Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.7
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Psikolog IPB: Kebiasaan Doomscrolling dan Zombiescrolling Sebabkan Brain Rot
14 Maret 2025 12:57 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Berita IPB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Brain rot merupakan penurunan kemampuan berpikir dan kelelahan mental yang dialami seseorang, terutama remaja dan dewasa muda. Keadaan ini terjadi akibat terlalu sering terpapar konten digital berkualitas rendah, terutama dari media sosial.
ADVERTISEMENT
Berbagai penelitian mengungkap bahwa brain rot dapat menyebabkan individu menjadi kurang peka secara emosional, mudah lelah secara mental, dan memiliki pandangan negatif tentang diri sendiri.
Psikolog IPB University, Nur Islamiah, M.Psi., PhD, sosok yang biasa dipanggil ‘Ibu Mia’ mengatakan, kondisi ini sering terjadi pada mereka yang terlalu sering mengonsumsi konten digital secara berlebihan, terutama melalui doomscrolling (terus-menerus membaca berita negatif), zombie scrolling (membuka-buka media sosial tanpa sadar dan tanpa tujuan yang jelas), dan kecanduan media sosial.
“Semua kebiasaan ini dapat meningkatkan rasa cemas, stres, bahkan depresi,” ucap Dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB University ini.
Selain itu, lanjutnya, brain rot juga melemahkan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah pada remaja dengan mekanisme pertama, penurunan rentang perhatian (attention span).
ADVERTISEMENT
Ia menjelaskan bahwa remaja yang terlalu sering mengakses konten instan, seperti video pendek di TikTok atau Instagram Reels, biasanya mengalami kesulitan dalam mempertahankan fokus pada tugas yang lebih kompleks dan membutuhkan waktu lama untuk dipahami.
“Mereka cenderung kehilangan kesabaran saat menghadapi masalah yang tidak memiliki jawaban segera sehingga sulit memahami hal-hal yang lebih kompleks,” tuturnya.
Kurangnya attention span ini juga menyebabkan seseorang mudah terdistraksi dan mudah lupa. “Hal-hal tersebut pada akhirnya berpengaruh pada kurangnya kemampuan untuk menyelesaikan masalah,” katanya.
Kedua, kelebihan beban kognitif (cognitive overload). Hal ini karena otak terus-menerus dibanjiri dengan informasi baru, tetapi tanpa kesempatan untuk menganalisis atau memahami secara mendalam.
Akibatnya, sebut Mia, remaja menjadi kurang mampu mengevaluasi informasi secara kritis, sehingga mereka lebih mudah menerima informasi tanpa mempertanyakan kebenarannya.
ADVERTISEMENT
“Ini akan menghambat kemampuan mereka dalam berpikir logis, mengambil keputusan yang tepat dan menyelesaikan masalah dengan efektif,” ungkapnya.
Ketiga, instant gratification. Algoritma media sosial dirancang supaya setiap orang terus terpaku pada layar. Setiap kali seseorang melihat sesuatu yang menarik—seperti video lucu atau notifikasi baru—otak melepaskan dopamin, yaitu zat yang membuat kita merasa senang.
“Akibatnya, kita jadi terus ingin melihat lebih banyak, tanpa sadar menghabiskan waktu berjam-jam hanya menggeser layar dan menonton konten tanpa henti, meskipun sebenarnya kita tidak benar-benar menikmatinya atau mendapatkan manfaat darinya,” ujar Mia. (dr)