Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Otak-atik Strategi Penanganan COVID-19
4 Februari 2021 11:09 WIB
Tulisan dari Netty Prasetiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari ini, sudah hampir 11 bulan sejak pertama kali wabah COVID-19 menyerang Indonesia. Semua sektor luluh lantak oleh akibat yang ditimbulkan, baik ekonomi, pendidikan, pemerintahan hingga kesehatan.
ADVERTISEMENT
Per 2 Februari tercatat kasus Positif di Indonesia sebanyak 1.099.687 kasus, dengan pasien sembuh 896.530 orang dan pasien Meninggal 30.581 orang. Fakta ini membuat Indonesia harus menduduki beberapa peringkat yaitu, Peringkat ke-4 dengan kasus terjangkit terbanyak di Asia, dan peringkat pertama dengan kasus aktif COVID-19 tertinggi di Asia, mengalahkan India.
Tentu informasi ini bukan hal yang membahagiakan bagi kita, justru hal yang menyedihkan dan dibutuhkan penanganan yang matang dan ekstra cepat dari pemerintah. Kebijakan yang lambat dan tidak matang akan kalah cepat oleh pergerakan virus ini yang cepat dan eksponensial. Banyak kebijakan dan respons pemerintah yang lambat dan harus dievaluasi dalam penanganan COVID-19 ini.
Kebijakan populis pemerintah
ADVERTISEMENT
Kasus pertama COVID-19 bulan Desember di Wuhan, China tidak direspon secara cepat dan tepat oleh pemerintah. Malah yang terdengar di publik adalah respons candaan dan menyepelekan. Alhasil, kasus pertama di awal maret muncul di Indonesia, respons yang diberikan juga tidak ditanggapi dengan serius dan pemerintah tidak menyiapkan protokol mitigasi Penanganan COVID-19 . Padahal WHO akhirnya menyatakan corona sebagai pandemi pada 11 Maret lalu.
Pemerintah justru gagap dan memilih imbauan menenangkan masyarakat dan kebijakan populis lainnya. Padahal, negara lain ketika mengantisipasi kedatangan kasus dan ketika kasus tiba mereka sudah menyiapkan sejak dini dan melaksanakan kebijakan step by step sebagaimana yang direncanakan secara ilmiah, seperti yang dilakukan oleh Vietnam, Korea Selatan, Selandia Baru, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Tidak seperti Indonesia, mereka begitu serius dalam fase krusial penanganan di tiga bulan pertama dengan berbagai kebijakan baik itu 3T (testing, tracing dan treatment) hingga pelarangan mobilisasi manusia dalam berbagai skema, full lockdown hingga regional lockdown. Indonesia melewatkan masa emas penanganan COVID-19 dengan koordinasi yang buruk antara pusat dan daerah, hierarki birokratis, kelangkaan APD dan perlengkapan medis turunan, hingga polemik PSBB dan istilah lainnya.
Keberpihakan pemerintah terhadap penanganan wabah kesehatan dengan pendekatan kesehatan juga tidak tampak. Terlihat dari jumlah anggaran penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) Rp 695 triliun, yang ditujukan penanganan kesehatan hanya sebesar Rp 97,9 triliun. Hal ini membuktikan pemerintah berfokus pada persoalan dampak pandemi bukan pada penyebab wabah pandemi.
ADVERTISEMENT
Lepas dari tiga bulan itu, perkembangan kasus semakin meningkat dan terus meningkat hingga hari ini dan belum terlihat tanda flattening the curve seperti negara lain di Asia bahkan ASEAN. Kemudian pemerintah pemerintah menerbitkan kebijakan PPKM serentak di Jawa Bali selama 2 minggu, dan ternyata hasilnya tidak menurunkan angka persebaran kasus. Akhirnya presiden hanya mengakui kebijakan ini tidak efektif. Padahal di saat yang bersamaan, presiden banyak negara melakukan permohonan maaf telah gagal menangani COVID-19 .
