Konten dari Pengguna

Menuju 2022: Catatan Hitam Sektor Ketenagakerjaan Kita

Netty Prasetiyani
Anggota Komisi IX DPR RI
2 Januari 2022 9:31 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Netty Prasetiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tenaga kerja Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tenaga kerja Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Masuknya COVID-19 di Indonesia memaksa pemerintah melakukan pembatasan sosial secara besar-besaran. Pembatasan ini bertujuan untuk meminimalisasi mobilitas masyarakat, yang salah satu caranya dengan mengenalkan konsep Work From Home (WFH) bagi sektor-sektor non-esensial. Pembatasan demi pembatasan yang dilakukan pemerintah sebagai upaya menekan angka kasus COVID-19 berakibat pada menurunnya aktivitas ekonomi. Secara perlahan ekonomi Indonesia mengalami kelesuan, bahkan hingga kuartal I-2021, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih minus 0,74% year on year (yoy). Hal ini tentu berpengaruh pada serapan tenaga kerja di tanah air.
ADVERTISEMENT
Riset yang dilakukan SMERU mencatat hingga bulan Agustus 2020 terjadi peningkatan angka pengangguran sebesar 2,7 juta orang. Pada saat yang sama, rata-rata upah nominal pekerja atau buruh mengalami penurunan sebesar -5,2% dari upah nominal sebelum pandemi. Sementara itu menurut laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak 21,32 juta orang atau 10,32 persen penduduk usia kerja terkena dampak COVID-19. Tingginya angka pekerja yang terkena dampak COVID-19 ini sangat mengkhawatirkan, karena sebelum ada pandemi saja lapangan kerja di Indonesia tidak cukup menampung usia kerja. Padahal seharusnya setiap rakyat Indonesia berhak atas pekerjaan dan imbalan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Amanat konstitusi ini juga harusnya jadi dasar bagi pemerintah untuk memperkuat pengawasan terhadap proses PHK. Lemahnya pengawasan dari pemerintah membuat sebagian perusahaan melakukan PHK tidak wajar dengan berlindung di balik COVID-19.
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani
Minimnya pengawasan pemerintah terhadap pekerja yang mengalami PHK dan migrasi sepihak, ini terlihat pada kasus karyawan Asuransi Jiwasraya. Sampai hari ini mereka diminta untuk bermigrasi ke perusahaan-perusahaan baru tanpa pesangon dan pemenuhan hak-hak lainnya sebagai seorang pekerja. Tenaga kerja dalam negeri kita juga harus kembali gigit jari karena pada waktu yang sama tenaga kerja asing justru berbondong-bondong masuk ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pemerintah memang mengantisipasi menurunnya daya beli masyarakat selama Pandemi COVID-19 dengan mengeluarkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Harapannya dengan adanya program-program seperti ini, selain meningkatkan daya beli masyarakat juga mampu merangsang pertumbuhan ekonomi khususnya di sektor UMKM. Beberapa program JPS pemerintah seperti BLT, PKH, Kartu Prakerja, Kartu Sembako, Subsidi Listrik, BSU, dan lain-lain digulirkan sesuai peruntukannya masing-masing. Kebijakan JPS dari pemerintah yang berangkat dari filosofi ‘memberi ikan’ kepada kelompok yang tak memiliki kail, nampak bagus, akan tetapi faktanya tidak terlalu efektif dalam membantu ekonomi masyarakat. Survei Indonesia Political Opinion (IPO) bahkan menilai program jaring pengaman sosial pemerintah tidak terlalu bagus di mata masyarakat. Salah satu program jaring pengaman sosial yang banyak mendapat penilaian negatif dari masyarakat menurut JPO adalah Kartu Prakerja. Kartu Prakerja dianggap tidak efektif dan tepat sasaran sehingga masyarakat yang sudah terkena dampak COVID-19 tersebut justru tidak terbantu dengan adanya Program JPS.
ADVERTISEMENT
Tingginya tingkat pengangguran atau penduduk usia kerja yang terkena dampak COVID-19 ini juga bukan hanya memengaruhi ekonomi rill masyarakat, tapi juga berpengaruh terhadap kehidupan secara sosial. Pandemi COVID-19 membuat kehidupan banyak keluarga berantakan karena minimnya ekonomi. Pengadilan Agama (PA) dari beberapa daerah melaporkan angka perceraian saat Pandemi COVID-19 cenderung meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal itu sebagaimana yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Barat (PA Jakbar). Sejak awal 2021 hingga saat ini, PA Jakbar telah menerima lebih dari 3.200 perkara kasus perceraian yang mayoritas gugatan cerai diajukan oleh pihak istri.

