Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tantangan Kesehatan Indonesia: Catatan Menyambut Tahun 2022
31 Desember 2021 20:58 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Netty Prasetiyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tahun 2021 telah berakhir dan kita telah memasuki tahun 2022. Meskipun kondisi ekonomi maupun kesehatan kita jauh lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya, namun tetap saja kita belum bisa bernapas lega. Bagaimana tidak, sudah dua tahun lamanya kita bergulat menghadapi pandemi COVID-19. Virus yang awalnya hanya menyerang sektor kesehatan, ternyata merembet ke berbagai sektor lainnya, seperti ekonomi dan sosial. Sebagai sebuah negara, kita memang telah berhasil menekan kasus dan membuat positivity rate menjadi rendah, akan tetapi dampak COVID-19 masih terus dan kian terasa. Kita tidak bisa begitu saja melompat dan kembali seperti sedia kala sebelum adanya pandemi COVID-19. Kita membutuhkan waktu transisi untuk bisa bangkit dan menatap ke depan.
Tantangan Kesehatan Pasca Pandemi
Selama pandemi COVID-19, khususnya di pertengahan tahun 2021 kita menyaksikan bagaimana fasilitas kesehatan kita ambruk dan tidak memadai melawan serangan virus. Kita mengalami serba kekurangan dari berbagai lini, obat-obatan dan alat pelindung diri yang langka, pasien menumpuk, rumah sakit penuh, oksigen kosong, tenaga kesehatan kelelahan dan wafat, serta sengkarut harga tes dan aturan PPKM yang berubah-ubah. Satu sisi kita memang patut bersyukur bisa melaluinya meskipun dalam kondisi serba kekurangan. Pada sisi lain, di tengah rendahnya penularan COVID-19 kita juga dihadapkan dengan serangkaian masalah kesehatan. Saat ini kita mengalami empat transisi masalah kesehatan, yakni transisi epidemiologi, gizi, demografi, dan perilaku.
Pertama epidemiologi yang datang melalui dua kelompok penyakit, yakni penyakit menular dan penyakit tidak menular. Penyakit menular seperti TBC, diare, demam berdarah, cacingan, dan HIV masih menjadi ancaman bagi pembangunan sumber daya manusia yang unggul dan kualitas. Sementara penyakit tidak menular kronis seperti hipertensi, jantung, gagal ginjal, stroke, kencing manis, dan kanker menjadi momok bagi masyarakat. Penyakit tidak menular ini juga menjadi beban yang memberatkan bagi pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pada tahun 2018 saja total pembiayaan JKN untuk penyakit katastropik sebesar Rp 20,4 triliun, paling besar untuk penyakit jantung Rp10,5 triliun dan kanker Rp 3,4 triliun.
Kedua adalah masalah gizi masyarakat. Pada masyarakat kita, sebagian di antaranya mengalami kelebihan gizi (obesitas) namun sebagian lainnya justru mengalami gizi buruk. Laporan Kementerian Kesehatan balita (bayi berusia kurang dari lima tahun) yang mengalami stunting di tanah air sebesar 27,67%. Hal ini berarti satu dari empat balita di Indonesia menderita kekurangan gizi kronik. Stunting bukan sekadar tumbuh kerdil, namun ia adalah kondisi kekurangan gizi kronik sejak 1000 hari pertama kehidupan.
Ketiga masalah demografi. Di tengah gempitanya bonus demografi, kita masih memiliki masalah menyangkut laju pertumbuhan penduduk, kematian ibu melahirkan dan bayi, dan migrasi penduduk. Sementara itu, bertambahnya usia harapan hidup penduduk berusia lanjut diikuti dengan meningkatnya kasus geriatri. Keempat, masalah perilaku atau gaya hidup. Gaya hidup masyarakat yang menyukai segala sesuatu yang instan juga berdampak pada cara memilih makanan. Masyarakat yang mengonsumsi makanan siap saji dan minim gizi dari tahun ke tahun terus meningkat. Laporan Kementerian Pertanian, makanan siap saji saat ini menyumbang 28% dari semua kalori yang dikonsumsi oleh penduduk perkotaan.
Masalah-masalah kesehatan yang ada di masyarakat ini tidak boleh dibiarkan. Pemerintah harus memiliki gerakan dan penanganan yang solutif, karena jika tidak maka kondisi kesehatan rakyat Indonesia akan terus memprihatinkan. Pemerintah melalui Kemenkes menjawab tantangan masalah kesehatan ke depan menawarkan enam transformasi. Hal ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari penanganan COVID-19. Transformasi pertama dilakukan pada layanan primer, yaitu pencegahan penyakit. Kedua pada sektor sekunder yang dilakukan pada tingkat rumah sakit dan fasilitas kesehatan. Ketiga berkaitan dengan penguatan industri kesehatan. Keempat, terkait dengan pembiayaan kesehatan. Kelima, transformasi pada sektor Sumber Daya Manusia (SDM). Transformasi terakhir yang dilakukan berkaitan dengan teknologi kesehatan.
