Janda: Relasi Kuasa dan Beban Ganda

NM Dian N Luthfi
Peneliti Hukum dan HAM yang tertarik mempelajari berbagai disiplin ilmu terutama studi filsafat, hukum, budaya, pendidikan, gender dan antropologi.
Konten dari Pengguna
14 Desember 2022 7:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari NM Dian N Luthfi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Janda: Relasi Kuasa dan Beban Ganda
Sumber: Ilustrasi oleh Penulis
“Waktu menikah, aku mendapat kekerasan fisik dan verbal dari mantan suamiku, sejak setelah tiga bulan menikah. Dia memukul dan menjambakku saat kami berhubungan seksual. Aku dipaksa aborsi dan mencari biayanya sendiri. Aku juga diselingkuhi oleh mantan suamiku. Setelah bercerai dan menjanda, aku dipisahkan dengan anakku dan mendapat banyak tekanan dari teman-teman juga tetanggaku hanya karena aku seorang janda. Mulai diminta untuk memperbaiki penampilan, cepat-cepat menikah, diajak poligami hingga diajak berhubungan badan.”
ADVERTISEMENT
Begitu, melalui sebuah wawancara ekslusif dengan seorang kawan beberapa waktu yang lalu melalui pesan singkat, WhatApp. Setelah mendapatkan persetujuannya, saya mencoba merangkainya dengan sederhana dan utuh.
Anggapan tentang janda hari ini tidak dapat dilepaskan dari gagasan dominan yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk kultur di dalam masyarakat. Menjadi seorang janda kerap dianggap sebagai aib seorang perempuan, sehingga harus ‘diperbaiki’, dengan menikah lagi, misalnya. Janda juga sering dianggap sebagai sebuah kegagalan perempuan dalam melayani suami dan mengurus rumah tangga.
Stigma negatif pada janda hari ini tidak hanya ditemukan di masyarakat pada umumnya, di Banyuwani beberapa waktu lalu, Ketua F-PPP Basir Qodim mengusulkan pembahasan Raperda Pemberdayaan Janda. Salah satu hal yang mengundang kontroversi oleh berbagai pihak, dalam Raperda tersebut muncul sebuah anjuran bagi warga Banyuwangi yang mampu, untuk menikahi para janda secara poligami.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut membuktikan bahwa anggpan tentang janda, yang secara sosial dikonstruksikan sebagai manusia sebagai perempuan, dipandang sebagai sosok manusia lemah sehingga butuh perlindungan dari laki-laki.
Dari cerita kawan tersebut, dapat kita sadari bahwa menjadi janda tidak selalu pilihan, tetapi juga paksaan. Banyak faktor yang melatarbelakangi seorang perempuan menjadi janda seperti: human trafficking, KDRT dan kawin paksa.
Janda dan Relasi Kuasa
Penempatan perempuan, dalam hal ini adalah janda, secara timpang di masyarakat, menyebabkan munculnya kerentanan dan ketidakmampuan perempuan dalam berbagai hal, seperti: bersaing di dunia politik, pemerintahan, ekonomi, mengenyam pendidikan hingga kekerasan (KDRT).
Kultur patriarki bukan hanya mempengaruhi anggapan-anggapan masyarakat mengenai perempuan, patriariki juga memiliki andil yang besar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dapat dilihat dari Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
ADVERTISEMENT
Pada Pasal 31 ayat (3) menjelaskan bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. Pembagian peran yang oleh undang-undang ini tidak efektif. Baik istri maupun suami serta peranan apa saja yang akan mereka peroleh seharusnya lahir dari kesepakatan kedua belah pihak, urusan privat dan tidak perlu campur tangan negara.
Dalam pasal tersebut, negara, secara tidak langsung membatasi peranan istri hanya sebagai ibu rumah tangga, sehingga dalam realitanya banyak istri yang tidak mandiri secara finansial dan harus bergantung pada suami.
Pasal berikutnya, yakni Pasal 34 ayat (1) secara tidak langsung menempatkan perempuan, istri sebagai yang lemah dan laki-laki atau suami sebagai yang kuat. Terlihat dalam penjelasannya bahwa suami wajib melindungi istrinya.
ADVERTISEMENT
Kultur seperti itu juga menjadikan perempuan dan istri beranggapan bahwa ia adalah kaum lemah sehingga perlu laki-laki untuk melindunginya. Padahal setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan atau jenis gender lainnya, bisa saling melindungi satu sama lain tanpa harus dikotomi dengan perbedaan kelamin.
Janda dan Beban Ganda
Sekalipun dalam realitanya banyak istri yang juga bekerja di luar, urusan rumah tangga, seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 31 ayat (3) di atas, tetap menjadi kewajiban istri, dan tidak untuk suami. Mansour Faqih (1996) menjelaskan keadaan ini sebagai akibat dari anggapan-anggapan bahwa perempuan memilikimemelihara dan rajin, sehingga semua pekerjaan domestik ada dalam tanggung jawabnya.
Selain itu, Mansour Faqih juga menyampaikan bahwa pekerjaan-pekerjaan domestik yang hampir selalu dibebankan kepada perempuan atau istri, sebagai pekerjaan yang rendah daripada “pekerjaan suami”, sehingga tidak pernah diperhitungkan dalam stastik ekonomi negara.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, dalam Pasal 34 ayat (2) UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi sebagai berikut:
“istri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.”
Tidak heran jika dalam perkara perceraian, yang sering menjadi sasaran kesalahan adalah perempuan atau istri. Tak jarang, perempuan dianggap tidak mampu mengurus rumah-tangga, atau melayani suami. Yang dalam realitanya, banyak perempuan memutuskan untuk mengakhiri rumah tangganya karena ketidaksanggupan menolak ketidakadilan yang diterimanya.
Pada intinya adalah, menjadi janda tidak selalu karena pilihan, namun menjada juga bukanlah sautu kesalahan. Melihat fenomena perempuan pada umumnya, dan janda pada khususnya harus dilihat secara utuh karena perempuan memiliki sejarah panjang untuk menjadi dirinya saat ini.
ADVERTISEMENT