Minimnya Lapangan Kerja dan Pertaruhan PMI

Minimnya lapangan kerja di tanah air membuat sebagian besar masyarakat memilih untuk menjadi pekerja migran. Pada tahun 2017, Bank Dunia mencatat Indonesia menjadi penyumbang kedua terbesar pekerja migran di ASEAN. Dari total 6,5 juta tenaga kerja migran yang tersebar di Malaysia, Singapura, dan Thailand, sebanyak 1,2 juta orang disumbang oleh Indonesia. Terbatasnya lapangan pekerjaan di dalam negeri, rendahnya tingkat pendidikan, dan diperkuat kebutuhan hidup yang semakin tinggi, menjadi alasan yang memaksa sebagian masyarakat Indonesia memilih untuk menjadi pekerja migran. Mereka tersebar di berbagai sektor formal maupun informal, legal ataupun non-prosedural. World Bank dan BPS melaporkan jumlah mereka saat ini ada sekitar 9 juta jiwa yang tersebar di berbagai negara.
ADVERTISEMENT
Pada satu sisi, kita memang harus mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh para PMI dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Mereka adalah pahlawan bagi keluarganya. Bukan hanya itu saja, hadirnya PMI yang tersebar di berbagai negara telah menyumbang devisa yang tinggi bagi negara. Di samping itu, banyaknya pekerja migran Indonesia ini juga harus menjadi kritik mendasar terhadap kebijakan pemerintah dalam mengelola pasar tenaga kerja. Banyaknya rakyat kita yang memilih untuk menjadi PMI dengan segala risikonya merupakan residu dari ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja di tanah air. Sederhananya, jika memang lapangan kerja di Indonesia tersedia dan layak, kiranya rakyat kita tidak perlu harus menantang maut untuk menjadi PMI di luar sana. Apalagi, banyak dari PMI ini berangkat secara non-prosedural yang risikonya jauh lebih tinggi. Hampir setiap tahun kita menyaksikan banyak PMI kita yang menjadi korban, baik fisik maupun mental saat bekerja di luar negeri. Hal ini tidak boleh terus dibiarkan terjadi. Dalam rangka melindungi PMI, pemerintah harus beritikad untuk meningkatkan kerja sama dengan berbagai pihak dalam rangka menurunkan jumlah PMI non-prosedural serta mengangkat jumlah PMI sektor formal dan terampil di bandingkan informal, baik skema G to G maupun B to B. Hal ini juga dilakukan demi meningkatkan marwah bangsa di hadapan masyarakat global.
ADVERTISEMENT
Pemerintah dalam menangani persoalan PMI non-prosedural jangan terus berpatok pada upaya kuratif berupa penangkapan. Seharusnya pemerintah meningkatkan upaya edukasi dan mitigasi, serta mempermudah dan mempermurah fasilitasi bagi calon PMI. Jika ini dilakukan maka masyarakat tidak mudah tergiur dengan jalur non-prosedural karena sulit dan mahalnya mengakses yang prosedural. Pemerintah juga melaporkan bahwa PMI tersebar di sekitar 200 negara dan didominasi oleh pekerja domestik. Banyaknya negara yang jadi tujuan PMI justru berbanding terbalik dengan jumlah atase ketenagakerjaan yang hanya ada di 13 negara. Pertanyaannya, bagaimana mungkin bisa melindungi jika PMI tidak memiliki tempat untuk melapor di negaranya bekerja? Pada sisi lainnya, pemerintah juga berkewajiban melakukan pemberdayaan dan perlindungan terhadap keluarga dan anak dari pekerja migran. Pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat sekitar harus saling bekerja sama mengingat anak pekerja migran ini menjadi kelompok rentan dari berbagai masalah sosial, seperti gizi buruk, stunting, putus sekolah, human trafficking, kekerasan/kejahatan seksual, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT