Konten dari Pengguna

Ormas dan Ormat

Alit Teja Kepakisan
Penulis Lepas & Mahasiswa Universitas Terbuka
14 Mei 2025 10:34 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alit Teja Kepakisan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi siapa nama pelatih hercules di film disney hercules. Sumber: simone pellegrini/unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi siapa nama pelatih hercules di film disney hercules. Sumber: simone pellegrini/unsplash
Gebrakan Gubernur Jawa Barat KDM, terutama berkaitan dengan Ormas, sebenarnya bukanlah masalah yang baru. Ormas meresahkan seperti apa yang dikatakan oleh KDM, itu kalau memang niat Pemerintah Pusat, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, harusnya bukan hal yang susah. Bukan hal yang susah secara aturan, tapi hal yang susah. Sebab, ormas berkaitan dengan ormon (organisasi omon – omon) yang punya sejarah begitu panjang, terutama sebagai legitimator kekuasaan / rezim.
ADVERTISEMENT
Untuk kajian yang begitu lengkap dan teknis, memang ada pada buku dari Ian Douglas Wilson berjudul Politik Jatah Preman, yang mengulas habis peran ormas dalam politik dan bahkan kaitannya dengan jaringan – jaringan kekuasaan ini. Sebaiknya, buku itu memang kajian yang paling lengkap mengupas jaringan ormas , premanisme dan memang kaitannya dengan kekuasaan. Tapi, kita tidak bisa meratapi, dan memang fakta bahwa premanisme tidak hanya bikin gerah masyarakat tapi juga iklim investasi (kemudahan investasi). Karena itulah, menurut saya, hal yang paling penting bukan hanya sekedar mencabut kewenangan daerah menjadi OSS, tapi apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi hal ini?
Pusaka Jokowi, Perppu Ormas
Perubahan UU Organisasi Masyarakat pada 2017, bukanlah hal yang bisa dilihat begitu saja. Harus dilihat apa yang terjadi sebelumnya, atau ada kejadian apa sekiranya yang mendukung “kegentingan yang memaksa” di balik hal itu. Memang, Perppu Ormas (supaya lebih mudah, Perppu HTI), itu dirancang untuk menghabisi tumor yang mengakar pada kekuatan politik pada Pilkada DKI 2017. Siapa itu? Ya, jelas, pasangan nomor 3 saat itu yakni Anies Baswedan – Sandiaga Uno. Bayangkan, Anies yang saat itu (pra-Pilkada) dengan gagasan “Merawat Tenun Kebangsaan” seolah – olah, menjadi hal yang sirna begitu saja, bagaikan saham – saham di Wall Street yang ambles sekian detik.
ADVERTISEMENT
Konteks Perppu Ormas itu keras sekali dengan nuansa politisnya. Dalam perdebatan soal legislasi pada saat itu, memang tidak ada yang begitu genting. Bahkan, rambu – rambu penerbitan Perppu yang dibuatkan oleh MK dengan Putusan 138/2009 itu, sebenarnya tidak terlalu “memaksa” atau bahkan genting kalau lihat suasananya (kira – kira, Perppu itu terbit setelah Pilkada DKI berlangsung). Tetapi, toh kekuatan politik itu memungkinkan. Inilah “Pusaka Jokowi” yang masih berlaku sampai saat ini dan telah membasmi dua ormas yang dinilai meresahkan, khususnya abad ke – 21, HTI dan FPI.
Pusaka Jokowi ini memungkinkan hak subjektif Pemerintah (Pusat) dalam memandang ormas apa yang dibubarkan detik ini atau hari ini juga tanpa surat teguran dan mengajukan ke pengadilan dulu. Artinya, sepihak dinyatakan bubar oleh Pemerintah dengan pasal yang diubah di dalam Perppu itu, khususnya di Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). Khusus untuk Pusaka yang digunakan oleh Jokowi, asumsi saya, bahwa HTI dan FPI dibubarkan karena ‘bertentangan dengan Pancasila’.
