Konten dari Pengguna

Sebuah Teater Singkat

Alit Teja Kepakisan
Penulis Lepas & Mahasiswa Universitas Terbuka
6 Februari 2025 10:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alit Teja Kepakisan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi penyebab black death. Sumber: www.unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penyebab black death. Sumber: www.unsplash.com
ADVERTISEMENT
Sudah tidak terhitung, berapa kali forum internasional, akademisi, atau diskusi mengenai iklim agar bumi dan generasi yang akan datang tetap dapat menikmati bumi sebagaimana mestinya yakni melindungi dari krisis iklim dan ekologi. Tapi, semestinya siapa yang “salah” dan “benar” dalam hal ini?
ADVERTISEMENT
Isu iklim atau isu bencana apa pun itu, yang jelas bahwa diskusi itu terlalu mewah dan penuh kalkulasi teknis yang belum mampu dengan pendekatan yang persuasif. Kenapa ada isu iklim yang menyelamatkan generasi yang akan datang, sementara itu Hitler yang "memusnahkan" dengan semangat menggebu-gebu itu bisa mudah melakukan persuasif?
Apakah Hitler adalah utusan UFO dari luar bumi yang disuruh untuk menghancurkan dunia? Apakah dia diutus oleh makhluk di luar bumi? Pada kenyataannya adalah bahwa Hitler adalah orang yang lahir dari rahim bumi pertiwi, bukanlah sesuatu yang lahir dari Mars atau Venus.
Bencana, dia datang dan tiba-tiba begitu saja, tanpa perhitungan yang matang dan kesiapan yang matang untuk menghadapi. Tetapi, ada semacam ironi atau kenyataan bahwa ‘bumi’ seperti memiliki ‘mekanisme’ sebuah ketidakpastian yang pasti. Pandemi corona membuat orang menggunakan masker, ada yang menolak percaya dan ada yang begitu saja percaya, namun di sisi yang lain, orang juga ada yang dengan perjuangan ideologi mau berkorban dan mengobarkan semangatnya di hadapan sebuah pandemi. Semua dari bumi dan untuk bumi itu sendiri. Janganlah sekiranya berpaling dengan konspirasi, bahkan adanya kutukan dari dunia atau kutukan dari ‘Yang Lain’.
ADVERTISEMENT
La Peste (Sampar) sebuah karya dari Albert Camus, menggambarkan jelas sekali macam manusia menghadapi bencana dengan segala “njelimet” persoalan yang dihadapi oleh sang narator yakni Rieux. Dalam kisah di hadapan bencana itu, ada hal yang cukup menarik yakni Paneloux, seorang pendeta yang menafsirkan dan mengatakan bahwa bencana ini adalah “amukan” dan “hukuman” dari Tuhan. Namun, sang sastrawan peraih Nobel di kemudian hari itu, malah mempermalukan Paneloux, justru ada anak yang “Tak Berdosa” malah mati. Penafsiran Paneloux, bisa dikaitakan dengan pendudukan Nazi di Perancis pada 1940-an yang mana saat itu memberikan justifikasi serangan Nazi ke Perancis dengan ungkapan layaknya Paneloux! Padahal, nilai agama adalah nilai sakral, pertanyaannya kesakralan itu demi siapa?
ADVERTISEMENT
Inilah yang disebut sebagai “absurditas” yang terkonsep lewat sebuah peristiwa. Tetapi, mereka yang mengatasnamakan ‘atas’ untuk menghukum manusia (masyarakat) di hadapan bencana sebenarnya harus kita pertanyakan dengan hal yang dasar, selain bencana iklim, apakah “Bumi” memiliki mekanisme bencana menghancurkan yang “Tak Hancur”? Kalau jawabannya adalah “Iya”, maka jelas sekali bahwa yang “Tak Hancur” itu adalah ya pemikiran mereka. Apa buktinya? Flu Spanyol tidak mampu menghentikan laju Mein Kampf ditulis oleh Hitler. Flu Spanyol tidak mampu menghentikan yang namanya Mussolini masuk gelanggang politik. Pandemi Corona tidak mampu menghentikan perilaku – perilaku bejat – bejat manusia.
