Pancasila di Era New Normal: Kesehatan, Ketenagakerjaan dan Kependudukan

Netty Prasetiyani
Anggota Komisi IX DPR RI
Konten dari Pengguna
4 Juni 2020 16:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Netty Prasetiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
New Normal. Foto: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
New Normal. Foto: Maulana Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1 Juni 1945, Ir Soekarno menyampaikan pidato yang berisi dasar negara yang kemudian diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Pidato Bung Karno itu hadir seiring munculnya satu pertanyaan pokok yang dikemukakan, yakni jika Indonesia merdeka, apa yang akan menjadi dasarnya?
ADVERTISEMENT
Bung Karno berpikir bahwa untuk merdeka, bangsa Indonesia harus punya dasar. Pertanyaan mengenai dasar itu ia bacakan dalam bahasa Belanda sebagai “Philosofische grondslag” Indonesia merdeka. Kata Bung Karno dalam pidatonya: “Philosofische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi”.
Ketika berbicara mengenai Pancasila sebagai dasar untuk menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, maka akan ditemukan lima nilai dasar. Lima dasar ini adalah hasil perenungan yang keras dari para pendiri bangsa terkait nilai-nilai yang sudah ada dan hidup di dalam bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu yang juga menjadi awal kalimat dalam Pancasila yakni ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.
ADVERTISEMENT
Hari ini, ketika kita akan memperingati Hari lahir Pancasila pada tanggal 1 Juni, nilai luhur itu semakin penting untuk diingat, apalagi saat bangsa Indonesia dilanda pandemi COVID-19.
Dr. Hj. Netty Prasetiyani, M.Si
Dalam konteks new normal atau sebagian orang mengatakan new abnormal, setidaknya WHO memberikan prasyarat secara ketat pada negara yang hendak melakukan transisi, pelonggaran pembatasan, dan skenario new normal untuk berpijak pada hal berikut ini:
1. Bukti yang menunjukkan bahwa transmisi COVID-19 dapat dikendalikan.
2. Kapasitas sistem kesehatan dan kesehatan masyarakat tersedia untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak, dan mengkarantina seperti rumah sakit dan laboratorium.
3. Risiko virus corona diminimalkan dalam pengaturan kerentanan tinggi, terutama di panti jompo, fasilitas kesehatan mental, dan orang-orang yang tinggal di tempat-tempat ramai.
ADVERTISEMENT
4. Langkah-langkah pencegahan di tempat kerja ditetapkan dengan pemberlakuan jarak fisik, fasilitas mencuci tangan, dan kebersihan pernapasan.
5. Risiko kasus impor dapat dikelola.
6. Masyarakat memiliki suara dan dilibatkan dalam kehidupan new normal.
Sebagai bangsa dan Negara yang berdaulat, maju dan unggul, sejatinya Indonesia mampu melewati fase awal penanganan COVID-19 dengan baik. Namun, ketidakjelasan kebijakan pemerintah membawa kita pada kondisi pandemi yang kita alami hari ini.
Padahal nilai pancasila harus tetap menjadi acuan dan diimplementasikan dalam sikap dan mengambil keputusan baik sebagai pemerintah maupun sebagai rakyat. Mengingat, dalam penanganan COVID-19 ini setidaknya ada tiga (3) elemen yang harus berpartisipasi dan berkolaborasi, yaitu pemerintah, masyarakat dan layanan kesehatan.
Partisipasi pemerintah harus diwujudkan dalam bentuk good governance, kemudian masyarakat sebagai pemegang kendali republik ini berkontribusi dalam bentuk gotong royong atau civil solidarity, serta sinergi yang dibangun harus ditopang oleh layanan kesehatan yang komprehensif dalam bentuk good health system.
ADVERTISEMENT
Jika pemerintah mampraktikkan good governance disertai layanan kesehatan yang prima, maka rakyat akan suka cita memberikan kontribusi dan partisipasi. Namun jika terjadi sebaliknya, maka rakyat akan mudah untuk acuh bahkan melakukan pembangkangan.
Maka dari itu, dalam kaitan pancasila dengan bidang kesehatan, tenaga kerja, bahkan kependudukan di masa pandemi menuju new normal ini, setidaknya nilai pancasila yang berkaitan erat adalah sila kemanusiaan dan sila keadilan. Tetapi secara keseluruhan, nilai dari sila Oancasila dapat diejawantahkan di era new normal dalam berbagai hal seperti:
Nilai Ketuhanan
Nilai ini terwujud dalam bentuk meyakini bahwa COVID-19 beserta dampaknya adalah ujian dari Tuhan YME agar kita senantiasa mawas diri sebagai hamba dan tetap mensyukuri nikmatNya saat lapang maupun sempit. Selain itu, hendaknya tidak berlaku egois dan tidak mengindahkan protokol kesehatan saat menjalankan ibadah di kala pandemic COVID-19 masih mengintai.
