Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pemerintah Harus Memperkuat Subsidi KRL Jabodetabek, Bukan Menguranginya
1 Oktober 2024 11:45 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Next Policy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Direktur lembaga kajian Next Policy, Yusuf Wibisono, menyatakan keprihatinannya atas rencana pemerintah yang akan melakukan pemangkasan subsidi KRL Jabodetabek. Dalam beberapa tahun terakhir, isu ini terus menjadi perdebatan publik, khususnya terkait dengan dampaknya pada masyarakat pengguna transportasi massal.
ADVERTISEMENT
“Di tengah kebutuhan yang sangat mendesak untuk mendorong transportasi massal, menjadi sangat mengherankan ketika pemerintah alih-alih memperkuat subsidi KRL Jabodetabek namun justru berkali-kali berupaya memangkasnya,” kata Yusuf Wibisono dalam keterangan tertulisnya pada Jum’at (27/09/2024).
Menurut Yusuf, KRL Jabodetabek sejak lama telah menjadi moda transportasi masyarakat yang sangat merakyat karena tarif-nya yang sangat terjangkau. KRL Jabodetabek telah menjadi angkutan massal bagi rakyat megapolitan untuk bekerja dan bersekolah.
“Pada 2014, daya angkut KRL Jabodetabek adalah 571 ribu penumpang per hari. Pada 2019, angka ini telah mendekati 1 juta penumpang per hari. Pasca pandemi, daya angkut KRL Jabodetabek perlahan pulih dan kini kembali mendekati 1 juta penumpang per hari,” ungkap Yusuf.
KRL Jabodetabek adalah transportasi publik yang sangat vital bagi masyarakat, terutama kalangan menengah dan bawah. Pemerintah seharusnya memperkuat subsidi KRL untuk mengurangi kemacetan, meningkatkan efisiensi transportasi, serta membantu masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum.
“Selama ini, Subsidi untuk KRL Jabodetabek dalam bentuk PSO (Public Service Obligation) sebenarnya relatif kecil. Pada 2021, subsidi PSO mencapai Rp 2,14 triliun, namun telah menurun menjadi Rp 1,63 triliun pada 2023. Bahkan sebagai persentase dari total belanja pemerintah pusat, beban subsidi KRL semakin ringan, dari 0,11% pada 2017 menjadi hanya 0,07% pada 2023,” tutur Yusuf.
ADVERTISEMENT
Yusuf juga memandang bahwa transportasi umum seperti KRL harus melayani semua kalangan dengan standar layanan yang sama, tanpa diskriminasi kelas ekonomi. Di negara-negara lain, tarif transportasi umum berlaku sama bagi semua penumpang, dan perbedaan tarif hanya diterapkan sebagai kebijakan afirmatif, seperti untuk pelajar atau penyandang disabilitas.
“Membedakan tarif antar penumpang KRL Jabodetabek berdasarkan kelas ekonomi mereka adalah sesat fikir serta menyalahi prinsip dasar angkutan umum yang bersifat inklusif, melayani semua kalangan dengan standar layanan yang sama,” tegas Yusuf.
Yusuf menilai, daripada menaikkan tarif, pemerintah seharusnya berfokus pada integrasi KRL dengan moda transportasi lain untuk menurunkan biaya perjalanan ‘first mile’ dan ‘last mile’, yang saat ini masih terlalu tinggi.
"Sebagai contoh, dari 2.010 kawasan perumahan di Jabodetabek pada 2023, hanya sekitar 5 persen yang mendapatkan akses layanan transportasi umum. Hal ini menyebabkan sepeda motor menjadi moda transportasi utama bagi komuter Jabodetabek, sehingga kemacetan semakin parah," jelas Yusuf.
ADVERTISEMENT
Yusuf juga menyebutkan bahwa pada 2024 jumlah penumpang KRL Jabodetabek telah kembali pulih seperti sebelum pandemi, dengan mencapai 1 juta penumpang per hari, dan diperkirakan akan meningkat sebesar 6 persen setiap tahunnya hingga 2027.
"Seiring banyaknya unit KRL yang telah tua sehingga membutuhkan perawatan, peremajaan dan sebagian bahkan harus pensiun, KRL Jabodetabek kini kekurangan armada sehingga semakin sering mengalami kelebihan muatan (overload), terutama pada waktu-waktu sibuk (peak hours),” ucap Yusuf.
Untuk menurunkan biaya first – last mile, menjadi krusial juga bagi pemerintah untuk memfasilitasi komuter memiliki mobilitas yang tinggi tanpa perjalanan dengan kendaraan bermotor (walkable). Hal ini dapat didorong antara lain dengan pembangunan pedestrian dan jalur sepeda yang aman dan nyaman dengan pohon peneduh yang rindang serta dilengkapi lampu penerang jalan yang memadai.
ADVERTISEMENT
“Menjadi sebuah kesalahan fatal ketika kemacetan semakin memuncak dan target emisi semakin menjauh, penumpang KRL justru mendapat disinsentif berupa kenaikan tarif meski dengan berbagai alasan seperti tarif KRL sejak 2016 belum pernah naik, agar subsidi tepat sasaran atau kenaikan tarif hanya ditujukan kepada penumpang yang dianggap mampu,” tutur Yusuf
Yusuf menegaskan bahwa menaikkan tarif KRL di saat kemacetan semakin parah dan target emisi semakin jauh adalah kesalahan fatal.
"Semua penumpang KRL, termasuk yang mampu secara ekonomi, berhak mendapatkan layanan yang setara. Semakin banyak masyarakat mampu yang menggunakan KRL, semakin baik bagi perekonomian dan lingkungan karena mereka tidak lagi menggunakan kendaraan pribadi," tutup Yusuf.[]