Tetapi, orang masih saja berkata bahwa ada hukuman, pertanyannya adalah hukuman apa? Lalu, konspirasi apa? Naifnya kita adalah sebuah penyakit yang tidak sakit serta tidak hancur oleh sebuah bencana. Pemikiran bodoh tidak pernah hancur oleh bencana, sehebat apapun, semasih sinyal itu sudah tersebar dari kepala ke kepala, maka dia akan kekal abadi sebagai sebuah prinsip hidup, nilai hidup dan jalan hidup yang dinilai ‘pasti’. Inilah bencananya! Bumi justru bisa menghancurkan dirinya sendiri lewat yang dilahirkan tetapi tidak mampu membunuh sinyal – sinyal data , hasrat, kebejatan, nafsu buruk di dalam otak itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Dalam The Republic, Buku VIII, Sokrates mengungkapkan kepada lawan bicaranya bahwa sebaik apapun kita merumuskan sebuah nilai kebaikan, negara ‘Yang Baik’, filsuf-Raja, atau rezim se-bijak atau se-ideal apapun itu akan hancur. Sebab, Sokrates mengungkapkan hal yang paling mendasar bahwa rezim (tipe kekuasaan) itu tidak lahir dari batu, kayu, dan sungai. Juga disebutkan bahwa rezim itu tidak hanya tirani, timokrasi, monarki, oligarki, demokrasi tetapi watak kekuasaan adalah watak manusia itu sendiri. Tetapi, kita kaitkan juga bahwa kehancuran atau bencana yang disebabkan oleh manusia bahwa itu merupakan representasi dari watak , hasrat dan kebejatan manusia itu sendiri.
Kembali pada konteks iklim, banyak diskusi serta kajian global yang memperingatkan bahwa ini bukan hal yang main – main. Tetapi, orang miskin, kelas menengah yang selalu dicekik oleh Pemerintah, juga menganggap ini bukan hal yang main – main. Jadi, para ilmuwan yang mengkalkulasi kajian keberlanjutan dan iklim itu pernahkah menganggap hal yang dianggap juga tidak main – main itu juga merupakan bukan hal yang sepele? Mereka diskusi di sebuah forum, bukan di sebuah gubuk yang atapnya bocor. Mereka berdiskusi di sebuah sofa, bukan sebuah tikar yang duduk bersila membuat kaki terasa semutan. Mereka yang menuju ruang dan forum diskusi dengan sebuah mobil dan pengawalan. Oh! Ternyata memang demikian cara memperingatkan.
ADVERTISEMENT
Setelah pun diketahui bahwa masih banyaknya ketimpangan dan banyaknya kemiskinan yang masif di bawah, yang mana mereka tidak terjangkau atas diskusi elitis seperti itu, apakah ini ketidakadilan? Seperti kata Patrick Star yang dinilai “normalisasi ketidakadilan” yakni dengan ucapannya yang terkenal bahwa “Dunia memang tidak adil, jadi biasakan dirimu!” ucap Patrick Star di film Spongebob. Tetapi, mengharapkan suatu keadilan di dunia yang memang terancang “auto-imun” itu lebih absurd daripada Paneloux, tokoh di Sampar itu. Ketidakadilan yang kita lihat seperti bencana atau apapun itu, bukanlah hal yang supranatural, bukan pula serangan dari UFO, Alien ataupun Godzilla yang terpental dari Planet ‘Yang Lain’ tapi adalah banyak dari kita menerima konsekuensi atas tindakan kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Setiap bencana dan apapun itu, mereka bisa kita petik sebagai hal yang datang begitu saja, layaknya sebuah hujan yang turun ke bumi maka kita menepi, atau sebuah kutukan karena kita kurang beruntung lahir pada era bumi tidak menghadapi serangan bencana. Sebagai penutup, seringkali kita luput bahwa kontradiksi semacam itu kurang disadari akibat kita yang ditutupi oleh nafsu – nafsu dan kepentingan yang ingin kita capai pada bumi yang usianya panjang sedangkan usia kita tidak sampai pada dua abad. Terima kasih!