ADVERTISEMENT
Imbauan dari para tokoh dan lembaga keagamaan untuk tidak melaksanakan ibadah yang mengundang orang untuk berkumpul, maka hendaknya yang beragama tidak egois, turut mengamini imbauan tersebut. Karena pada dasarnya bukan beragamanya yang dikoreksi melainkan cara beragama di tengah pandemi yang harus disiasati.
Kita tidak ingin mengalami seperti apa yang terjadi di Korea Selatan dan Malaysia. Bahwa pada awal tersebarnya virus corona di negara tersebut, ada andil pasien yang tidak mematuhi imbauan peribadatan yang aman dari ulama dan tokoh agama setempat.
Selain itu, diharapkan masyarakat senantiasa menjaga imunitas kesehatan tubuh dan berobat ke fasilitas kesehatan jika terserang penyakit dan para tenaga kesehatan tetap memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan YME.
ADVERTISEMENT
Nilai Kemanusiaan
Prinsip kemanusiaan yang ada dalam sila kedua Pancasila harus menjadi ruh dalam menangani pandemi Covid-19. Bahwa Negara, tenaga kesehatan, dan pihak yang berjuang ini sejatinya sedang menyelamatkan peradaban kemanusiaan.
Tetapi masalahnya sekarang, sudahkah kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah mengedepankan perikemanusiaan yang memandang semua manusia sebagai manusia, dan peran pemerintah adalah untuk melindungi setiap warga negaranya. Tapi, seperti jauh panggang dari api, dari Rp 405,1 triliun untuk penanganan Covid-19, pemerintah hanya mengalokasikan Rp. 70 T untuk penanganan kesehatan dengan tambahan berbagai potongan lain tentu saja. Jumlah yang sangat jauh untuk sebuah pengamalan perlindungan kemanusiaan.
Saat ini kebijakan yang diambil oleh pemerintah masih belum sepenuhnya memperhatikan prinsip itu. Sebut saja, di awal penanganan COVID-19 pemerintah tidak memberikan perlindungan tenaga kesehatan dengan APD dan perlengkapan medis yang layak hingga banyak dari mereka menjadi korban. Padahal mereka adalah garda terdepan sekaligus terakhir dalam penanganan, tanpa mereka akan banyak rakyat menjadi korban.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana wacana kebijakan new normal yang secara tidak langsung membiarkan rakyat untuk bertarung sendiri melawan virus corona (care immunity). Meskipun pemerintah mengatakan bahwa kebijakan new normal akan didukung dengan tingginya protokol kesehatan, tapi tetap saja belum ada jaminannya. Bahkan KPAI menyampaikan hanya ada 18 persen sekolah yang siap melaksanakan protokol kesehatan, sisanya yakni lebih dari 80 persen mengaku tidak siap.
Pemerintah harus mencari kebijakan yang melindungi segenap rakyat Indonesia dari marabahaya kesehatan, kemiskinan, pengangguran dan kematian. Selepas pandemi berakhir, pemerintah harus membuka lapangan pekerjaan jauh lebih besar dari biasanya, karena angkatan kerja meningkat, pengangguran meningkat ditambah pekerja yang di-PHK bertambah hingga saat ini.
Nilai Persatuan Indonesia
Indonesia dapat keluar menjadi bangsa pemenang manakala mampu menangani virus Corona. Tapi kita akan menjadi bangsa pecundang, jika kita tidak mampu mengatasinya. Untuk menang melawan virus Corona, harus melibatkan seluruh pihak dan tidak boleh sendiri-sendiri. Masyarakat harus mengupayakan terciptanya civil solidarity.
ADVERTISEMENT
Dan memang, di lapangan hal ini sudah terjadi. Bagaimana kita melihat banyak antara tetangga saling bantu sama lain, melakukan patungan untuk berdonasi, pemberian makanan untuk sesama dan segala macamnya. Pada sisi yang lain, civil solidarity juga harus dipandu dan dibimbing oleh pemerintahan yang bagus (Good Governance).