Jumlah kasus yang meningkat berdampak pula pada jumlah pasien yang dirawat. Kondisi ini jika tidak dikendalikan maka yang terjadi adalah RS collapse dengan ketiadaan bed. Kemenkes melaporkan keterisian BOR di RS Jawa dan Bali sudah melebihi 60 persen, bahkan di Jakarta dan Banten lebih dari 80 persen. Padahal edaran Menkes adalah 40 persen total kapasitas bed harus digunakan untuk perawatan COVID-19. Berapa sebenarnya jumlah bed di Indonesia? Perbedaan data pun terjadi.
ADVERTISEMENT
Direktur Kesehatan dan gizi masyarakat bappenas pada agustus 2020 mengatakan bahwa total bed di RS tanah air 276.525, akan tetapi kemenkes tahun 2018 mengumumkan jumlah bed Rumah sakit d Indonesia totalnya 310.700. Permasalahan klasik muncul kembali.
Melihat jumlah kasus Kemudian pemerintah berlomba-lomba untuk menyediakan vaksin sebagai game changer penanganan pandemi. Pemerintah mengumumkan akan menggunakan 5 merk vaksin, yaitu sinovac, novavax, COVAX/GAVI, AstraZeneca, dan Pfizer. Di dalamnya tidak masuk vaksin yang dikembangkan oleh anak bangsa, vaksin merah putih. Vaksin bukan tanpa permasalahan yang hingga hari ini masih harus diperhatikan seperti skema pengadaan dan pembiayaan vaksin semua merk jangan sampai ada yang memancing di air keruh, EUA, dan fatwa Halal dari MUI untuk semua merk vaksin yang akan digunakan.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan kemenkes, disebutkan bahwa ada 2 gelombang dengan 4 kelompok vaksinasi yaitu SDM Kesehatan, pelayan publik dan lansia, masyarakat rentan, dan masyarakat lainnya. Pemerintah menargetkan 181.554.465 penduduk akan divaksin serta Jumlah Kebutuhan Dosis Vaksin dengan wastage rate 15% sebanyak 426.800.000 dosis.
Akhirnya, apa yang harus dilakukan?
Akibat kebijakan penanganan COVID-19 yang lambat dan tidak tepat hingga mobilisasi manusia tak bisa dibendung, akhirnya masyarakat jenuh dengan pemerintah, melakukan civil disobidien, dan parahnya harus mengorbankan ratusan bahkan lebih dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
Bahwa penanganan pandemi Indonesia masih berantakan dari hulu ke hilir. Sejumlah persoalan masih jadi pekerjaan rumah di pengambil kebijakan dan lapangan, mulai dari operasional 3T yang masih rendah dan belum merata, protokol Kesehatan 3M yang masih longgar baik di pemerintah maupun masyarakat, kekurangan ruang isolasi dan kekurangan tenaga kesehatan, realisasi insentif bagi tenaga kesehatan petugas COVID-19 yang belum 100 persen, pengadaan dan pembiayaan vaksinasi, data vaksinasi masih tidak jelas, potensi peluang korupsi pada program penanganan COVID-19 hingga buruknya komunikasi publik pemerintah.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, pemerintah harus berkeliaran dengan waktu untuk memperbaiki komunikasi & strategi penanganan pandemi dengan pendekatan ilmiah yang strategis dan komprehensif. Terlebih pemerintah sudah menyatakan gagal dalam strategi PPKM nya.
Pemerintah harus terus meningkatkan kapasitas real 3T, jangan bosan mencontohkan dan mengedukasi masyarakat agar taat protokol Kesehatan dengan 3M, serta dukung hasil inovasi anak bangsa yang mudah diakses masyarakat untuk membantu penanganan pandemi.
Selain itu, Pemerintah harus terus meningkatkan kualitas dan kuantitas fasilitas layanan kesehatan untuk pasien COVID-19 . Fokuskan anggaran dan perhatian pada penanganan sektor kesehatan sebagai basis masalah. Saat ini sudah banyak RS rujukan yang kekurangan fasilitas ruang perawatan sehingga pasien harus mengantre dan lambat ditangani. Prinsipnya keselamatan dan Kesehatan seluruh rakyat adalah keharusan dan jaminan konstitusi.
ADVERTISEMENT