Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Revisi UU TNI dan Kepekaan Sejarah
21 Juni 2024 13:50 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Alit Teja Kepakisan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Euforia “Orde Baru” yang dianggap balik lagi ke masa kini karena hal-hal yang mungkin terjadi antara lain : Kemenangan Prabowo-Gibran, UU Penyiaran, dan Revisi UU TNI. Terkait dengan Revisi UU TNI, yang paling dekat aromanya adalah baliknya Dwifungsi ABRI, yakni keterlibatan tentara ke dalam urusan sosial-politik disamping urusan pertahanan-keamanan. Tentu, mengapa Orde Lama (sejak era Demokrasi Terpimpin) dan Orde Baru itu menyeramkan, karena adanya tentara-tentara yang hadir ke dalam politik. Baru saja era Revolusi (1945-1950) itu usai, tentara melakukan (dalam bahasa Bung Karno) melakukan percobaan “setengah kup” yang dilakukan oleh Kolonel Nasution dengan sebuah meriam yang dipasang oleh Kemal Idris menghadap Istana, tidak menembak satu peluru pun. Tuntutannya adalah membubarkan DPR, namun setelah itu Kolonel Nasution diberhentikan jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
ADVERTISEMENT
Peristiwa itu adalah 17 Oktober 1952. Setelah peristiwa itu, Panglima Tentara dan Teritorial Indonesia bagian Timur yakni Gatot Subroto yang ditangkap oleh Kepala Staf-nya yakni Letkol J.W Warouw. Namun, keterlibatan militer ke dalam politik sebenarnya bisa dibaca pada saat era Revolusi namun itu bukanlah Dwifungsi, melainkan memang sebuah prinsip tentara itu sendiri sebagai penjaga suatu bangsa yang tidak menyerah untuk mempertahankan bangsa. Apa yang membedakan keterlibatan tentara ke dalam politik pada masa Revolusi (1945-1950) dan pasca revolusi adalah bagaimana sipil menarik-narik keterlibatan tentara ke dalam politik. Memang, ketika revolusi tidak ada istilah Dwifungsi tetapi adalah hal yang menarik, bagaimana politisi sipil itu menarik-narik tentara ke dalam politik. Masuknya tentara ke dalam politik itu bukanlah karena konsep melainkan politik-legal dan juga memenuhi kebutuhan legitimasi kekuasaan. Bung Karno, misalnya, ketika hendak mengubur partai-partai, yang ia lakukan adalah menggandeng Jenderal Nasution (Yang sebelumnya KSAD pada pada 17 Oktober 1952) dan tidak lama setelah itu terjadi Dekrit 5 Juli 1959.
ADVERTISEMENT
Politik-legal masuknya tentara ke dalam urusan sosial-politik juga dibarengi ketika era Demokrasi Liberal (1950-1959), banyaknya keterlibatan tentara ke dalam politik. Selain masuknya beberapa Kolonel ke dalam Kabinet Djuanda, juga adanya PRRI/Permesta, DI/TII dan sebagainya yang menyebabkan tentara turun tangan mengatasi itu sekaligus juga kemudian hari sebagai kekuatan politik. Dalam memoar yang ditulis oleh Jenderal Pranoto (Panglima Angkatan Darat yang diangkat pada 1 Oktober 1965), misalnya, memperlihatkan cerita yang terjadi di Sumatera Barat (sekarang), tempat terjadinya PRRI itu selain berperang juga mendekatkan dirinya ke dalam masyarakat Sumatera Barat pada waktu itu. Bung Karno dengan Nasution memiliki kesamaan yakni “anti-Partai”, dengan cara dan alasan yang masing-masing, meski berbeda pada akhirnya keduanya sepakat membentuk golongan fungsional yang kelak menjadi Sekber Golkar pada 1964 dan di kemudian hari menjadi Golongan Karya.
