Konten dari Pengguna

Memori yang Hilang

Neza Puspita Sari Rusdi
Jurnalistik - Politeknik Negeri Jakarta
9 Juni 2024 9:19 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Neza Puspita Sari Rusdi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
dokumentasi pribadi/nezapuspitasr
zoom-in-whitePerbesar
dokumentasi pribadi/nezapuspitasr
ADVERTISEMENT
Benjolan kecil di bagian belakang kepalaku, sebagai bukti bahwa aku benar-benar pernah mengalami kecelakaan sewaktu kecil. Jatuh dari ketinggian sekitar 6 hingga 7 meter dari permukaan tinggi semacam bukit di Makassar, Sulawesi Selatan. Waktu itu aku belum sekolah, kata mereka, aku anak yang suka bermain di luar hingga lupa waktu. Aku juga disebut anak yang suka tidak mendengarkan nasihat, menyebalkan, dan lainnya. Sewaktu di sekolah dasar kelas satu, aku juga bisa dibilang lambat dalam mengikuti pelajaran, tidak tahu bagaimana, semenjak kelas dua SD hingga SMA, aku selalu jadi juara kelas.
ADVERTISEMENT
Apabila ditanya peristiwa, kejadian yang pernah terjadi padaku di masa kecil, maka aku akan dengan lantang akan menjawab, “Aku tidak tahu.” Ingatanku rasanya hilang banyak sekali. Ingatanku hilang semenjak absennya ayah dari hidupku. Kala itu aku berumur, tujuh tahun dan adikku baru lahir. Yang hanya aku tahu, semua peristiwa yang menyangkut ayah, hilang begitu saja di pikiranku semenjak itu. Tidak ada memori yang kukenang dengan jelas. Betul-betul tidak ada. Maka, kembali kusebut, benjolan di kepalaku yang membuatku seperti terlempar ke masa lalu.
Ayah. Ketika mendengar kata ayah, aku hanya termenung. Ingin mengingat dirinya, tapi tidak bisa. Yang kulakukan hanya memegang kepalaku sambil menitikkan air mata. Sakit sekali rasanya. Bahkan wajahnya baru kuingat setelah aku melihat foto-foto dari album lamaku. Pasti dia juga sedih, anak sulungnya tidak bisa mengenang dirinya. Kenangan-kenangan indah dengan dirinya seperti tidak pernah ada di kehidupanku.
ADVERTISEMENT
Ingatanku seperti dihapus paksa mengenai dirinya. Aku juga seperti merasa disihir. Bisa-bisanya aku tidak ingat apa pun tentang ayah. Aku tidak bisa menyalahkan diriku. Memori tentangnya yang hilang seperti perlindungan bagiku untuk menghapus rasa sakit luar biasa. Kehilangan ingatan ini, apabila dalam pepatah bisa disebut blessing in disguise, dengan ini, aku tidak sedih berlarut-larut. Aku juga ingat, apabila aku menyebut ayah di depan ibuku, dia pasti langsung bersedih. Jadi kuputuskan, tidak pernah menyebut ayah lagi di hadapannya. Aku hanya mencari tahu sendiri.
Album-album foto masa kecilku banyak sekali. Foto ayahku hanya beberapa saja yang masih bagus dan tersimpan rapi. Sisanya hilang atau hancur dimakan rayap dan terkena air. Yang aku tahu, di setiap foto-foto itu, aku tersenyum bahagia. Dengan menggandeng jari ibuku, aku terlihat senang. Itu cukup membuktikan bahwa aku hidup bahagia di masa itu.
ADVERTISEMENT
Perasaan deja vu, kamu tahu? Perasaan di mana seolah-olah kita pernah berada di suatu tempat, dengan seseorang, dan pernah melakukan hal yang sama dengan yang kita lihat tapi tidak mengingat apa, kapan, dan di mana kejadiannya. Aku sering merasakan hal tersebut. Ketika aku tidak sengaja lewat taman bermain, melihat anak kecil bermain ayunan yang ditemani ayahnya, ya, detik itu juga perasaan sedih, senang, terharu, hadir bersamaan. Aku seperti pernah di posisi si anak kecil. Terkadang sekelebat tawa samar terdengar di otakku.
Senang rasanya, aku bisa mengingat dan mengenangnya walau hanya lewat kilasan memori saja. Ingin rasanya aku berkata iri sekali, ketika melihat teman-temanku semasa sekolah dulu diantar-jemput oleh ayah mereka. Aku juga ingin merasakan hal itu. Aku juga berharap bisa bertemu dengannya. Ingin bercerita semua hal yang terjadi di hidupku selama tiada dirinya. Rasa ingin memeluknya besar sekali. Ayah, aku hanya ingin ayah tahu, kalau aku, adik dan ibu bahagia sekarang. Semoga Ayah bahagia di sana, doaku selalu menyertaimu.
ADVERTISEMENT