Konten dari Pengguna

Pakar IPB University: Trade War Jilid II Ancam Daya Saing Ekspor Indonesia

Berita IPB
Akun resmi Institut Pertanian Bogor
21 April 2025 9:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Berita IPB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pakar Ekonomi IPB University: Trade War Jilid II, Makin Melemahkan Daya Saing Ekspor Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Pakar Ekonomi IPB University: Trade War Jilid II, Makin Melemahkan Daya Saing Ekspor Indonesia
ADVERTISEMENT
Dr Widyastutik, Pakar Ekonomi IPB University menilai saat ini Amerika Serikat (AS) tengah menunjukkan kekuatannya sebagai negara besar melalui pengaruhnya terhadap harga pasar global. Trump memandang tarif sebagai alat ampuh untuk menghidupkan kembali manufaktur dan menumbuhkan ekonomi AS.
ADVERTISEMENT
“Trump lupa lesson learned Trade War I, di mana pengenaan tarif pada China relatif tidak efektif menekan defisit neraca perdagangannya. Karena industri domestik AS tidak mampu mensubstitusi produk impor, pengenaan tarif justru mengganggu produksi dan memicu inflasi di AS,” ujarnya.
Dosen Departemen Ilmu Ekonomi IPB University ini mengungkapkan, lesson learned Trade War jilid I dengan model recursive dynamic Global Trade Analysis Project (GTAP) menunjukkan, dampak dari perang dagang terhadap AS, Gross Domestic Product (GDP) turun sebesar 0,23 persen di tahun 2025 dan turun lebih besar, yaitu 0,29 persen pada tahun 2030.
“China turun lebih besar, yaitu 0,55 persen tahun 2025 dan 0,71 persen di tahun 2030. Kinerja ekspor maupun impor kedua negara juga diprediksi turun,” jelas Sekretaris Lembaga Riset Internasional Pembangunan Sosial, Ekonomi dan Kawasan IPB University ini.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, lanjutnya, sebagaimana diprediksi oleh Cali (2018) dan Lu (2020), Indonesia, Vietnam, dan Thailand diprediksi memperoleh benefit berupa relokasi perdagangan dan investasi dari AS dan China.
Berbeda dengan PD I dan PD II, saat ini AS mengenakan tarif tidak hanya pada China tetapi pada lebih dari 180 negara. Diidentifikasi China dikenakan tarif cukup tinggi melalui skema kebijakan USA Discounted Reciprocal Tariffs sebesar 34 persen dan ada indikasi naik per tanggal 10 April 2025, 125 persen.
“Tarif resiprokal yang dikenakan AS ke Indonesia sebesar 32 persen relatif lebih rendah dibandingkan peer countries, Vietnam dan Thailand tetapi lebih tinggi dibandingkan Malaysia, Filipina, dan Singapura,” ujarnya.
Bagaimana dampak tarif Trump pada daya saing Indonesia?
ADVERTISEMENT
Dr Widyastutik menerangkan, fakta menarik menunjukkan performa dinamis produk unggulan ekspor Indonesia ke AS, diproksi dengan Export Product Dynamics (EPD), mengalami pergeseran signifikan di tahun 2020-2023. Produk apparel and clothing accessories (HS 61) dari Rising Star turun menjadi Falling Star sejak 2022-2023.
Produk elektronik (HS 85) serta produk perikanan dan olahan laut (HS 3 dan HS 16) yang semula Rising Star turun posisi menjadi Retreat atau bahkan Falling Star. Produk yang sebelumnya tidak memiliki posisi kuat seperti pakaian (HS 62) dan karet (HS 40) sempat di posisi Lost Opportunity atau Retreat, berubah menjadi Falling Star.
“Apa artinya? Dengan tarif Trump 2.0, produk unggulan Indonesia makin kehilangan daya saing,” tandasnya. Namun, lanjut dia, dibandingkan produk China, tarif AS ke Indonesia relatif lebih rendah.
ADVERTISEMENT
“Seperti halnya Trade War jilid I, ada indikasi Trade War jilid II menyebabkan pengalihan impor AS asal China ke negara-negara ASEAN. Fakta di lapang, importir AS mengalihkan impor produk China ke Indonesia salah satunya produk furniture,” lanjut Dr Widyastutik.
Ia menekankan, saat ini Vietnam mengusulkan negosiasi dengan AS untuk bersedia menawarkan tarif impor barang AS ke Vietnam hingga 0 persen. Aksi Vietnam tentunya akan berpotensi meningkatkan daya saing produknya dibanding produk Indonesia.
Sebagai langkah ke depan, ia menyarankan Indonesia untuk fokus pada diplomasi bilateral yang lebih terarah, mengoptimalkan diversifikasi pasar ekspor dan pemanfaatan fora kerja sama perdagangan internasional Indonesia.
“Strategi jangka panjang juga perlu difokuskan pada peningkatan kualitas produk, investasi teknologi, dan penguatan daya saing dalam pasar global tidak hanya sekadar pengenaan tarif seperti strategi retaliasi tarif Trump saat ini,” pungkasnya. (dh)
ADVERTISEMENT