Menumbuhkan Ekonomi Lewat Pilkada, Apa Iya?

Euis Nessia Fitri
Saya adalah seorang magister Pendidikan sekaligus magister Akuntansi. Saat ini bekerja sebagai dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang. Selain sebagai dosen, saya juga aktif menulis beragam opini di media massa.
Konten dari Pengguna
5 Oktober 2020 5:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Euis Nessia Fitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Logo Resmi Pilkada Serentak 2020. Sumber : KPU RI
zoom-in-whitePerbesar
Logo Resmi Pilkada Serentak 2020. Sumber : KPU RI
ADVERTISEMENT
Belum lama ini, Mendagri Tito Karnavian menyebutkan bahwa Pilkada dapat menekan angka Covid 19 bahkan menumbuhkan ekonomi. Alasan Tito dibangun atas analogi bahwa jika setiap kandidat berkampanye dengan membagikan masker, maka tingkat kepedulian masyarakat untuk menggunakan masker serta menaati protokol kesehatan akan lebih tinggi. Tito juga menyebutkan bahwa anggaran Pilkada yang sebesar 15 triliun rupiah akan mampu membangkitkan perekonomian. Statement seperti ini semacam buah simalakama. Di satu sisi ada benarnya, namun di sisi lain justru berujung pada malapetaka.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan besarnya, benarkah Pilkada serentak yang akan diselenggarakan pada Bulan Desember tersebut benar-benar akan menekan angka Covid 19 dan menumbuhkan ekonomi?. Jawabannya tentu memerlukan analisis yang tajam dan komprehensif. Beragam pertimbangan perlu dilakukan, karena kesalahan mengambil keputusan dapat mengakibatkan ratusan bahkan ribuan nyawa melayang.
Meski belum ada survei yang merilis persepsi masyarakat terhadap Pilkada di masa pandemi, namun analisis kritis atas beragam aspek manfaat dan mudharat dari pelaksanaan Pilkada tersebut benar-benar diperlukan. Apabila mendasarkan pertimbangan pada kemungkinan tersebar luaskannya Covid 19, sudah jelas bahwa seharusnya Pilkada serentak diundur. Sebab, akan sulit sekali mengantisipasi terjadinya kerumunan massa semasa kampanye ataupun konsolidasi politik para kandidat. Terlebih, syahwat politik pada kandidat cenderung sulit terbendung oleh yang namanya Covid. Nampaknya, berkuasa jauh lebih penting ketimbang keselamatan diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi apabila berdalil bahwa Pilkada serentak sangat penting karena khawatir adanya vacum of power di tingkat daerah, memang tidak salah juga. Meskipun sebetulnya, bisa saja pemerintah menerbitkan aturan terkait dengan Pelaksana Tugas (PLT) para kepala daerah dengan konsekuensi bahwa wewenang dan kekuasaannya cenderung terbatas. Tetapi nampaknya, alasan utama pemerintah tidak mengundur Pilkada serentak itu karena akan merusak kondisi yang sudah direncanakan sejak lama. Apabila Pilkada serentak diundur, maka cita-cita untuk menyelenggarakan Pilkada bersama yang telah dibangun selama masa pemerintahan Jokowi akan terwujud lebih lama.
Kembali kepada statement Tito terkait Pilkada dapat menekan Covid, agaknya kurang dapat diterima. Bagaimanapun juga, penentuan kesimpulan yang berujung statement dari pejabat negara tidak boleh hanya didasarkan pada satu asumsi saja. Terlebih, asumsi terkait pembagian masker tidak dapat dijustifikasi mampu menekan Covid. Justru masyarakat lebih menyukai dibagikan ‘amplop’ ketimbang masker. Terlebih, kalaupun benar para kandidat bertekad menekan Covid, bagaimana cara membagikan maskernya?. Tentu sulit membagikan masker dalam jumlah besar tanpa mengumpulkan massa. Apabila teknisnya dibagikan door to door oleh penyelenggara, maka apakah dapat dipastikan semua masyarakat mendapatkannya.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, sanggupkah pengawas pemilu benar-benar memantau dan memastikan para kandidat tidak main belakang. Maksudnya, para kandidat pasti saja tetap akan melakukan pengumpulan massa, karena bagaimanapun juga yang namanya konsolidasi politik pasti terjadi. Meyakinkan masyarakat saat ini agak sulit apabila hanya dijangkau oleh media. Berdasarkan hal itu, anggapan mengenai Pilkada dapat menekan Covid sungguh tidak patut dipercayai.
Selanjutnya terkait dengan aspek ekonomi. Memang betul bahwa dana yang mengucur dapat menstimulus ekonomi. Namun perlu disadari juga bahwa uang bukan satu-satunya indikator pengukur tumbuhnya ekonomi. Sebesar apapun anggarannya, apabila sebarannya tidak merata dan tidak menjadi barang modal, maka dampaknya tidak akan terasa. Artinya, kalaupun ada dampak ekonomi, tidak akan besar pengaruhnya. Sangat tidak setara apabila dibandingkan dengan kerugian negara dan masyarakat apabila angka Covid makin tinggi. Bayangkan saja, rata-rata biaya perawatan satu pasien Covid saja bisa mencapai 300 juta. Belum lagi apabila harus kehilangan nyawa, tentu kerugiannya tidak dapat diukur lagi besarnya. Atas dasar itu, asumsi bahwa Pilkada dapat menumbuhkan ekonomi juga tidak dapat diterima.
ADVERTISEMENT
Terlebih, dana triliunan untuk penyelenggaraan Pilkada juga rawan diselewengkan karena masa pandemi seperti ini membuat mekanisme pengawasan menjadi kurang maksimal. Apalagi, jika dana tersebut tidak digunakan dengan efisien, tentu yang terjadi adalah pemborosan. Kaitannya dengan hal ini, diperlukan mekanisme pengawasan baru yang dapat memastikan transparansi dan akuntabilitas pengeluaran dana Pilkada tersebut.
Terlepas dari semua itu, Pilkada serentak sudah diputuskan tetap akan dilaksanakan. Sebagai masyarakat, tidak perlu banyak mencela ataupun mencemooh apa yang diputuskan para pimpinan negara. Tugas masayrakat saat ini adalah tetap menjaga protokol kesehatan, jangan sampai tertular ataupun menularkan penyakit. Utamanya bagi para kandidat peserta kontestasi Pilkada dimanapun berada, diharapkan untuk lebih bijak dalam berkampanye. Jadikan Pilkada ini ajang untuk meningkatkan literasi digital bagi masyarakat, utamanya bagi mereka yang belum dapat mengakses teknologi dengan baik. Semoga juga Pilkada serentak dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin hebat yang membawa Indonesia menjadi lebih baik lagi.
ADVERTISEMENT