ADVERTISEMENT
Pusaka Jokowi ini masih berlaku sampai dengan saat ini. Dan, Jokowi menggunakan pusaka untuk membabat habis ormas yang bahkan menurut Gamawan Fauzi (Menteri Dalam Negeri, Kabinet SBY – Boediono) bahwa FPI adalah “aset bangsa”. Tapi, kalau kita lihat memang ini memerlukan keberanian. Karena politiknya memungkinkan, ditambah juga gertakan Prabowo, siapa yang tidak takut? Hanya saja, kalau kita cek sejarah, memang ormas (baca : preman), itu sangat memiliki posisi yang cukup strategis. Tidak hanya dari sisi sejarah, tapi memang melihat perannya di dalam masyarakat itu cukup mengakar rumput, dan birokrasi sekelas desa, kecamatan bahkan aparat pun rasanya gertakannya lebih ngeri posisi ormas itu.
Dan, ketika Perppu ini disahkan, sebenarnya adalah bahwa saya mengikuti logika yang dikatakan oleh Romli Atmasasmita yang bertanya, ini negara “Republik Indonesia” atau “Republik Ormas”. Sebab, pembubarannya memang rumit, tidak semudah setelah Perppu ini. Menurutnya, kondisi negara dalam UU yang sebelumnya, itu lemah. Tidak begitu kuat, tapi bisa dibayangkan itu dibuat oleh rezim siapa, kan begitu saja , kira – kira. Nah, hal yang penting untuk dilihat adalah bahwa sebenarnya kekuatan Ormas itu sudah tidak ada. Mengingat, pembubaran yang bisa sepihak dan ada pasal yang mengatakan “Bertentangan dengan Pancasila” itu adalah subjektif Pemerintah, maka kekhawatiran itu bisa muncul pemerintah sepihak. Tetapi, dalam kondisi KDM yang mau melarang Ormas, menurut saya apabila memang masih satu koalisi yang mengandaikan “single paradigm”, maka sebaiknya haruslah dipandang bahwa pembubaran Ormas yang diresahkan selama ini itu bukan hanya penegakan hukum, mencabut akarnya. Tapi, sekali lagi, mandat UU ini bukan Pemerintah Daerah tapi adalah kewenangan pusat.
ADVERTISEMENT
Ormas dan Aparat (Ormat), Bak Koin Logam
Pada 9 Mei dan 3 Juli 2006, WikiLeaks membocorkan hal yang menurut saya penting untuk dilihat sebagai relasi yang menurut saya penting untuk dilihat. Anggap saja untuk kliping dan melihat secara singkat saja, bagaimana melihat relasi kekuatan ini.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dan juga potongan berita ini di Republika pada bahwa “Sutanto Menolak Dibilang Cukongi FPI”. Tapi, yang mau saya ajak kita renungkan, apa mungkin aparat bersenjata yang sudah terpisah dari ABRI ditambah pada masa reformasi ini tidak memiliki yang namanya referensi dengan menggunakan cara – cara seperti ini? Yakni, aparat bersenjata (saya tidak menyebut institusi, artinya bisa saja ada di semua lini), menggunakan kekuatan sipil atau mengerahkannya? Saya tidak perlu terlalu jauh dulu. Pada masa awal reformasi pun, kita semua tahu, apa itu Pasukan Pengamanan Masyarakat, atau lebih dikenal sebagai Pam Swakarsa, yang dibentuk untuk mengamankan SI MPR pada 1998.
Tapi, lebih jauh lagi, Douglas Wilson malah melihat pertama kali penggunaan kekuatan sipil oleh militer adalah sejak era Hindia Belanda. Tapi, lebih baik melihat hal yang kasat nyata dalam sejarah Indonesia modern. Pemuda Pancasila, yang merupakan organisasi (underbow) dari IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) , didirikan oleh Kolonel Nasution pada 1954, untuk mengikuti Pemilu 1955, adalah organisasi yang paling berperan menghadapi Komunisme pada era Demokrasi Terpimpin. Salim Said, dalam bukunya Dari Gestapu ke Reformasi, memperlihatkan sekali behind the scene dari apa yang dimaksud Petrus (Penembakan Misterius) yang mana ia melihat ini bukan kriminal murni tapi ada nuansa politik yang begitu kental, yakni Gali (Gabungan Anak Liar). Masih pada masa Orde Baru, bahkan apa yang dikenal sebagai Hercules, tidaklah lepas dari sejarah Orde Baru sendiri. Mereka bukan produk ormas yang lahir pada masa demokratis.
