Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Gerakan Mahasiswa dan Keterlibatan Perempuan
7 Agustus 2021 6:08 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari NM Dian N Luthfi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gerakan mahasiswa ialah ruang wajib, bagi setiap mahasiswa sebagai wadah untuk memantik peningkatan kecakapan intelektual, kepedulian serta kesadaran, terutama kaitannya dengan keterlibatannya dalam memperbaiki tatanan sosial yang timpang. Maka dari itu, gerakan mahasiswa diharapkan dapat menjadi sebuah wadah kolektif untuk menanam pengetahuan dan menumbuhkan kesadaran, bagi mahasiswa itu sendiri dan lingkungan sosial di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Keterlibatan mahasiswa di berbagai aspek sosial, diharapkan mampu menjadi salah satu cara yang relevan sebagai proses pembelajaran sekaligus praktik dalam memahami dan memetakan realita sosial yang begitu kompleks.
Para mahasiswa haruslah memiliki nilai-nilai dan prinsip yang cakap, dalam artian mahasiswa harus mampu menjaga daripada perannya sebagai mahasiswa juga marwah ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai metode untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kaitannya dengan gerakan mahasiswa, para mahasiswa dituntut untuk dapat menyelaraskan diri terhadap nilai dan prinsip pendidikan yang partisipatif, non-diskriminatif, berkeadilan gender yang komprehensif.
Namun, melihat perkembangan gerakan mahasiswa hingga kini, patut menaruh rasa was-was terhadap perkembangan gerakan mahasiswa kaitannya dengan keterlibatan mahasiswa pada umumnya, dan perempuan pada khususnya.
Anggapan tersebut didasarkan pada maraknya praktik-praktik daripada budaya seksis dalam gerakan mahasiswa yang menyebabkan pelemahan terhadap perempuan serta gerakan mahasiswa itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Konstruksi Sosial Masyarakat
Membahas perempuan maka erat kaitannya dengan konstruksi sosial yang cukup berpengaruh dalam pembentukan jati diri perempuan itu sendiri. Mulai dari bagaimana perempuan harus bertindak, berpenampilan, ruang-ruang kerja perempuan, atau yang biasa kita kenal sebagai "kodrat". Tentu kita sudah tidak asing lagi dengan kalimat "dapur, sumur dan kasur" sebagai wujud penyederhanaan dari definisi "kodrat" bagi perempuan yang berkembang di dalam lingkungan masyarakat.
Dalam tafsirannya, perempuan diciptakan sebagai makhluk yang harus memilki keterampilan memasak, mengurus anak, membersihkan dan menata rumah serta melayani suami. Sangat sulit untuk memperbaiki pemikiran-pemikiran diskriminatif yang hingga saat ini masih berkembang luas dalam masyarakat.
Umumnya, masyarakat yang lahir dan hidup dengan budaya diskriminatif seperti itu hanya akan menilai perempuan sebagai suatu kaum yang diharuskan untuk memiliki keterampilan di tiga bidang tersebut. Jika tidak, maka tidak akan lolos menjadi "perempuan tulen."
ADVERTISEMENT
Jika "dapur, sumur, kasur" adalah bagian dari konstruksi atau hasil daripada kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh masyarakat, lalu apa yang dimaksud dengan kodrat?
Mansour Fakih dalam bukunya yang berjudul "Analisis Gender dan Transformasi Sosial", memaparkan bahwa sesungguhnya kodrat itu adalah ketentuan biologis yang berasal dari Tuhan, ketentuan-ketentuan yang tidak dapat diubah dan dipertukarkan. (1) Dalam konteks perempuan, maka kodrat dapat berarti kemampuan biologis perempuan, seperti kemampuan untuk melahirkan, hamil, menyusui dan menstruasi.
Penafsiran secara artifisial mengenai kodrat oleh masyarakat mengkonstruksikan ruang kerja perempuan yang mengarah pada kemampuan perempuan secara biologis. Misalnya, kemampuan perempuan untuk hamil, melahirkan dan menyusui kemudian diidentikkan dengan mengurus rumah, anak, dan lainnya.
Dalam studi gender pada pembahasan lingkup kerja perempuan di dalam rumah tangga lebih ditekankan kepada "consent" antara suami dan isteri dalam pembagian tugas. Perempuan bisa saja menjadi kepala keluarga, wanita karier, pencari nafkah atau ibu rumah tangga, yang artinya, perempuan tidak harus menjalankan "kodrat" nya sebagai perempuan.
ADVERTISEMENT
Namun, bukan berarti perempuan tidak boleh mengurus rumah, anak dan melayani suami, asalkan pilihannya sebagai ibu rumah tangga tidak mendapatkan paksaan atau tekanan dari pihak lain.
Perempuan maupun laki-laki tidak perlu menyepakati aturan-aturan atau "kodrat" yang dibentuk oleh masyarakat. Suami dan isteri dapat merumuskan sendiri bagaimana cara membangun dan membina rumah tangga yang harmonis, karena aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat belum tentu mewakili kondisi, situasi dan kepentingan daripada rumah tangga kita masing-masing.
