Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Fenomena Bias Gender dalam Sistem Pendidikan Indonesia
14 April 2022 13:25 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari NM Dian N Luthfi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendidikan saat ini hanya dimaknai sebagai batu loncatan, dari yang orangtuanya buruh bangunan dan menginginkan anaknya untuk memiliki profesi yang “lebih hebat” dari orangtuanya, menjadi buruh berjas rapi yang menghabiskan hari-harinya dalam ruangan ber-AC atau sekadar meningkatkan status sosialnya di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Maka sekolah, tidak lebih dari sekadar gedung sebagai perwujudan pabrik-pabrik yang membentuk tenaga kerja dan melahirkan buruh dan penindas baru dengan bentuk yang lebih beragam, termasuk diskriminasi berbasis gender.
Diskriminasi berbasis gender hari ini tidak hanya dialami oleh perempuan, yang secara struktur sosial dalam masyarakat ditempatkan sebagai kaum kedua. Diskriminasi juga dialami oleh orang-orang yang berdasarkan norma dan nilai-nilai dalam masyarakat, tidak tergolong dalam kelompok gender laki-laki ataupun perempuan. Seorang transpuan, misalnya, jauh lebih kesulitan mendapatkan posisi penting atau hanya sekadar keramahan dari masyarakat daripada “laki-laki atau perempuan normal.”
Instansi pendidikan menjadi salah satu lembaga yang tidak luput dari fenomena di atas. Cerita ini berawal dari pengalaman pribadi saya sewaktu duduk di bangku SMP. Saya memiliki teman laki-laki yang feminin. Mulai dari gaya berjalan, berbicara hingga circle pertemanannya yang cenderung didominasi oleh kaum perempuan. Dulu, saya adalah salah satu orang yang menganggap bahwa dia tidak normal, karena tidak memiliki sifat dan sikap maskulin seperti kebanyakan laki-laki.
ADVERTISEMENT
Dewasa ini, saya menyadari bahwa apa yang saya dan teman-teman saya anggap “tidak normal” waktu itu, bukanlah teman saya, namun konstruksi sosial masyarakat yang diskriminatiflah yang membentuk pola pikir kami menjadi seperti itu. Anggapan-anggapan seperti itu bukan saja datang dari siswa, namun juga para guru dan karyawan dalam mengajar.
Dikotomi Gender
Dikotomi gender di Indonesia, sebagaimana dibentuk oleh konstruksi sosial dalam masyarakat dibagi menjadi dua golongan, yakni laki-laki dan perempuan. Laki-laki dengan sisi maskulinitasnya dan perempuan dengan sisi femininnya. Selebihnya akan disebut sebagai bencong dan banci.
Konstruksi sosial masyarakat melahirkan dan membentuk laki-laki untuk menjadi sosok yang kuat, yang berarti tidak boleh menangis, memakai warna pink dan berperilaku feminin atau yang biasa disebut keperempuanan. Sedangkan perempuan, dibentuk untuk menjadi istri dan ibu yang harus bisa memasak, mengurus rumah dan melayani suami.
ADVERTISEMENT
Perbedaan-perbedaan tersebutlah yang oleh Mansor Fakih dijelaskan sebagai konstruksi sosial yang melahirkan penindasan. Bukan hanya perempuan, namun juga laki-laki (Mansour Fakih, 1996). Laki-laki yang gampang menangis atau cenderung feminin akan dicoreng sebagai laki-laki, sedangkan perempuan yang tidak bisa memasak atau tidak mampu melahirkan anak, akan dicap sebagai perempuan yang gagal.
Sistem Pendidikan yang Bias Gender
Bias gender bukan hanya tampak pada perilaku para siswa, guru dan karyawan, sering ditemukan dalam buku pelajaran sekolah yang menjelaskan ruang lingkup kerja perempuan dan laki-laki sebagaimana didefinisikan oleh masyarakat melalui konstruksi sosial.
Kaitannya dengan dunia pendidikan, sekolah-sekolah yang seharusnya menjadi ruang akademis untuk mendapatkan pendidikan seks, kesetaraan gender dan menjadi ruang aman bagi siapa pun, nyatanya malah menjadi ruang yang tidak lebih dari sekadar formalitas biasa.
ADVERTISEMENT
Formalitas untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa anak-anaknya berpendidikan. Hal tersebut membuktikan bahwa sistem pendidikan kita belum mampu membaca kesetaraan gender dalam lingkup yang komprehensif.
Sepakat dengan yang disampaikan oleh Freire dalam bukunya yang berjudul “Pedagogy of the Oppressed”, bahwa pendidikan seharusnya membebaskan. Bukan saja membebaskan tertindas dari belenggu kapitalisme atau dari ideologi dominan terhadap masyarakat terpinggirkan. Namun, pendidikan seharusnya menjadi alat untuk membebaskan keduanya, tertindas dari penindas dan penindas dari segala sesuatu yang mendukungnya untuk melakukan penindasan (Freire, 1970).
Freire juga menjelaskan bahwa sistem pendidikan waktu itu, tidak lebih dari “sistem bank”, sistem pendidikan menempatkan guru sebagai subyek yang memiliki pengetahuan sedangkan murid hanyalah sebagai tempat deposit yang hanya akan menerima pengetahuan yang diisikan oleh gurunya (Freire, 1970).
ADVERTISEMENT
Kritik Freire terhadap sistem pendidikan tradisional Brasil yang memiliki ciri menggurui dan hafalan tersebut sangat relevan dengan sistem pendidikan di Indonesia. Di Indonesia, kritik murid terhadap cara mengajar guru yang membosankan hanya akan direspons dengan nilai yang anjlok, intimidasi dari guru, dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya.
Sistem pendidikan yang bermasalah inilah yang seharusnya diperbaiki untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan hanya membuka ratusan Webinar pendidikan yang mendatangkan narasumber-narasumber “hebat” lulusan kampus favorit dunia, yang bahkan tidak pernah mengalami rasanya nunggak bayar SPP, membeli buku KW karena yang asli mahal dan dikeluarkan dari sekolah karena tidak mampu melunasi tunggakan.
Untuk menciptakan ruang akademis yang aman dari segala macam penindasan, baik penindasan antar-kelas, golongan, atau pun gender, pemerintah dapat memulainya melalui perbaikan kurikulum pendidikan. Ciptakan pendidikan yang membebaskan, mulai dari jam belajar, mengajarkan kesetaraan gender hingga proses pembelajaran yang non-hierarki. Bukan hanya untuk siswa, namun juga guru, karyawan, dan semua profesi yang terlibat dalam pendidikan.
ADVERTISEMENT