Konten dari Pengguna

Next Policy: Prioritas Kebijakan Transportasi Nasional Telah Salah Arah

Next Policy
Sebuah lembaga kajian kebijakan Publik
1 Oktober 2024 12:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Next Policy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Infografis komparasi subsidi transportasi umum umum, Next Policy
zoom-in-whitePerbesar
Infografis komparasi subsidi transportasi umum umum, Next Policy
ADVERTISEMENT
Lembaga Kajian Next Policy menyoroti kebijakan transportasi nasional yang hingga kini seringkali inkonsisten dan cenderung salah arah. Ketika di satu sisi pemerintah begitu gigih menghapus subsidi untuk KRL, di waktu yang sama pemerintah memberikan subsidi kendaraan listrik secara signifikan.
ADVERTISEMENT
“Kebijakan ini secara jelas salah arah karena akan semakin menguatkan kendaraan pribadi sebagai moda transportasi masyarakat, akan lebih banyak dinikmati kelas menengah atas, serta merupakan solusi semu untuk transisi energi karena sebagian besar pembangkit listrik masih bergantung pada pembangkit batu bara,” kata Yusuf Wibisono, Direktur Next Policy, dalam keterangan tertulisnya pada Jum’at (27/09/2024).
Yusuf menambahkan, untuk subsidi motor dan mobil listrik bagi sebagian kecil masyarakat kelas menengah atas, pemerintah dengan ringan mengalokasikan anggaran hingga Rp 3,0 triliun dan Rp 9,1 triliun pada 2023 dan 2024.
“Sedangkan subsidi KRL Jabodetabek pada 2023 yang hanya Rp 1,63 triliun untuk jutaan penumpang dari masyarakat kelas bawah dan menengah, pemerintah begitu gigih menurunkannya,” ungkap Yusuf.
ADVERTISEMENT
Subsidi KRL Jabodetabek seharusnya semakin ditingkatkan dengan diiringi peningkatan kapasitas dan daya angkut KRL, agar semakin banyak masyarakat yang menggunakan KRL, apapun kelas ekonomi mereka. Semakin banyak masyarakat yang menggunakan KRL, semakin besar keuntungan bagi masyarakat dan perekonomian.
“Andai subsidi kendaraan listrik 2023 dialihkan untuk KRL Jabodetabek, maka PSO PT KAI Commuter Line akan naik tiga kali lipat. Ini artinya Tarif KRL Jabodetabek bisa lebih murah,” tutur Yusuf.
Menurut Yusuf, arah kebijakan pemerintah dalam 10 tahun terakhir semakin tidak jelas, diskriminatif dan tidak berkeadilan ketika transportasi massal perkotaan justru diarahkan ke MRT dan LRT, dan bahkan kereta cepat, dengan meninggalkan KRL.
MRT, LRT dan kereta cepat adalah transportasi publik yang mahal dengan daya angkut terbatas. Subsidi tiket MRT dan LRT Jakarta oleh Pemprov DKI Jakarta mencapai Rp 880 miliar per tahun, padahal penumpang MRT Jakarta hanya di kisaran 90 ribu orang per hari dan LRT Jakarta hanya di kisaran 2 ribu orang per hari.
ADVERTISEMENT
“Bandingkan dengan penumpang KRL Jabodetabek yang mencapai kisaran 1 juta orang per hari. Subsidi untuk setiap penumpang MRT dan LRT Jakarta masing-masing 4 kali lipat dan 24 kali lipat lebih besar dari subsidi untuk setiap penumpang KRL Jabodetabek,” ujar Yusuf.
Alih-alih mengutak-atik subsidi KRL Jabodetabek, pemerintah seharusnya berfokus mengukuhkan KRL Jabodetabek sebagai moda transportasi utama wilayah aglomerasi Jakarta, dengan memperpanjang rute ke daerah sekitar Jabodetabek yang telah semakin terintegrasi dengan Jabodetabek seperti Karawang dan Cianjur.
“Begitupula KRL Yogyakarta-Solo seharusnya terhubung ke daerah sekitar seperti Purwokerto dan Madiun. Selayaknya pemerintah juga bergegas mendorong pengembangan KRL di Kawasan aglomerasi lainnya seperti Surabaya, Bandung, Semarang, Medan dan Makassar,” ucap Yusuf.
Inisiatif terbaik dan paling progresif dalam pengembangan transportasi massal metropolitan di Indonesia adalah sistem transportasi massal berbasis bus (bus rapid transit – BRT) oleh Pemprov DKI Jakarta, yang umum dikenal sebagai Trans Jakarta. Bermula dari rute sepanjang 12,9 Km pada 2004, Trans Jakarta kini telah memiliki rute sepanjang 244 Km yang menjadikannya sebagai sistem BRT terpanjang di dunia.
Infografis Subsidi Transportasi TJ, diolah oleh Next Policy
“Dengan rute sepanjang itu, layanan Trans Jakarta saat ini telah mencakup 82,3 persen dari luas wilayah Jakarta sehingga jarak penumpang menuju ke titik layanan Trans Jakarta (first - last mile) hanya sekitar 500 meter. Ke depan, Trans Jakarta direncanakan akan mengembangkan rute baru ke 117 kawasan perumahan di Bodetabek,” beber Yusuf.
ADVERTISEMENT
Yusuf merinci, kapasitas Trans Jakarta meningkat drastis dari 282 ribu penumpang per hari pada 2015 menjadi 723 ribu penumpang per hari pada 2019. Pasca pandemi, kapasitas Trans Jakarta pada 2023 telah pulih mencapai 781 ribu penumpang per hari.
“Seiring status sebagai transportasi massal yang semakin diandalkan masyarakat, komitmen subsidi dari Pemprov DKI Jakarta untuk PT Trans Jakarta terus meningkat, dari Rp 663 miliar pada 2015 menjadi Rp 3,57 triliun pada 2023,” papar Yusuf.
Rerata subsidi per penumpang Trans Jakarta berada di kisaran Rp 8.700,- pada 2015-2019, melonjak di masa pandemi menjadi Rp 20.200,- pada 2020-2022, dan kini telah turun di kisaran Rp 12.500,- pada 2023.
“Dengan kemajuan pesat dan dukungan kuat dari Pemprov DKI Jakarta, Trans Jakarta telah membuktikan diri sebagai tulang punggung transportasi massal yang tidak hanya efisien dan handal, tetapi juga inklusif dan berkelanjutan,” tutup Yusuf. []
ADVERTISEMENT