ADVERTISEMENT
Sejarah Hercules, itu mirip dengan FPI yang menurut beberapa catatan, merupakan kelanjutan dari Pam Swakarsa. Begitu pun juga Hercules, ia adalah bisa dibilang bagian dari sejarah Prabowo sendiri, termasuk produk Orde Baru. Catatan mengatakan bahwa Hercules Rozario Marcal (nama asli Hercules), dibawa ke Jakarta pada akhir 1980-an, dan kemudian Douglas Wilson mengutip laporan dari Asia Watch pada Mei 1992, bahwa Hercules diberikan dana oleh Yayasan Tiara oleh Tutut Rukmana. Dan, masih menurut Asia Watch yang dikutip Wilson, bahwa mereka dilatih di Cijantung (Markas Kopassus) dalam kepentingan tertentu.
Hal yang paling prinsip harus dilihat bahwa kebesaran monster – monster organisasi masyarakat itu tidaklah mandiri atau otonom. Kalau Rizal Ramli memperkenalkan istilah yang disebut sebagai Pengpeng (Penguasa dan Pengusaha), maka lebih mengerikan lagi Ormat (Ormas – Aparat). Meskipun Geng Hercules sudah dikalahkan di Tanah Abang oleh IKBT (Ikatan Keluarga Besar Tanah Abang) yang juga resah dengan keberadaan geng ini, namun Hercules bukannya dibuang, ia diperlukan. Contohnya adalah bahwa Prabowo dan Hercules itu selalu terkait satu sama lain, dalam catatan kaki misalnya disebutkan bahwa Prabowo itu memiliki ikatan emosional (baca : persaudaraan) dengan Hercules.
ADVERTISEMENT
Bahkan, kita bisa lihat, betapa purnawirawan militer atau aparat bersenjata, yang sudah menjadi sipil saja menganggap dirinya bisa berpengaruh kuat di lingkungan kekuasaan. Sah, secara demokrasi. Hanya saja, catatan kelam militer terutama di masa lalu, itu meski kesannya demokratis sebenarnya tidak demokratis. Bisa saja kita lihat contohnya, FPI itu sendiri. Betapa selalu menjadi kekuatan – kekuatan yang dimanfaatkan. Meskipun para massa FPI sendiri memiliki cita – cita yang eskatologis bahkan utopis mengenai suatu politik, tetapi, yang atas berpikirnya beda. Konsolidasi FPI dan HTI, meskipun hanya di Jakarta, pengaruhnya bahkan sampai dengan Pilpres 2019.
Buktinya, apakah Habib Rizieq sebagai Panglima Tertinggi FPI terdengar mengkritik rezim Prabowo? Yang mereka kritik kan Jokowi itu sendiri, juncto Gibran (Mas Wapres). Saya tidak menuduh yang lain – lain. Tapi sebuah fakta bahwa Ormat itu bukan sesuatu yang tidak ada. Melainkan nyata ada di dalam sejarah, dan di masa kini pun kemungkinan ada. Tujuannya apa? Kalau saya rujuk teori dasar Oligarki dari Jeffrey Winters, apapun bentuk oligarki, mereka akan setia dengan rezim apapun, baik itu ototiter, demokratis sekalipun. Yang jelas adalah pertahanan kekayaan. Saya memiliki hipotesa, tentu saja harus diuji, apakah ormat ini adalah bentuk pertahanan kekuasaan? Saya tidak tahu, waktu yang akan menjawab. Sekian.
ADVERTISEMENT
(Untuk mengetahui lengkap, baca buku Politik Jatah Preman, Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru karya Ian Douglas Wilson.)