Menggugat Kebijakan Pembukaan Destinasi Wisata di Tengah Larangan Mudik

Netty Prasetiyani
Anggota Komisi IX DPR RI
Konten dari Pengguna
17 April 2021 13:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Netty Prasetiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petugas kepolisian memeriksa sejumlah kendaraan yang melintas di jalan tol Jakarta-Cikampek, Cikarang Barat, Jawa Barat, Selasa (19/5). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
zoom-in-whitePerbesar
Petugas kepolisian memeriksa sejumlah kendaraan yang melintas di jalan tol Jakarta-Cikampek, Cikarang Barat, Jawa Barat, Selasa (19/5). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
ADVERTISEMENT
Pemerintah mengizinkan dibukanya destinasi wisata yang ada di seluruh Indonesia. Pembukaan destinasi wisata ini diserahkan sepenuhnya kepada kepala daerah. Para kepala daerah menjadi sosok sentral yang memiliki peran penuh dalam menentukan mana destinasi wisata yang boleh dibuka dan mana yang akan ditutup.
ADVERTISEMENT
Kebijakan pemerintah soal pembukaan destinasi wisata ini harus dikritik. Pertama, karena tidak adanya konsistensi dalam kebijakan tersebut. Menjelang lebaran Idulfitri, biasanya mayoritas masyarakat Indonesia akan melakukan mudik atau pulang kampung. Umumnya, kegiatan ini dilakukan untuk bersilaturrahmi dengan kerabat yang tinggal di kampung halaman. Adanya agenda tahunan seperti mudik ini kemudian direspons oleh pemerintah dengan pemberlakuan larangan mudik.
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher (Foto: Dok Pribadi)
Larangan mudik tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) 13 Tahun 2021. Pada aturan tersebut dijelaskan bahwa semua moda transportasi di tanah air dan udara akan dibekukan sementara waktu. Moda transportasi yang ada di Indonesia akan dilarang beroperasi mulai tanggal 6-17 Mei 2021.
Aturan larangan mudik ini jika kita perhatikan sangat tegas sekali, bahkan sampai harus melarang beroperasinya seluruh moda transportasi di tanah air. Akan tetapi, jika kita membandingkan kebijakan tersebut dengan kebijakan pembukaan destinasi wisata maka jelas tidak sinkron.
ADVERTISEMENT
Pemerintah melarang masyarakat melakukan mudik karena khawatir adanya peningkatan penularan COVID-19, tetapi bukankah kegiatan berwisata juga punya potensi yang sama? Bahkan destinasi wisata lebih rentan menjadi klaster karena masyarakat akan berkumpul pada satu titik dengan jumlah yang sangat banyak.
Kedua, pemerintah pusat lepas tangan. Penyerahan sepenuhnya kepada kepala daerah untuk menentukan boleh atau tidaknya sebuah destinasi wisata dibuka adalah bentuk lepas tangan dari pemerintah pusat. Penyerahan ini berpotensi membuat penanganan COVID-19 tidak berada dalam satu kesatuan.
Destinasi wisata mana saja yang boleh dibuka dan seperti apa kriterianya, seharusnya sudah ada bentuk baku yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Selain itu, penyerahan sepenuhnya kepada daerah akan menciptakan perbedaan dalam pengambilan kebijakan pembukaan destinasi wisata, baik itu dalam soal kapasitas yang dibolehkan, penerapan prokes dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, membebani daerah. Pemerintah dalam pernyataannya menyampaikan bahwa pembukaan destinasi wisata harus diikuti dengan penegakan protokol kesehatan. Akan tetapi, yang menjadi persoalan ialah seperti apa penerapan prokes di tempat wisata? Sebagai contoh destinasi wisata air, apakah memungkinkan menjaga jarak di dalam kolam renang? Apalagi banyak masyarakat yang tidak mudik akan memenuhi destinasi-destinasi wisata.
Keempat, kebijakan pembukaan wisata akan menghambat kesuksesan dari kebijakan pelarangan mudik. Kebijakan larangan mudik tujuannya untuk menjaga dan menurunkan angka COVID-19. Akan tetapi, apabila masyarakat diperbolehkan berwisata maka tujuan pelarangan mudik itu tidak akan efektif.
Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, telah terjadi lonjakan kasus COVID-19 pasca-banyaknya masyarakat yang pergi untuk liburan. Selain itu, masyarakat akan ‘membandel’ untuk tetap mudik karena destinasi wisata saja diperbolehkan kenapa mudik justru dilarang? Kira-kira seperti inilah pertanyaan yang ada dalam benak masyarakat. Hal ini bukan asumsi semata, karena berdasarkan survey yang dilakukan oleh Kemenhub pada Maret lalu sebanyak 11% responden di antaranya menyatakan tetap akan mudik meski ada larangan. Angka ini sangat besar, dengan angka tersebut maka ada potensi 27,6 juta orang yang akan tetap melakukan mudik tahun ini.
ADVERTISEMENT
Terakhir, pemerintah haruslah menjadi teladan bagi masyarakat. Apabila memang larangan mudik tujuannya untuk menurunkan angka COVID-19–per hari Kamis angka COVID-19 Indonesia sudah mencapai 1.589.359 orang–maka sudah seharusnya kebijakan tersebut didukung dengan kebijakan-kebijakan yang serupa dan bukannya justru dengan kebijakan yang sama sekali bertolak belakang, seperti pembukaan destinasi wisata.