Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Prof Hefni Effendi Paparkan Konsep BAP dalam Perangi Triple Planetary Crisis
17 Oktober 2023 13:41 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Berita IPB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu isu utama dalam triple planetary crisis, biodiversity loss telah menjadi permasalahan yang mengglobal saat ini. Menurut Prof Hefni Effendi, Guru Besar IPB University, Biodiversity Action Plan (BAP) adalah salah satu rencana aksi yang dapat dijadikan sebagai salah satu andalan dalam menahan laju penurunan biodiversitas.
ADVERTISEMENT
“Tak dapat dipungkiri, saat ini masyarakat dunia tengah didera oleh konsekuensi dari triple planetary crisis. Tiga hal dalam triple planetary crisis mencakup perubahan iklim, pencemaran lingkungan dan hilangnya biodiversitas (biodiversity loss),” buka Prof Hefni saat menjadi keynote speaker dalam seminar internasional di Universitas Brawijaya, Malang akhir September lalu.
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University ini menjelaskan, biodiversity loss atau kepunahan keanekaragaman hayati ini ditengarai tidak hanya terjadi pada tumbuhan atau hewan tingkat tinggi. Bahkan, makhluk mikroorganisme juga mengalami penurunan secara signifikan dari segi jenis, kualitas, dan kuantitas.
“Akibat dari triple planetary crisis tidak hanya terjadi di ekosistem yang ada di daratan, tetapi juga terjadi di ekosistem yang ada di lingkungan akuatik, baik perairan tawar maupun perairan pesisir dan laut. Komponen penyusun ekosistem seperti komponen abiotik dan biotik juga tak luput diterpa oleh konsekuensi triple planetary crisis tersebut,” jelas Prof Hefni.
ADVERTISEMENT
Menurut Prof Hefni, laju penurunan biodiversitas ini dapat ditekan dengan BAP.
BAP menjadi bagian dari solusi berbasis alam atau nature-based solution (NBS) dalam mengatasi permasalahan triple planetary crisis, yang mulai banyak diadopsi oleh sejumlah korporasi nasional maupun multinasional.
“BAP pertama kali diintroduksi di Convention on Biological Diversity (CBD), Rio de Janeiro pada 1992. Solusi berbasis alam atau NBS ini adalah tindakan untuk melindungi, mengelola secara berkelanjutan, dan memulihkan ekosistem alami dan ekosistem yang telah dimodifikasi untuk mengatasi tantangan masyarakat secara efektif dan adaptif. Langkah ini sekaligus bisa memberikan manfaat bagi manusia dan alam,” urainya.
Lebih jauh Prof Hefni menerangkan, beberapa langkah yang dilakukan dalam memformulasikan BAP mencakup penilaian dampak terhadap keanekaragaman hayati, penentuan biodiversitas target dan penentuan net positive impact (NPI). Penentuan NPI dilakukan dengan memperhatikan no net loss (NNL).
ADVERTISEMENT
Di samping itu, langkah yang dapat dilakukan adalah dengan memformulasikan rencana aksi biodiversitas dengan mengadopsi hierarki mitigasi seperti avoidance, minimization, rehabilitation, dan offset. Terakhir, kita perlu membangun kemitraan dalam implementasi BAP,” paparnya.
Pada kesempatan itu, Prof Hefni juga menjabarkan dampak triple planetary crisis dalam konteks ekosistem yang ada di lingkungan akuatik. Ia menyebut, terpaan triple planetary crisis juga berpengaruh terhadap keberlangsungan jasa ekosistem akuatik yang mencakup aspek material, nonmaterial, dan pengaturan (regulating). Aspek material dapat dimaknai sebagai produk nabati atau hewani yang dapat dipanen secara langsung dari ekosistem akuatik.
“Adapun aspek jasa ekosistem akuatik nonmaterial atau aspek kultural dimaknai sebagai jasa ekosistem berupa inspirasi yang didapatkan ketika kita berada pada ekosistem akuatik yang masih terjaga dengan baik keutuhan dan kelestariannya. Intinya adalah, ekosistem akuatik yang dijadikan sebagai tempat healing, relaxation, recreation, aesthetic enjoyment, sumber inspirasi, pendidikan dan lainnya, yang bukan bersifat kebendaan,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, jasa ekosistem akuatik berupa pengaturan meliputi pengaturan iklim melalui mekanisme carbon sink atau penyerapan karbon yang terjadi di ekosistem mangrove, ekosistem padang lamun, dan ekosistem rawa asin (salt marshes). Mikroalga laut berupa fitoplankton juga berperan sebagai penyerap karbon. (*/Rz)