Konten dari Pengguna

Sabda Pandita Ratu, Tan Kena Wolak-Walik: Konsistensi Kognitif dalam Bertutur

Naufal Listyawan
Bachelor's of Psychology, Islamic University of Indonesia - Part-Time Writer - Enthusiast of Literature, Visual Arts, Music, & Movies
3 Februari 2025 6:50 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Naufal Listyawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam falsafah Jawa, terdapat ungkapan "Sabda Pandita Ratu, Tan Kena Wolak-Walik", yang secara harfiah berarti perkataan seorang pemimpin, tidak bisa diubah-ubah. Ungkapan ini menekankan pentingnya kemantapan dalam bertutur kata, terutama bagi mereka yang berada di posisi sebagai pemimpin, atau tokoh yang dihormati.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam sudut pandang psikologi, prinsip ini dapat dikaitkan dengan cognitive consistency dan cognitive dissonance, di mana manusia - secara alami - punya kecenderungan berusaha menjaga keseimbangan antara apa yang mereka katakan dan tindakan yang mereka lakukan. Ketika terjadi ketidakseimbangan antara keduanya, seseorang dapat mengalami ketidaknyamanan psikologis.

Cognitive Consistency: Mengapa Kita Berusaha Menjaga Tutur Kata Kita?

Cognitive Consistency merupakan salah satu konsep dalam psikologi kognitif dan sosial yang menyatakan bahwa manusia cenderung agar pikiran, keyakinan, dan tindakan mereka tetap sejalan. Jika seseorang mengatakan sesuatu dengan penuh keyakinan, ia akan berusaha untuk tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan ucapannya.
Misalnya, seorang pemimpin yang telah berjanji kepada rakyatnya untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka akan merasa tertekan secara mental jika kemudian, ia mengambil kebijakan yang justru merugikan rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Jika ia tetap berpegang pada janjinya, ia menunjukkan konsistensi dalam berpikir. Namun, jika ia mengingkari ucapannya, maka ia akan mengalami cognitive dissonance - ketegangan psikologis akibat kontradiksi antara janji dan tindakannya.

Cognitive Dissonance: Ketidaknyamanan Ketika Ucapan dan Tindakan Bertentangan

Teori cognitive dissonance yang dikemukakan oleh Leon Festinger (1957) menjelaskan bahwa manusia merasa tidak nyaman ketika mereka memiliki dua pemikiran atau tindakan yang bertentangan. Ketika seseorang sudah berkomitmen atas sesuatu, lalu kemudian melakukan hal yang bertentangan dengan itu, mereka akan berusaha mengurangi ketidaknyamanan itu dengan beberapa cara:

1. Mengubah Keyakinan atau Tindakan

Misalnya, seorang pemimpin yang awalnya berjanji untuk menolak kenaikan pajak, tetapi kemudian setuju untuk menaikannya, mungkin akan mencoba meyakinkan disinya sendiri bahwa; "ini untuk kepentingan jangka panjang".
ADVERTISEMENT

2. Mencari Pembenaran Eksternal

Misalnya, ia bisa berdalih bahwa; "situasi ekonomi berubah sehingga keputusan ini terpaksa diambil".

3. Menghindari Informasi yang Bertentangan

Ia mungkin akan menolak kritik dan hanya mendengarkan pendapat yang mendukung keputusannya.
Jadi, jika seseorang terlalu sering mengalami cognitive dissonance tanpa menyadari atau mengatasinya, ia bisa kehilangan kredibilitas di mata orang lain, bahkan mengalami tekanan mental yang lebih besar.

Sabda Pandita Ratu: Konsistensi sebagai Kunci Kepercayaan

Ungkapan "Sabda Pandita Ratu, Tan Kena Wolak-Walik" pada dasarnya merupakan bentuk komitmen terhadap konsistensi. Dalam konteks kepemimpinan, ketika seorang pemimpin mengucapkan sesuatu, masyarakat akan menaruh harapan bahwa perkataan tersebut bukan sekadar kata-kata kosong, tetapi janji yang harus ditepati.
Dalam konteks psikologi, seseorang yang konsisten dalam perkataan dan tindakan akan lebih dipercaya dan dihormati oleh orang lain. Sebaliknya, seseorang yang sering menarik kembali ucapannya, akan kehilangan kredibilitas, baik di mata publik maupun di dalam dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Misalnya, dalam penelitian psikologi sosial, Robert Cialdini (1984) mengemukakan prinsip commitment and consistency, yang menyatakan bahwa ketika seseorang telah menyatakan sesuatu secara publik, mereka akan lebih cenderung untuk mematuhi dan mempertahankannya karena adanya tekanan sosial dan kebutuhan untuk terlihat konsisten.

Kesimpulan

Dalam dunia kepemimpinan, menjaga konsistensi dalam perkataan dan tindakan sangatlah penting untuk mempertahankan kepercayaan yang dipimpin. Begitu pula dalam kehidupan sehari-hari, seseorang yang selalu menepati ucapannya akan lebih dihormati dan dipercaya.
Oleh karena itu, berhati-hati dalam berkata dan berkomitmen pada janji yang dibuat. Sebab, hal itu bukan hanya terkait dengan tanggungjawab sosial, tetapi juga bagian dari keseimbangan psikologis manusia.
Foto oleh Werner Pfennig: https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-pembicara-pembicaraan-mikropon-6950183/