Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dokter Asing dan Upaya Pemerataan Kesehatan Kita
18 September 2024 15:43 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Netty Prasetiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Diskursus mengenai dokter asing dewasa ini sempat menimbulkan polemik di masyarakat. Menteri Kesehatan sempat membandingkan naturalisasi dokter asing dengan naturalisasi pemain bola, di mana kehadiran dokter asing dianggap akan memacu dokter lokal untuk meningkatkan kualitas mereka. Selanjutnya, pemerintah mengklarifikasi bahwa kehadiran dokter asing diperlukan khususnya untuk penanganan penyakit jantung bawaan (PJB) yang saat ini hanya dapat ditangani setengahnya karena kekurangan dokter spesialis.
ADVERTISEMENT
Sejatinya dokter asing bukan barang baru di Indonesia. Sudah lama dokter-dokter kita bekerja sama dengan dokter asing untuk transfer pengetahuan melalui acara ilmiah dan kerja sama lain. Hal yang dipersoalkan adalah praktik terbatasnya, yang juga bukan hal baru. Dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) , dokter-dokter dari negara-negara ASEAN dapat melakukan praktik terbatas di Indonesia. Yang mesti menjadi perhatian adalah bagaimana meregulasi praktik ini untuk menjaga kepentingan rakyat. Tulisan ini akan mengulas PP Nomor 28 Tahun 2024, yang baru dirilis sebagai peraturan pelaksana UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang menyediakan kerangka legal naturalisasi tenaga kesehatan (nakes) dan tenaga medis (named).
ADVERTISEMENT
Menilik Aspek Naturalisasi Nakes dan Named di PP Nomor 28 Tahun 2024
Secara umum, tentu berbagai pengampu kepentingan bidang kesehatan di Indonesia sependapat bahwa kita harus mengutamakan pemberdayaan dokter lokal. Hal itu memang ditegaskan dalam PP ini pada pasal 658 ayat (2), yang menetapkan bahwa pendayagunaan nakes dan named asing harus mempertimbangkan rencana kebutuhan nakes dan named nasional, serta mengutamakan nakes dan named Indonesia.
Pasal 661 ayat (1) PP ini mengatur bahwa named asing yang dapat berpraktik di Indonesia hanyalah spesialis dan subspesialis, dan ayat (2) membatasi nakes asing pada level 8 Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), atau setingkat ahli. Namun, ada pengecualian pada ayat (3) yang memungkinkan Menteri untuk menetapkan pendayagunaan nakes dan named asing di luar kualifikasi level 8 pada kondisi tertentu. Artinya, ada kemungkinan perekrutan nakes dan named level lebih rendah, seperti tingkat teknisi, analis, atau operator. Memang penjelasan pasal mendefinisikan “kondisi tertentu” sebagai pendayagunaan di Kawasan Ekonomi Khusus, bakti sosial, dan dalam kondisi bencana. Akan tetapi, pemerintah perlu memastikan implementasi pasal ini sesuai aturan dan mengutamakan pendayagunaan sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
ADVERTISEMENT
Peraturan ini juga melarang dokter asing membuka praktik mandiri di Indonesia (pasal 660 ayat (4) dan pasal 663). Akan tetapi, harus ada langkah pencegahan dan sanksi untuk memitigasi kemungkinan pelanggaran. Perlu juga kejelasan skema kerjasama nakes dan named asing, apakah terikat kontrak langsung dengan fasilitas kesehatan (faskes), atau ada perjanjian antar pemerintah, atau skema lain. Pasalnya, skema kerjasama yang jelas diperlukan untuk memastikan seluruh pihak terlindungi dan dapat memenuhi tanggung jawab sebaik mungkin.
Selain syarat administrasi, nakes dan named asing harus memenuhi syarat kompetensi sesuai pasal 664, 665, dan 666 dalam PP ini. Hanya saja, terdapat pengecualian untuk nakes dan named asing lulusan institusi luar negeri yang sudah direkognisi dan berpengalaman minimal 5 tahun di luar negeri. Alih-alih uji kompetensi, kemampuan mereka dinilai lewat portfolio. Adapun menurut PP, institusi yang direkognisi akan ditetapkan nanti. Yang paling akan terdampak adalah kesehatan warga, jadi, pengecualian ini harus dilakukan secara matang dan transparan untuk memastikan nakes dan named naturalisasi.
ADVERTISEMENT
Terakhir, penting untuk menilik bagaimana naturalisasi dokter yang diatur PP ini berdampak pada pemerataan kesehatan. Per data Kemenkes tahun 2024, masih ada 423 puskesmas yang belum memiliki dokter. Sebanyak 285 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di 514 kabupaten/kota juga belum dilengkapi tujuh jenis dokter spesialis dasar. Logikanya, kompensasi serta kelengkapan fasilitas faskes lebih baik di kota/kabupaten besar, sehingga faskes-faskes yang tidak memiliki hal tersebut–yang mungkin paling membutuhkan tambahan nakes dan named–tidak akan menjadi tujuan nakes dan named asing. Akan tetapi, bisa dilematis juga jika faskes-faskes daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) bermaksud menaturalisasi nakes dan named. Misalnya kebutuhan mereka belum dapat dipenuhi tenaga lokal, mereka bisa saja mengajukan permintaan untuk mendayagunakan nakes dan named asing. Persoalannya, kesejahteraan nakes dan named di daerah saja belum semuanya terjamin. Asumsinya, nakes dan named asing berkualitas gajinya lebih tinggi dibandingkan nakes dan named lokal. Ketimpangan ini dikhawatirkan akan menjadi masalah baru. Tentu ini bukan hal yang diinginkan pemangku kepentingan kesehatan, baik pemerintah, SDM kesehatan, hingga masyarakat.
ADVERTISEMENT
Apakah Naturalisasi Nakes dan Named Solusi?
Bisa jadi memang ada isu-isu kesehatan yang memerlukan adanya naturalisasi nakes dan named. Akan tetapi, perlu perhatian lebih pada beberapa aspek yang memiliki kemungkinan multitafsir dan/atau perlu diperkuat, seperti kualifikasi, skema kerjasama, mitigasi pelanggaran, kompetensi, juga pemerataan. Ditilik dari PP ini dan kondisi di lapangan, ada probabilitas bahwa naturalisasi dapat menambal kekurangan SDM kesehatan, namun berpotensi pula menimbulkan masalah baru. Kalaupun memang ia solusi, naturalisasi bukan solusi berkelanjutan. Dalam jangka panjang, negara harus aktif membidani lahirnya dokter-dokter anak bangsa yang tidak hanya berkualitas, namun juga mau bekerja di daerah untuk membantu mewujudkan cita-cita pemerataan kesehatan Indonesia yang berdikari.