ADVERTISEMENT
Disitulah, tentara menjadi salah satu dari Angkatan Karya dan setelah golongan fungsional itu mendapatkan legitimasi secara politik dan hukum, tentara mulai membangun organisasi, BKS (Badan Kerja Sama) dan terlibat ke dalam urusan masyarakat sipil. Jadi, peletak dasar politik legal untuk tentara ini adalah seorang sipil yang berbaju dinas militer : Sukarno. Tidak hanya sampai pada Bung Karno, ketika terjadi Gestapu, banyak tindakan masyarakat yang mendukung tentara untuk menghabisi PKI di kemudian hari. Sipil membuka pintu politik kepada tentara. Mengapa alasan itu logis? Di kemudian hari, TNI melakukan Rapat Pimpinan di Cilangkap pada 2000, mereka semua sepakat untuk meninggalkan Dwifungsi. Artinya, dari yang masuk kepada sosial-politik menjadi seorang profesional tentara. Menurut saya, alasan mengapa sipil menarik tentara ke dalam politik adalah soal kepercayaan diri. Balik atau tidaknya Dwifungsi, itu tergantung bagaimana politisi sipil mampu untuk mengatur negeri ini. Sama seperti apa yang terjadi di Thailand yang berkali-kali ada kudeta, tetapi bisa dilihat bagaimana Kaus Merah dan Kaus Kuning memanggil tentara ke dalam politik untuk berkata “Selamatkan negeri ini”
ADVERTISEMENT
Mengapa trauma Dwifungsi itu tidak hanya sekedar Orde Baru menggunakan Petrus dan Golkar? Menurut saya, Dwifungsi tidak lain dan tidak bukan juga merupakan alat Soeharto untuk mampu berkuasa sejak 1967 sampai 1998. Gestapu pun rebutan tentara, tidak hanya soal kudeta tetapi bagaimana Gestapu itu para pentolannya yakni Syam, Untung, Soepardjo, Pono, Sujono dan lainnya gelisah ketika Batalyon-batalyon itu bergabung ke Kostrad? Karena mereka memperebutkan tentara. Ada semacam keadaan dimana negeri ini, khususnya sipil, tidak mampu percaya diri tanpa berusaha melibatkan tentara-tentara itu. Kalau kita membaca seksama buku yang ditulis oleh Alm. Salim Said yakni Dari Gestapu ke Reformasi pada bagian bukunya yakni “Saya Akan Kembali ke Induk Saya” yang memperlihatkan bagaimana wawancara Salim Said dengan Jenderal GPH Djatikusumo mengenai TNI. Kurang lebih, ada perbedaan generasi antara tentara Angkatan “45” dengan tentara yang menjadi angkatan setelah masa revolusi. Mereka adalah generasi-generasi yang merasakan revolusi dan tentu saja berbeda dengan generasi-generasi yang mungkin lulusan Akademi Militer pada dekade 1950-an, yang sudah tidak menghadapi Belanda.
ADVERTISEMENT
Tetapi, secara garis besar, permasalahannya adalah terletak pada generasi-generasi itu. Bahkan, setelah Soeharto lengser dan akan segera berakhirnya Dwifungsi, banyak Jenderal-Jenderal, antara lain adalah Jenderal Ryamizard dan Alm. Jenderal Agus Wirahadikusumah, menerbitkan buku dengan mengkritik Dwifungsi. Sejarah ini penting untuk kita ketahui, bahwasanya, baik tentara dan birokrasi, jangan pernah dipersalahkan. Birokrasi maupun tentara akan selalu hidup dengan yang namanya hukum. Siapa otoritas hukum itu? Sipil. Politik legal tentara masuk lewat ketetapan oleh Bung Karno, Undang-undang Pemilu yang hidup pada Orde Baru, juga hidup melalui sipil yakni Soeharto.
Kembali ke konteks masa kini. Apakah yang dikatakan oleh Panglima TNI yakni Jenderal TNI Agus Subiyanto adalah salah? Pernyataan seperti itu tidak akan mempengaruhi sebuah undang-undang. Tangan yang akan mengesahkan itu adalah sipil. Sekarang, kalau pun wacana-wacana itu kembali digaungkan, tetapi pada akhirnya yang mengesahkan adalah DPR dan Presiden. Apakah salah jika rakyat mengaitkan bahwa revisi ini berkaitan dengan terpilihnya Prabowo dan dengan latar belakang dirinya yang hidup dan dididik di era Orde Baru, berupaya kembali menggaet militer? Saya tidak bisa mengatakan itu benar atau salah. Tetapi pada kenyataannya, multifungsi atau Dwifungsi harus kita lihat sebagai sebuah pelajaran yang pernah ada. Kalau tentara masuk politik apa implikasinya? Kalau tentara tetap di barak dan tetap sebagai profesional apa implikasinya? Masalahnya, kepercayaan masyarakat ke politisi sipil, belum sepenuhnya 100%, karena mereka lama hidup di dalam tekanan Orde Baru.
ADVERTISEMENT
TNI, dengan segala pro-kontranya, kalau diperhadapkan dengan DPR, tentu kepercayaan masyarakat ke TNI jauh lebih unggul. Pada akhirnya, kalau kita tidak mempelajari sejarah secara baik, kita akan kembali dihukum. Kepada politisi sipil, atasi persoalan-persoalan bangsa sehingga Anda mampu memperbaiki kepercayaan itu kepada rakyat. Karena, jalan atau diamnya bangsa ini, tergantung di tangan Anda. Toh dulu juga, tentara ikut memilih pada Pemilu 1955, tetapi "kan" zamannya beda dan generasi pun berbeda. Tergantung kini para politisi sipil, apakah mereka akan bijak?