Pandemi Covid-19 Dan Keharusan Reformasi Sistem Kesehatan Nasional

Netty Prasetiyani
Anggota Komisi IX DPR RI
Konten dari Pengguna
2 November 2020 13:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Netty Prasetiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada yang berbeda dalam peringatan Hari Dokter tanggal 24 Oktober kemarin. Tahun ini Hari Dokter harus diperingati dengan rontoknya sistem kesehatan nasional kita akibat serangan pandemi Covid-19. Ketika Indonesia diserang pandemi Covid-19, kita saksikan betapa gagapnya pengambil kebijakaan dalam menahan laju pandemi. Serangan pandemi Covid-19 telah membuka mata kita semua, bahwa kita memiliki sistem kesehatan yang tidak siap.
ADVERTISEMENT
Sejumlah ahli menyebut, ketidaksiapan ini dikarenakan beberapa alasan seperti kurangnya dokter spesialis di tanah air terutama spesialis paru, tempat tidur yang terbatas dan kurangnya ruang ICU serta ventilator. Ketidaksiapan sistem kesehatan nasional kita semakin diperjelas dengan terus melonjaknya kasus Covid-19 di tanah air. Jika dibandingkan dengan Cina, jumlah kasus Covid-19 di tanah air sudah melebihi dua kali lipatnya.
Masih Jadi 'PR'
Jumlah ketersediaan dokter di tanah air masih menjadi pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Indonesia menempati posisi kedua terendah di Asia Tenggara. Dalam laporan World Bank (2010-2017), rasio dokter di Indonesia hanya sebesar 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Dengan demikian, Indonesia hanya memiliki 4 dokter untuk menangani 10.000 penduduknya. Jumlah ini sangat rendah apabila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura yang memiliki 2 dokter untuk 1.000 penduduknya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan tenaga kesehatan? Jumlah tenaga kesehatan di Indonesia sama buruknya dengan jumlah dokter yang tersedia. Rasio perawat untuk 1.000 penduduk sebesar 2,1 yang artinya dua orang perawat untuk melayani 1.000 penduduk di Indonesia.
Fakta-fakta ini juga diperparah dengan buruknya persebaran jumlah dokter di tanah air yang tidak merata. Badan Pusat Statistik (2019) mencatat dokter-dokter Indonesia hanya menumpuk di kota-kota besar terutama di pulau Jawa seperti DKI Jakarta sebanyak 11.365 orang, Jawa Timur 10.802, Jawa Tengah 9.747, dan Jawa Barat 8.771. Sementara daerah-daerah yang di luar pulau Jawa memiliki dokter yang sangat sedikit seperti Papua Barat sebanyak 302 orang, Sulawesi Barat 308 dan Maluku Utara 324.
Buruknya sistem kesehatan di tanah air menjadi pekerjaan rumah yang mendesak untuk segera diselesaikan karena menyangkut kesiapan setiap daerah dalam menghadapi wabah penyakit. Jika persebaran dokter dan tenaga kesehatan masih tidak merata di tanah air, maka yang terjadi adalah tingkat pelayanan kesehatan yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Pendidkan Dokter Terlalu Lama
Jamak diketahui bahwa pendidikan kedokteran menjadi salah satu pendidikan yang paling lama masa studinya. Untuk menjadi seorang dokter spesialis biasanya seseorang paling sedikit membutuhkan waktu di atas 12 tahun. Waktu di atas 12 tahun ini dibutuhkan untuk S1 kedokteran (4 tahun), Koas (2 tahun), Internship (1 tahun) dan pendidikan dokter spesialis (4.5 tahun).
Lamanya pendidikan dokter ini juga diperparah dengan adanya keharusan untuk lulus Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter atau Dokter Muda. Ujian tersebut menjadi syarat untuk memperoleh sertifikat kompetensi dan sertifikat profesi, dan dipakai atau dianggap setara sebagai pengganti ijazah. Akan tetapi, masalahnya adalah banyak calon-calon dokter yang gagal sewaktu ujian kompetensi pertamakali diterapkan.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2014, tahun pertama ujian itu diterapkan menunjukkan tingkat kelulusan yang sangat rendah, bahkan ada yang harus mengulang sampai 20 kali ujian. Bisa dibayangkan bagaimana sulit dan panjangnya jalan yang ditempuh untuk menjadi seorang dokter yang kehadirannya sangat dibutuhkan masyarakat. Hal ini belum lagi menyinggung biaya untuk pendidikan dokter yang luar biasa mahalnya. Untuk menjadi dokter biasanya seseorang harus mengeluarkan dana ratusan juta rupiah dari awal masuk sampai dengan selesai.
Reformasi Sistem Kesehatan
Untuk mengatasi sejumlah persoalan dalam sistem nasional kita, mau tidak mau harus dilakukan reformasi kebijakan kesehatan nasional secara mendasar. Beberapa hal yang dilakukan di antaranya. Pertama, mapping. Kedepannya harus ada pemetaan kemampuan kesehatan setiap wilayah-daerah seperti ketersediaan SDM, sarana prasarana, faskes dan logistik obat. Pemerintah yang merupakan pihak yang paling berwenang dalam mengatur kesehatan nasional, harus punya data yang real berapa sebenarnya jumlah faskes di tanah air. Bukan hanya itu, pemerintah juga harus mampu memastikan berapa jumlah dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang tersedia di setiap faskes tersebut.
ADVERTISEMENT
Kedua, konektifitas. Belum adanya konektifitas di tanah air sangat berdampak terhadap tidak kunjung berkembangnya sistem kesehatan digital kita. Banyak daerah-daerah di tanah air yang belum terjangkau satelit. Terutama daerah-daerah terpencil yang masuk dalam kategori daerah 3 T (Terluar, Tertinggal dan Termuskin).
Ketika konektifitas sudah merata di seluruh wilayah Indonesia, maka dapat dipastikan masyarakat Indonesia bisa mendapatkan akses kesehatan yang mudah karena bisa berkonsultasi dengan dokter meskipun jaraknya yang berjauhan. Pada sisi yang lain, biayanya jauh lebih murah dibandingkan harus datang langsung dengan medan tempuh yang jauh dan sulit.
Ketiga Penempatan. Sistem kesehatan nasional kita tidak bisa sehat apabila pemerintah tidak menyelesaikan masalah mendasar seperti distribusi dokter dan tenaga kesehatan di tanah air. Ketimpangan jumlah dokter di tanah air sangat mengkhawatirkan. Misalnya saja tahun 2016, yang mana DKI Jakarta memiliki 170 dokter untuk 100.000 penduduk, sementara Sulawesi Barat hanya memiliki 10 dokter untuk 100.000 penduduknya.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan distribusi dokter ini juga sudah terjadi sejak dalam institusi pendidikan. Dari 83 sekolah kedokteran di Indonesia, 44 di antaranya berada di Pulau Jawa dan semuanya berada di wilayah perkotaan. Memang beberapa sekolah kedokteran menjalankan program magang dan menugaskan calon dokternya di di wilayah non-perkotaan, namun biasanya waktunya tidak lama dan kurang dari setahun. Sebagaimana biasanya setelah penugasan selesai, calon-calon dokter ini biasanya akan kembali lagi ke kota-kota besar.
Oleh karena itu, jika kita ingin mereformasi sistem kesehatan nasional maka sudah seharusnya masalah penempatan ini menjadi prioritas pemerintah. Karena selama tidak ada strategi untuk menurunkan angka ketimpangan jumlah dokter di tanah air, maka sistem kesehatan nasional kita tidak akan benar-benar sehat.
ADVERTISEMENT