Pemerintahan yang bagus dalam menangani COVID-19, sebagaimana yang tampak dari negara-negara tetangga akan menenangkan masyarakat serta memberikan rasa optimisme. Ketenangan dan optimisme ini sangat penting untuk membuat masyarakat disiplin dan mengikuti semua aturan main.
KADIN mencatat ada sekitar 6 Juta pekerja dirumahkan dan di-PHK akibat COVID-19. Jumlah ini jauh lebih banyak dari yang dirilis oleh pemerintah. Pemerintah menyebutkan pertumbuhan ekonomi hanya di bawah 3 persen, UMKM terpuruk dan daya beli masyarakat sangat turun termasuk daya beli sektor domestik. Padahal, pada situasi normal sektor UMKM dan ekonomi sektor domestik sangat berkontribusi terhadap ekonomi.
ADVERTISEMENT
Maka, di era ini muncul gerakan bantu UMKM, bantu jualan teman, dan saling bantu galang dana untuk memenuhi kebutuhan domestik banyak dilakukan oleh masyarakat. Pemerintah harus support UMKM dan bantu konsumsi rumah tangga dengan bantuan sosial yang simultan hingga pandemi ini berakhir.
Nilai kerakyatan
Pada sila ini, kata kerakyatan diikuti dengan frasa yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Rakyat, dalam menghadapi COVID-19 harus dipimpin secara hikmat. Tetapi, sejak awal yang kita saksikan respons pemerintah dalam menghadapi COVID-19 jauh daripada kata hikmat dan bijaksana. Justru yang terlihat adalah komentar-komentar yang cenderung menutup-nutupi, menyepelekan dan non-scientific dalam penanganan COVID-19.
Seperti misalnya saat seorang pejabat tinggi Negara mengatakan bahwa Indonesia kebal corona karena rakyatnya gemar makan nasi kucing atau ketika pemerintah mewacanakan untuk menyewa influencer untuk promosi wisata saat Negara lain memperketat negaranya dari akses dunia luar. Dan tak kalah prihatinnya saat pemerintah menetapkan duta corona yang dianggap sebagai kegiatan yang tidak penting dan bermanfaat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kebijakan kartu prakerja yang dicanangkan pemerintah dinilai sangat melukai nilai kerakyatan. Di saat pandemi, masyarakat jauh lebih membutuhkan akses kesehatan yang mudah, murah dan terjangkau serta kebutuhan konsumsi harian keluarga daripada harus mengikuti kursus online.
Terlebih selain penunjukan vendor kartu yang sarat akan aroma nepotisme ala oligark, konten pelatihan yang ada pun tidak sepadan karena di platform lain banyak yang menyediakan secara gratis. Oleh karena itu, program dan proses pengadaan kartu prakerja tidak mencerminkan nilai pancasila. Jangan sampai selepas pandemi ini berakhir, makin meningkat angka kemiskinan dan gizi buruk masyarakat.
Nilai keadilan sosial
Keadilan sejak awal sudah menjadi nilai luhur dari bangsa ini. Keadilan sosial begitu penting diwujudkan dalam penanganan pandemic COVID-19. Pemerintah, selaku pengambil kebijakan harus meletakkan prinsip keadilan sebagai dasar kebijakannya.
ADVERTISEMENT
Selama ini di lapangan, bahwa ada pihak-pihak yang berusaha memonopoli Pancasila dan digunakan untuk mendiskreditkan pihak lainnya. Jauh dari prinsip keadilan, Pancasila justru hanya dijadikan alat pemukul kepada pihak lawan politik dengan tudingan anti Pancasila. Seolah-olah yang ingin diciptakan di lapangan adalah dua kubu, yakni kubu Pancasilais dan kubu anti Pancasila.
Pemerintah juga harus berani menguji kembali setiap kebijakannya, apakah selama ini setiap kebijakan yang diambil sudah dilandasi dengan nilai luhur Pancasila atau tidak. Pelayanan kesehatan ke depannya jangan sampai memandang kelas, karena seharusnya setiap rakyat memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari Negara, dan itu dijamin oleh UUD NRI tahun 1945.
Jaminan ini harus diwujudkan dengan serius oleh pemerintah dengan memberikan layanan kesehatan dan akses pekerjaan berasaskan keadilan tanpa pandang kelas sosial, suku, ras dan agama. Pemerintah harus bertanggung jawab terhadap kematian ibu dan anak akibat tidak bisa menikmati layanan kesehatan dan pangan atau bahkan terhadap KDRT yang terjadi akibat impitan ekonomi.
ADVERTISEMENT