Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
9 Ramadhan 1446 HMinggu, 09 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Komunitas: Dari Ruang Bersama Menuju Kasta Sosial Baru
9 Maret 2025 11:13 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Naufal Listyawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Komunitas merupakan salah satu ruang paling alami dari kehidupan sosial manusia. Manusia berkumpul karena kesamaan minat, tujuan, atau kebutuhan akan kebersamaan. Namun, ada pola yang terus berulang: komunitas yang awalnya terbuka dan inklusif perlahan berubah menjadi eksklusif.
ADVERTISEMENT
Semakin besar komunitas, semakin tebal batas-batas yang memisahkan antara mereka yang merupakan “orang dalam” dan mereka yang merupakan “orang luar”. Tanpa disadari, komunitas yang seharusnya menjadi ruang kebersamaan justru membangun hierarki baru.
Tapi, mengapa ini terjadi? Apakah komunitas memang ditakdirkan untuk menjadi seperti ini?
Eksklusivitas yang Tak Terelakkan: Dari Kebutuhan Bersama ke Identitas Sosial
Seorang sosiolog bernama Pierre Bourdieu melalui konsep habitus dan distinction menjelaskan bahwa setiap kelompok sosial memiliki cara tertentu untuk membedakan dirinya dari kelompok lain. Ini bisa berupa bahasa, gaya hidup, atau bahkan nilai-nilai yang dianut. Dalam konteks komunitas modern, hal ini bisa berwujud jargon yang hanya dipahami anggotanya, standar tertentu yang harus dipenuhi, atau simbol-simbol visual seperti pakaian dan gaya hidup.
ADVERTISEMENT
Dari sinilah komunitas tidak hanya berfungsi sebagai ruang berbagi, tetapi juga sebagai mekanisme pembentukan identitas sosial.
Dengan kata lain, komunitas sering kali berkembang menjadi sistem seleksi sosial yang menentukan siapa yang layak disebut sebagai "kaum kami” dan siapa yang hanya menjadi "penonton" saja
ADVERTISEMENT
Media Sosial, Narsisme, dan Validasi Komunitas
Era media sosial seolah mendukung fenomena ini. Komunitas yang dulunya hanya berkembang di dunia nyata, kini memiliki ruang ekspresi digital yang jauh lebih besar. Apa yang awalnya bersifat organik, kini menjadi sesuatu yang kurated—terlihat lebih terstruktur, lebih eksklusif, dan lebih berorientasi pada citra dibanding esensi.
Jean Twenge melalui The Narcissism Epidemic menjelaskan bagaimana media sosial mengubah cara kita berinteraksi dengan komunitas. Kini, keanggotaan dalam komunitas bukan hanya soal minat, tetapi juga soal bagaimana kita menampilkan diri sebagai bagian dari komunitas tersebut.
ADVERTISEMENT
Di sinilah terjadi pergeseran: komunitas bukan lagi sekadar ruang eksplorasi, tetapi juga panggung eksistensi. Identitas kita dalam komunitas tidak lagi ditentukan oleh kontribusi kita, tetapi oleh sejauh mana kita bisa mengkapitalisasi keberadaan kita di dalamnya.
Konsep grandiose narcissism yang dijelaskan oleh Twenge semakin relevan. Manusia modern tidak hanya ingin "menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar", tetapi juga ingin memastikan bahwa mereka "terlihat sebagai bagian dari sesuatu yang lebih besar".
Ketimpangan Akses: Ketika Komunitas Tidak Lagi Setara
Komunitas, secara ideal, adalah ruang yang terbuka bagi siapa saja. Namun, dalam praktiknya, banyak komunitas yang secara tidak langsung menciptakan batas-batas yang sulit ditembus oleh orang luar.
Ada komunitas yang membutuhkan akses ekonomi tertentu:
ADVERTISEMENT
Ada juga komunitas yang membutuhkan akses intelektual tertentu:
Di sinilah komunitas tidak lagi menjadi ruang berbagi, tetapi lebih menyerupai sistem kasta baru—mereka yang memiliki sumber daya tertentu bisa masuk dan dihormati, sementara mereka yang tidak memenuhi standar hanya bisa menjadi penonton belaka.
ADVERTISEMENT
Komunitas, Eksistensi, dan Ilusi Kebersamaan
Ironisnya, meskipun komunitas semakin berkembang dan semakin banyak orang yang menjadi bagian dari berbagai komunitas, banyak individu yang justru merasa semakin terisolasi.
Dalam bukunya Bowling Alone, Robert Putnam menjelaskan bagaimana masyarakat modern mengalami pergeseran dari kebersamaan yang nyata ke kebersamaan yang semu. Kita bisa menjadi anggota banyak komunitas sekaligus, tetapi tetap merasa tidak benar-benar terhubung dengan siapa pun.
Mengapa?
Di era di mana semua orang ingin menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, kita justru semakin kehilangan esensi dari kebersamaan itu sendiri.
Kesimpulan: Ke Mana Arah Komunitas?
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, kita perlu bertanya:
Komunitas seharusnya menjadi jembatan, bukan tembok pemisah.
Mungkin, kita perlu mengingat kembali bahwa esensi komunitas bukan tentang seberapa elit sebuah kelompok, tetapi seberapa besar ruang yang mereka berikan untuk semua orang yang ingin belajar dan berkembang bersama.
Jika komunitas terus berubah menjadi kasta sosial baru, maka kita harus bertanya: apakah ini masih tentang kebersamaan, atau hanya sekadar panggung eksistensi?