keras. Apa suara keras dari Puan terhadap RUU TNI, Danantara, dll? Tidak ada, kan?
Nah, karena itulah, PDIP yang meski kekuatannya besar, karena itu sudah menang Pemilu dari 1999, 2014, 2019,2024, seharusnya sudah memiliki budaya berkuasa. Pengalaman memegang kekuasaan dan memahami sisi terang dan gelapnya kekuasaan adalah modal yang mumpuni untuk pelajaran PDIP sendiri.
Dan, sebagai penutup, maka sebenarnya bagaimana masa transisi ini apabila Megawati tidak lagi memegang komando terhadap partai besar ini? Karena itu, PDIP harus memantapkan konsolidasi dan transisi dari Megawati yang kental akan perlawanan terhadap partai yang pendekatannya komunikasi politik seperti Puan, Bambang Wuryanto dan Said Abdullah?
ADVERTISEMENT
Maka, apabila Kongres nanti memilih kembali Megawati sebagai ketua umum, seharusnya menjadi keputusan yang bijaksana. Sebab, dualisme yang dianggap selama ini perpecahan harus memaksimalkan konsolidasi dua jenis pendekatan dalam politik ini, demi PDIP itu sendiri. Bukan demi Puan dan Prananda, menurut saya yang selama ini dinilai terlalu trah Soekarno. Padahal, Megawati-lah sebagai identitas utama beserta perjuangannya sejak Orde Baru.

