Konten dari Pengguna

Menakar Kebijakan Bantuan Subsidi Upah Pemerintah Jokowi

Netty Prasetiyani
Anggota Komisi IX DPR RI
2 September 2020 16:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Netty Prasetiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah mencanangkan program bantuan subsidi upah (BSU) bagi pekerja atau buruh yang memiliki gaji di bawah Rp5 juta. Menurut pemerintah Program ini bertujuan untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi pekerja atau buruh selama masa pandemi Covid-19. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziah, saat memberikan keterangan pers pada Senin (10/8) di Kantor Presiden mengatakan program BSU akan diberikan kepada 15.725.232 pekerja dengan anggaran sebesar Rp37,7 T.
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher (Dok Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher (Dok Pribadi)
Bantuan akan diberikan kepada pekerja atau buruh sebesar Rp600.000 per bulan selama 4 bulan yang kalau di total berjumlah Rp2,4 juta yang akan diberikan setiap 2 bulan sekali dengan satu kali pencairan sebesar Rp1,2 juta. Sementara itu data penerima bantuan upah bersumber dari data kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan yang telah dilakukan verifikasi dan validasi oleh BPJS Ketenagakerjaan sesuai kriteria dan persyaratan yang ditentukan.
Pekerja atau buruh yang mendapatkan bantuan harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni: (a) warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan nomor induk kependudukan; (b) terdaftar sebagai peserta Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang masih aktif di BPJS Ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan nomor kartu kepesertaan; (c) peserta membayar iuran dengan besaran iuran yang dihitung berdasarkan upah dibawah Rp5 juta sesuai upah yang dilaporkan kepada BPJS Ketenagakerjaan. (d) memiliki rekening bank yang masih aktif dan tidak termasuk dalam peserta penerima manfaat program Kartu Prakerja dan peserta membayar iuran sampai dengan bulan Juni 2020.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut Menaker menjelaskan nantinya proses penyaluran bantuan pemerintah berupa subsidi upah oleh bank penyalur dilakukan dengan memindahbukukan dana dari bank penyalur kepada rekening penerima bantuan pemerintah melalui bank-bank BUMN yang terhimpun dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Jika diajukan pertanyaan kritis kenapa data penerima bantuan hanya bersumber dari BPJS Ketenagakerjaaan, pemerintah beralasan bahwa menggunakan data BPJS Ketenagakerjaan sebagai dasar pemberian bantuan subsidi karena saat ini data BPJS Ketenagakerjaan dinilai yang paling akurat dan lengkap sehingga akuntabel dan valid.
Program BSU ini telah diluncurkan secara resmi pertamakali pada Kamis (27/08/2020) oleh Kementerian Ketenagakerjaan yang hingga Kamis berhasil menghimpun sebanyak 13.8 juta rekening pekerja. Tetapi, untuk nomor rekening yang tervalidasi baru hanya 10.8 juta dengan total target penerima sebanyak 15.7 juta pekerja.
ADVERTISEMENT
Program BSU ini memang memiliki semangat yang bagus, yakni untuk membantu para pekerja yang terdampak di masa Covid-19. Selain itu juga untuk menggerakkan ekonomi masyarakat dengan peningkatan daya beli. Namun, jika kita bedah lebih dalam program BSU tersebut memiliki sejumlah catatan-catatan yang perlu untuk dikritisi.
Pertama, tingginya potensi kecurangan. Untuk meningkatkan pengawasan, Menaker menyebut akan membentuk tim koordinasi pelaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan yang mendapatkan pendampingan langsung dari Kepolisian, Kejaksaan Agung, BPK, BPKP dan KPK. Tetapi perlu dicatat, bahwa satu-satunya sumber data penerima yang digunakan adalah dari BPJS Ketenagakerjaan. Oleh karena itu BPJS Ketenagakerjaan punya peranan yang sangat penting untuk menjadi satu-satunya lembaga yang menentukan siapa yang berhak dapat dan siapa yang tidak. Saat ini dari total 130 juta pekerja yang ada di Indonesia, hanya setengahnya yang menjadi peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan. Dari total jumlah tersebut, perlu disinggung juga berapa banyak yang bergaji di bawah 5 juta? Agar semuanya jelas dan transparan. Sehingga, jika ada pekerja yang sudah memenuhi semua syarat tapi tidak mendapatkan BSU, pemerintah dapat menjelaskan penyebabnya. Cara yang paling gampang bagi pemerintah untuk menjelaskan adalah dengan menyebutkan bahwa kuota sudah penuh yakni 15.7 juta, tetapi masyarakat juga perlu tau alasan kenapa yang lain dapat sementara yang lain tidak padahal sama-sama memenuhi syarat.
ADVERTISEMENT
Kedua, potensi diskriminasi yang juga tinggi. Apa alasan di balik penentuan penerima yang hanya berdasarkan data peserta di BPJS Ketenagakerjaan? Padahal dari penyampaian Menaker sendiri ada setengah pekerja dari total 130 juta pekerja yang belum menjadi peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan. Itu artinya secara otomatis pekerja yang tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan tidak tersentuh sama sekali oleh program BSU. Padahal setiap pekerja yang merupakan WNI adalah rakyat Indonesia yang sama-sama bayar pajak dan sudah seharusnya mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang dijamin oleh Undang-Undang.
Hal ini juga belum termasuk apabila kita berbicara yang lebih luas. Tidakkah pemerintah memperhatikan pekerja yang terkena PHK atau dirumahkan? Atau pekerja informal yang tentunya juga butuh bantuan dari pemerintah. Bagaimana nasib mereka para pekerja yang tidak terdaftar di perusahaan serta di BPJS Ketenagakerjaan. Bagaimana keberpihakan pemerintah kepada masyarakat yang bekerja sebagai petani, nelayan, supir ambulance, petugas kebersihan dan sebagainya. Kenapa mereka seolah sengaja luput dari perhatian pemerintah? Bukankah mereka juga sangat membutuhkan apabila dibandingkan pekerja yang masih memliki gaji walaupun di bawah Rp5 juta?
ADVERTISEMENT
Ketiga, kurangnya transparansi. Dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, awalnya pemerintah sama sekali tidak pernah membicarakan adanya tambahan anggaran sebesar Rp129 M untuk biaya transfer antar bank yang bukan Himbara. Pemerintah saat itu berupaya untuk tidak menyinggung sama sekali jika tidak dikritisi dan ditanyakan oleh anggota Komisi IX DPR RI. Hal ini tentu saja sangat disayangkan karena seharusnya pemerintah menjadi contoh yang baik dalam hal transparansi anggaran. Apalagi jumlah dana Rp129 M bukanlah dana yang kecil. Dan tentu saja seharusnya pemerintah bisa mencarikan solusi agar tidak diperlukan lagi dana sebesar itu hanya untuk biaya transfer antar bank negara dan swasta.
Oleh karena itu melihat banyaknya catatan serta pertanyaan kritis, sudah seharusnya pemerintah mengevaluasi program BSU agar bisa lebih matang. Sehingga bantuan yang memang diperuntukkan untuk membantu pekerja saat Covid-19 benar-benar tepat sasaran. Jangan sampai program yang ada tersebut mencederai rasa keadilan bagi sebagian pihak anak bangsa yang memiliki hak yang sama sebagaimana yang sudah dijamin oleh konstisusi negara kita.
ADVERTISEMENT