news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kepala SBRC IPB Uraikan Pemanfaatan Lahan Kering dan Hutan Rakyat Berkelanjutan

Berita IPB
Akun resmi Institut Pertanian Bogor
Konten dari Pengguna
28 Februari 2023 10:48 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita IPB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kepala SBRC IPB Uraikan Pemanfaatan Lahan Kering dan Hutan Rakyat Berkelanjutan
zoom-in-whitePerbesar
Kepala SBRC IPB Uraikan Pemanfaatan Lahan Kering dan Hutan Rakyat Berkelanjutan
ADVERTISEMENT
Kepala SBRC IPB University Uraikan Pemanfaatan Lahan Kering dan Hutan Rakyat Berkelanjutan untuk Keberlanjutan Cofiring Biomassa
ADVERTISEMENT
Masyarakat dunia telah memiliki komitmen global dalam menekan emisi karbon agar dampak negatif perubahan iklim dapat terkendali. Target pemerintah untuk mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060 juga telah disusun. Program Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Co-firing oleh PT PLN juga memungkinkan Indonesia untuk mencapai targetnya bila dijalankan dengan konsisten.
Dr Meika Syahbana Rusli, Kepala Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) IPB University menjelaskan, untuk mencapai tujuan tersebut, target bauran energi primer nasional sebagian besar harus berbasis energi baru dan terbarukan. Indonesia harus mencapai target 23 persen penggunaan energi baru dan terbarukan di tahun 2025. Sedangkan di tahun 2050 harus meningkat lagi mencapai 31 persen. Porsi yang harus berkurang adalah minyak dan batu bara.
ADVERTISEMENT
“Salah satu elemen dari energi baru dan terbarukan ini adalah biomassa, baik digunakan dalam program co-firing untuk PLTU maupun penurunan emisi lainnya,” terangnya dalam SBRC IPB University Webinar Series Bioenergy ke-17 dengan topik ‘Kemajuan dan Tantangan Keberlanjutan Cofiring Biomassa’, (25/02).
Ia melanjutkan, sumber biomassa sebagai sumber bioenergi di Indonesia sudah sangat cukup dan berpotensi besar. Misalnya dari kelapa sawit, kelapa, karet, padi, tebu, singkong dan sebagainya. “Nilai kalori per kilogramnya sangat besar dan berpotensi besar sebagai sumber energi biomassa,” tambahnya.
Bila dilihat lebih detail, lanjut dia, sumber biomassa tanaman kayu di Indonesia yang direkomendasikan ilmuwan ada tiga jenis. Ketiga jenis tanaman kayu ini adalah gamal, kaliandra dan lamtoro. “Tanaman ini sangat kompetitif karena nilai kalorinya besar, hasil panen per tahunnya tinggi dan waktu panennya singkat, bisa dipanen setiap tahun,” sebut Dr Meika.
ADVERTISEMENT
Ia menambahkan, total hutan yang bisa digunakan mencakup hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan dan hutan desa dengan asumsi penggunaan 25 persen untuk tanaman energi seluar 572 ribu hektar.
Lebih lanjut, Dr Meika mengatakan, berdasarkan kajian penelitian ketersediaan lahan kering di Pulau Jawa di tahun 2021, potensinya juga sangat besar. Ketersediaan lahan kering di sekitar 16 PLTU di Pulau Jawa mencapai 916 ribu hektar dalam radius 50 kilometer.
“Jika kebijakan pemerintah untuk melakukan co-firing sebesar lima persen, maka sesungguhnya hanya dibutuhkan lahan sebesar 189 ribu hektar. Jika kemudian ingin ditingkatkan penggunaan biomassa hingga 10 persen, maka dibutuhkan luasan lahan dua kali lipatnya,” jelasnya.
Adapun, Dr Meika melanjutkan, tutupan lahan kering berupa lahan pertanian semusim, pertanian campuran dan kebun campuran dapat dioptimalisasi dengan ketiga jenis tanaman kayu penghasil biomassa. Metode yang dapat digunakan berupa tumpang sari di samping tanaman perkebunan lainnya.
ADVERTISEMENT
“Pola tanam yang direkomendasikan adalah sistem tumpang sari antara tanaman energi dan tanaman perkebunan eksisting. contohnya model agroforestri tumpang sari antara kaliandra dan pinus yang dipraktekan di Wonosobo,” imbuhnya.
Selain itu, kata dia, terdapat tiga tipe model pengelolaan lahan masyarakat dan Perhutani yang dapat dijadikan sebagai sumber produksi biomassa. Di antaranya lahan kebun dengan pola tanam tanaman lorong, lahan hutan rakyat dengan pola tanam tanaman pengayaan dan lahan Perhutani (peremajaan tanaman pinus) dengan pola tanam pengayaan.
“Dalam penerapannya, peran badan usaha milik desa (Bumdes) dibutuhkan agar ekosistem produksi biomassa program Co-firing dapat berbasis masyarakat. Bumdes sebagai industri pengolah bersinergi dengan berbagai pihak dalam manajemen co-firing bersama PLN,” pungkasnya. (MW/Rz)