Pengonstruksian perempuan melalui "kodrat" inilah yang memantik lahirnya bias gender dan menyumbang pengaruh cukup besar dalam lahirnya ketimpangan-ketimpangan sosial dalam masyarakat, khususnya perempuan. Seperti diskriminasi, obyektifikasi, subordinasi, marginalisasi, beban ganda, dan stereotype.
Berbagai bentuk pembatasan ruang terhadap perempuan tersebut tidak hanya berlaku dalam keluarga dan tatanan sosial masyarakat sebagai komunitas awal atau pijakan bagi orang pada umumnya dan perempuan pada khususnya.
ADVERTISEMENT
Berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan ini juga berlaku di lingkup yang lebih luas seperti kursi legislatif, yang mana perempuan hanya diberikan ruang kesempatan sebesar 30% .
Pendapat-pendapat yang akan menggiring dari kebijakan tersebut biasanya hanya akan membuat para perempuan menjadi lebih lemah dari sebelumnya.
Seperti anggapan-anggapan bahwa memang kecilnya suara perempuan dalam kursi legislatif meskipun sudah diberikan kesempatan sebesar 30% tidak lain hanya karena tidak ada ketertarikan dan ketidakcakapan perempuan dalam bidang politik.
"Katanya ingin memajukan kaum perempuan, udah dikasih kesempatan aja engga ada yang nyalon."
"Lah, memang tidak ada perempuan yang mau nyalon, udah untung dikasih 30%."
Pendapat-pendapat seperti itu hanya akan membuat perempuan semakin kecil, lemah dan tak berdaya. Karena adanya kebijakan 30% untuk calon legislatif perempuan atau kesempatan-kesempatan lain yang diperuntukkan bagi kaum perempuan tidak dibarengi dengan pendidikan bagi perempuan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Coba bayangkan, perempuan yang sejak lahir dipaksa, dikonstruksikan menjadi "perempuan baik" dengan pandai memasak, mengurus rumah dan melayani suami kemudian tiba-tiba diberikan ruang kesempatan, alih-alih sebagai bentuk kesetaraan gender dan pemberian ruang terhadap perempuan, namun malah menciptakan penindasan jenis baru.
Perempuan-perempuan dirumuskan untuk menjadi makhluk yang lemah-lembut sehingga penempatan kerja kaum perempuan cenderung di bagian yang mudah dengan upah sedikit, sedangkan laki-laki dipaksa untuk menjadi makhluk yang menjadi kuat dan ditempatkan di bagian yang sukar dan tentu saja dengan upah yang jauh lebih banyak.
Hal ini tentu saja juga mempengaruhi besar-kecilnya pendapatan daripada kaum perempuan. Dengan kata lain, perempuan dilemahkan secara ekonomi.
Jika memang memiliki keseriusan dalam memajukan kaum perempuan, sudah seharusnya pendidikan untuk kaum perempuan diberikan secara komprehensif.
ADVERTISEMENT
Bagaimana perempuan harus memiliki intelektualitas dan kapabilitas dalam politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Dengan begitu, harapannya kaum perempuan tidak hanya melek dalam urusan rumah tangga saja, tetapi dapat berkecimpung di berbagai aspek kehidupan sesuai yang diinginkan.
Rendahnya Tingkat Keamanan bagi Perempuan dalam Gerakan Mahasiswa
Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 Komnas Perempuan Lembar Fakta dan Poin Kunci (5 Maret 2021), mencatat kekerasan terhadap perempuan di Ranah Publik atau Komunitas sebesar 21 % (1.731 kasus) dengan kasus paling menonjol adalah kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55%) yang terdiri dari dari kekerasan seksual lain (atau tidak disebutkan secara spesifik) dengan 371 kasus, diikuti oleh perkosaan 229 kasus, pencabulan 166 kasus, pelecehan seksual 181 kasus, persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya adalah percobaan perkosaan 10 kasus. (3)
ADVERTISEMENT
Data tersebut memang tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa seluruh kasus itu berasal dari lingkup mahasiswa atau gerakan mahasiswa. Namun, dapat dijadikan dasar bagi kita untuk bersikap dan bertindak, bahwa memang kasus kekerasan terhadap perempuan masih marak terjadi.
Banyak faktor yang melatarbelakangi kasus-kasus pelecehan seksual di balik ambisiusnya gerakan mahasiswa, selain pengaruh konstruksi sosial, rendahnya tingkat keamanan bagi perempuan dalam gerakan mahasiswa dan kurangnya tingkat kesadaran mengenai kesetaraan gender yang mana dapat melahirkan ketimpangan-ketimpangan serta menghambat dalam proses pembelajaran di lingkup itu sendiri
Pengetahuan dan kecakapan para mahasiswa untuk berbicara mengenai tatanan sosial yang timpang tidak dibarengi dengan pendidikan ramah gender dan kesetaraan.