Transformasi Kesehatan; Antara Idealitas dan Realitas
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, saat melakukan konferensi pers terkait transformasi di bidang kesehatan (16/08) mengatakan bahwa "Semua rumah sakit kita, fasilitas kesehatan kita bisa memberikan layanan yang terbaik dan terstandar di seluruh pelosok nusantara". Menkes menyebutkan bahwa transformasi itu nantinya akan memastikan tak ada lagi perbedaan penanganan penyakit di masyarakat. Masyarakat miskin, masyarakat kaya, di kota dan di desa semuanya akan sama.
Kondisi fasilitas kesehatan yang begitu ideal sebagaimana yang ingin ditransformasikan pemerintah ini memang sudah seharusnya dilakukan. Tetapi jika kita mau jujur hal ini punya tantangan yang besar. Luasnya daerah Indonesia dari Sabang sampai Merauke membuat fasilitas kesehatan kita saat ini tidak merata. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan jumlah puskesmas di Indonesia pada tahun 2019 hanya 10.134. Jika kita menarik rasio 1:16.000, maka dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 270,2 juta idealnya kita harus memiliki 16.875 puskesmas. Persebaran puskesmas juga tidak merata karena beberapa daerah masih sulit mendapati puskesmas sebagaimana yang terjadi di Papua Barat di mana rasio puskesmas hanya 0,28 atau 5 kali lipat di bawah standar. Belum lagi kita bicara soal tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan yang masih sangat rendah. Hasil laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018 menyebutkan baru 20 persen masyarakat Indonesia yang sadar akan kesehatan. Angka ini sangat rendah dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
Kondisi yang disebutkan di atas tentunya akan langsung menantang transformasi kesehatan ideal yang dicanangkan oleh pemerintah. Menkes BGS saat bicara soal penguatan industri kesehatan juga mengatakan bahwa "... kalau ada pandemi lagi terjadi, value chain, rantai produksi dari obat-obatan kita, rantai produksi dari alat kesehatan kita, atau consumables-nya itu siap".
Hal ini tentu sangat positif, akan tetapi sebelum bicara lebih jauh soal industri kesehatan kita juga harus fokus pada pemerataan fasilitas serta tenaga kesehatan. Sampai saat ini kita masih kekurangan belasan ribu tenaga kesehatan untuk disebar ke seluruh daerah di Indonesia. Saat Pandemi COVID-19 melanda, kita juga kekurangan tenaga kesehatan di kota-kota besar di tanah air, padahal daerah-daerah perkotaan fasilitas kesehatannya jauh lebih lengkap dan stabil.
Transformasi di bidang kesehatan yang disampaikan oleh pemerintah selain didukung juga harus kita cermati. Jangan sampai transformasi ini hanya sekadar menyiapkan anggaran namun tidak berdampak pada terciptanya masyarakat yang sehat dan sadar akan pentingnya kesehatan. Jika ini yang terjadi, maka program dan strategi pemerintah di bidang kesehatan hanya sebatas business as usual yang tidak akan berdampak signifikan. Kita tidak ingin lagi infrastruktur kesehatan kita seperti saat menghadapi Covid-19, di mana infrastruktur kesehatan kita yang rapuh dan tidak berdaya dalam menghadapi ancaman wabah. Terlalu banyak jiwa, tenaga, dan biaya yang akan menjadi korban jika kita tetap membangun sistem dan infrastruktur kesehatan dengan cara yang biasa-biasa saja.
Pemerintah juga punya pekerjaan besar untuk melakukan reformasi dalam rangka membangun kesiapsiagaan menghadapi kebencanaan kesehatan seperti yang sudah ‘diajarkan’ oleh pandemi COVID-19. Public health harus dijadikan sebagai jantung dari reformasi pembangunan di bidang kesehatan dengan memperkuat titik hulu sebagai basis pencegahan, memperbanyak nakes yang bergerak di tengah komunitas, merevitalisasi posyandu, dan sentra kegiatan masyarakat. Last but not least juga menyediakan apresiasi bagi nakes di puskesmas yang berada di titik hulu dan di titik terjauh, yaitu sebelum masyarakat harus ke hilir, ke tempat dan fasilitas kesehatan.
ADVERTISEMENT