Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Krisis Lahan Hijau di Bali: Pariwisata Berkembang, Alam Terancam
24 Desember 2024 15:06 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ni Kadek Pudja Sastra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pulau Bali atau yang kerap disebut sebagai Pulau Dewata merupakan salah satu pulau yang terkenal akan budaya dan keindahan alamnya yang memukau. Banyak wisatawan domestik maupun mancanegara yang menjadikan Bali sebagai destinasi favorit karena menawarkan banyak macam wisata, mulai dari wisata alam, keunikan budaya, hingga kuliner khas Bali yang menggugah selera.
ADVERTISEMENT
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali mencatat bahwa, sepanjang September 2024 terdapat sekitar 593.909 wisatawan asing yang masuk ke Pulau Bali melalui Bandara Ngurah Rai maupun pelabuhan laut. Hal ini berpengaruh terhadap permintaan sarana prasarana terhadap jasa akomodasi seperti penginapan. Merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS) terkait tingkat penghunian kamar (TPK) hotel bintang di Provinsi Bali dari tahun 2023 mencapai 62,19% dan naik menjadi 66,34% pada September 2024. Jika permintaan meningkat terus-menerus, maka keadaan tersebut tentunya akan berdampak baik pada sektor ekonomi dan meningkatkan pembangunan.
Dalam kondisi pertumbuhan industri pariwisata yang meningkat, Bali juga mengalami tantangan terhadap dampak tersebut, khususnya ketersediaan lahan hijau yang semakin menipis. Kebutuhan akan pembangunan infrastruktur pariwisata dan pertumbuhan penduduk akan menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan hijau menjadi area yang lebih komersial. Direktur Eksekutif Walhi Bali, Made Krisna Dinata menyebutkan bahwa, data alih fungsi lahan khususnya di daerah Badung dan Denpasar dengan luas sawah yang tersisa di kedua wilayah itu pada 2020 hanya sekitar 3.000-an hektare. Angka tersebut menyusut dari luas sawah pada tahun 2000 yang kurang lebih sekitar 7.000-an hektare. Akibatnya, terjadi pengurangan luas sawah sebesar 4.334,01 hektare atau 23,44 persen hilang dalam kurun waktu 20 tahun (Rizki Setyo Samudero, 2024).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan informasi tersebut, adanya krisis lahan hijau di Bali ternyata membawa dampak negatif, mulai dari lingkungan sekitar hingga masyarakat Bali. Salah satu dampak lingkungan yang paling rentan adalah terjadinya peningkatan risiko banjir dan erosi tanah, saat terjadi hujan lahan hijau yang seharusnya berfungsi untuk menyerap air hujan akan turun kemampuannya dalam menyerap ketika dialih fungsikan menjadi bangunan. Selain itu, krisis lahan hijau juga mengakibatkan peningkatan suhu rata-rata bumi atau terjadinya Urban Head Island, dimana keadaan tersebut sebagai suatu fenomena alam, terutama terkait dengan kondisi iklim serta ditandai dengan peningkatan suhu di wilayah kota yang cukup padat penduduk. Efek Urban Heat Island disebabkan oleh berkurangnya ruang hijau di kawasan perkotaan sebagai akibat dari pemindahan lahan (Lasaiba, 2022).
ADVERTISEMENT
Selain itu, akan terjadi penurunan kualitas udara, dimana lahan hijau yang seharusnya menghasilkan oksigen dan sebagai penyaring polusi udara tidak akan berfungsi secara optimal. Keadaan ini juga memperburuk kondisi kesehatan masyarakat terutama daerah Badung dan Denpasar yang memiliki daerah perkotaan dan area wisata yang padat pengunjung. Lebih lanjut, flora dan fauna Bali juga akan terkena dampaknya, karena rentan kehilangan habitat aslinya. Padahal, keragaman hayati berperan penting dalam penyangga ekosistem lokal dan dapat menyebabkan kepunahan spesies endemik Bali jika lahan hijau berkurang secara terus-menerus. Jika dari sudut pandang masyarakat, akan terjadi penurunan kesejahteraan atau kualitas hidup, seperti berkurangnya tempat olahraga, berekreasi, dan tempat berinteraksi sosial akibat terjadinya krisis lahan terbuka hijau.
ADVERTISEMENT
Dalam mengatasinya diperlukan upaya terpadu dan kerja sama dari pemerintah, masyarakat, dan pelaku industri pariwisata. Salah satu solusi utamanya adalah dengan membuat perencanaan tata ruang yang berkelanjutan. Pemerintah harus lebih bijak dalam mengatur pembangunan dan mempertegas izin pembangunan di daerah lahan hijau terutama kawasan yang dianggap vital dari ekosistem lokal. Menurut Kasat Pol PP Provinsi Bali, I Dewa Nyoman Rai Dharmadi menyebutkan bahwa, kawasan jalur hijau tidak dapat adanya kegiatan berupa pembangunan. Jikapun membuat kegiatan usaha oleh masyarakt tentu harus mendapat rekomendasi khusus dari Bupati sebagai kepala daerah, meskipun sifatnya knock dwon tidak permanen (Suara Dewata, 2022).
Program restorasi dan penghijauan kembali juga menjadi langkah penting, dimana pemerintah dan masyarakan dapat saling berkolaborasi dalam kegiatan penanaman pohon dan pemeliharahan lingkungan. Langkah ini tidak hanya dapat memperbaiki ekosistem alam, tetapi juga memperbaiki kualitas udara menjadi lebih sehat. Selain itu, melalukan edukasi seperti, kampanye lingkungan perlu ditingkatkan agar masyarakat menyadari akan pentingnya pelestarian lingkungnan. Ini dapat dilakukan dengan edukasi ke sekolah-sekolah, kampanye di media sosial, dan pelatihan bagi pelaku pariwisata.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, perlu adanya perhatian serius dari semua pihak dalam menanggulangi risiko krisis lahan hijau di Pulau Bali. Pertumbuhan pariwisata dan pembangunan memang memegang peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyaarakat. Namun, keberlanjutan lingkungan akan menjadi penunjang kehidupan di masa depan. Dengan kerja sama berbagai pihak harapannya Bali dapat terus berkembang dengan destinasi pariwisatanya yang berkelanjutan tanpa mengorbankan keindahan alam dan kelestarian lingkungannya.
Ni Kadek Pudja Sastra, mahasiswa Universitas Airlangga