Masih banyak praktik-praktik yang memungkinkan seorang perempuan temarjinalkan atau terdiskriminasi. Tak jarang bagi perempuan mendapatkan respons atau tanggapan seperti, "perempuan sebagai pemanis", "perempuan terlalu sensitif, baperan", "kurang dapat berpikir secara rasional karena lebih mengandalkan perasaan" dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Praktik-praktik seperti itu yang membuka peluang untuk membatasi terhadap ruang kreativitas perempuan dan menjadikan perempuan terpinggirkan, lemah dan tak berdaya. Sehingga, mau tidak mau perempuan dipaksa untuk mengikuti arus budaya yang ada dalam organisasi tersebut.
Kasus-kasus tersebut membuktikan bahwa, masih banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap kaum perempuan yang didasarkan pada budaya diskriminatif dan berhasil menciptakan suatu konstruksi yang diamini oleh masyarakat.
Kurangnya kesadaran akan kesetaraan dalam ranah gerakan mahasiswa merupakan PR penting dalam upaya untuk mencegah terjadinya kasus-kasus kekerasan seksual ataupun pelemahan dan pembatasan ruang pada suatu gender tertentu.
Selain itu, minim atau bahkan tidak adanya SOP yang mengatur tentang kekerasan seksual dalam lingkup gerakan mahasiswa juga menjadi faktor penting yang menyebabkan maraknya kasus pelecehan seksual.
ADVERTISEMENT
Semakin membajirnya kasus pelecehan seksual terhadap perempuan dalam lingkup gerakan mahasiswa dan tidak adanya peraturan-peraturan yang memadai dapat menyurutkan niat, peran dan keterlibatan perempuan dalam gerakan.
Bagaimana perempuan dapat turut serta belajar dan berjuang bersama sedangkan tidak ada yang bisa menjamin keamanan hak-haknya sebagai perempuan?
Sebelum memutuskan untuk memanusiakan manusia lain, bukankah kita harus memanusiakan diri sendiri?
Kesadaran Perempuan
Peminggiran perempuan dalam berbagai aspek tak luput dari anggapan yang diskriminatif dari perempuan itu sendiri. Tak jarang perempuan memiliki asumsi-asumsi yang menjatuhkan perempuan lain.
Beberapa hal yang mElatarbelakangi asumsi-asumsi ini antara lain, anggapan terhadap suatu gender tertentu--dalam hal ini laki-laki--memiliki keistimewaan yang lebih daripada perempuan sehingga selalu ditempatkan pada posisi utama, baik dalam pengambilan keputusan, pemilihan jabatan atau yang lainnya.
ADVERTISEMENT
Anggapan-anggapan seperti itu terkadang didukung oleh ketidakpercayaan diri daripada kaum perempuan, "Ah, tidak bisa melakukan ini karena ini bukan ranahku, ini tugas laki-laki".
Akibatnya, perempuan yang seharusnya memiliki kesempatan untuk menduduki suatu posisi penting dalam gerakan, menjadi terasingkan dan terpinggirkan karena kurangnya kepercayaan diri dari perempuan itu sendiri.
Selain itu, kecemburuan sosial antar perempuan merupakan faktor yang paling sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Banyak perempuan yang merasa tersaingi ketika melihat perempuan lain sukses, menempati jabatan tinggi, mendapat apresiasi banyak pihak dan lainnya. Maka asumsi-asumsi baru dimunculkan untuk menjatuhkan perempuan yang dianggapnya sebagai lawan saingnya.
Nampaknya, masyarakat kita memang belum sepenuhnya sadar bahwa kaum perempuan sudah sejak lama dinomorduakan, disisihkan, dan diabaikan oleh kepentingan-kepentingan lain yang lebih berkuasa.
ADVERTISEMENT
Perempuan-perempuan yang seharusnya saling menguatkan, berhasil dibenturkan dan diadu domba untuk saling memusuhi dan menjatuhkan satu sama lain. Sehinga tujuan dalam proses kemajuan terhadap kaum perempuan menjadi terhambat, karena para perempuan lebih disibukkan dengan ketakutan-ketakutan untuk tersaingi dan ketidakpercayaan-diri.
Namun kembali lagi, baik laki-laki maupun perempuan dengan pola pikir yang cenderung tidak ramah gender atau diskriminatif terhadap peran dan keterlibatan perempuan tak lepas dari budaya seksis yang sudah mendarah daging mengakar dan mengurat pada kehidupan kita selama ini.
Kaum perempuan sudah seharusnya berpikiran lebih progresif, dalam misi untuk kemajuan kaum perempuan itu sendiri dibutuhkan pengetahuan, kesadaran, keberanian dan dukungan yang besar antar sesama perempuan.
Perempuan-perempuan haruslah bersatu dan menggalang solidaritas juga semangat untuk konsisten dalam mendidik diri sendiri dan kaumnya demi kemajuan pergerakan kaum perempuan.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka:
(1) Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar Offset: 1996
(2) Draft Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
(3) Siaran Pers CATAHU 2020 Komnas Perempuan: Lembar Fakta dan Poin Kunci (5 Maret 2021)