Pelecehan Seksual: Kampanye Kesetaraan dan Kebijakan Diri

NM Dian N Luthfi
Peneliti Hukum dan HAM yang tertarik mempelajari berbagai disiplin ilmu terutama studi filsafat, hukum, budaya, pendidikan, gender dan antropologi.
Konten dari Pengguna
19 Agustus 2021 11:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari NM Dian N Luthfi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Koleksi Pribadi via Instagram @ideanns
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Koleksi Pribadi via Instagram @ideanns
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) belum juga disahkan. Rancangan Undang-Undang yang bukan hanya menghukum pelaku namun juga melindungi dan memulihkan korban-korban pelecehan seksual tidak menjadi topik menarik dalam pemerintahan Jokowi.
ADVERTISEMENT
Tidak disebutkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dalam Paripurna DPR RI (17/0721) yang secara resmi menyepakati perubahan dalam perubahan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020, adalah bukti kesekian yang memperlihatkan kepada seluruh masyarakat pada umumnya dan perempuan pada khususnya bahwa memang masalah perempuan bukanlah menjadi prioritas dalam pemerintahan Joko Widodo.
Sebelumnya RUU PKS sempat ditarik dari RUU Prioritas dengan alasan pembahasan yang sulit, hal tersebut disampaikan langsung oleh Marwan selaku Anggota Komisi XI DPR RI. Lain topik lain nasib. Jika pembahasan mengenai RUU PKS selalu menemui jalan rumit dalam proses pengesahan, pembahasan mengenai investasi mendapat nasib yang sama sekali berbeda. Terbukti dalam pidato Joko Widodo dalam Musyawarah Nasional Pengusaha Muda Indonesia (16/9/19) yang menyatakan bahwa pemerintah akan merevisi 74 UU yang menghambat investasi.
ADVERTISEMENT
Melalui respons-respons tersebut setidaknya dapat kita petakan mana yang menjadi prioritas pemerintah dan mana yang bukan.
Jadi bukan suatu hal yang baru lagi, apabila kasus kekerasan dan pelecehan seksual naik setiap harinya. Dilansir dari Merdeka.com, sistem informasi daring perlindungan perempuan dan anak hingga 3 Juni 2021, terdapat 1.902 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
Semakin maraknya kasus pelecehan seksual dan tidak adanya wadah efektif yang menampungnya, kita harus apa?
Menghukum Pelaku dengan Kampanye Kesetaraan
Selain budaya seksis yang masih meradang di tengah kehidupan masyarakat dan tidak adanya regulasi yang mengakomodir, perlu ditinjau lebih lanjut terkait bagaimana metode kampanye yang kita lakukan selama ini? sudah efektifkah? Atau malah terkesan muluk-muluk dan sulit untuk diterima masyarakat secara luas?
ADVERTISEMENT
Tak jarang kaum perempuan yang menegur, menyerukan dan merespons kasus-kasus pelecehan hanya dianggap sebagai perempuan yang emosional atau suka marah-marah saja, walaupun sebenarnya tidak bermaksud untuk marah-marah.
Namun tidak ada salahnya apabila kita meninjau ulang bagaimana metode komunikasi yang kita bangun selama ini dalam mempropagandakan kesetaraan. Jangan-jangan memang benar, langgengnya penindasan perempuan sampai saat ini turut dipengaruhi oleh cara kampanye yang tidak efektif dan komunikatif.
Contoh Pesan untuk Merespon Tindakan Pelecehan Seksual di Media Sosial
Ditulis berdasarkan pengalaman pribadi saat dilecehkan di media sosial, beberapa cara yang cukup efektif yang dapat ditawarkan untuk merespons tindakan pelecehan seksual:
1. Beri sapa/salam
2. Sampaikan bahwa Anda tidak nyaman dengan postingan, komentar atau apa pun yang menyangkut pelecehan seksual
3. Jelaskan dengan bahasa yang sederhana mengapa Anda tidak nyaman dengan hal tersebut
ADVERTISEMENT
4. Jelaskan bahaya dari tindakan-tindakan pelecehan seksual terhadap orang lain
5. Ajak untuk berkontribusi dan belajar bersama-sama dalam merespons maraknya pelecehan seksual.
Sejauh ini, cara tersebut adalah cara yang paling efektif dalam merespons pelecehan seksual. Jadi substansi dari respons kita bukan hanya perihal bagaimana pelaku harus bertanggungjawab atas perbuatannya dengan hukuman fisik atau denda, misal, tetapi juga bagaimana agar pelaku tidak menyangkal, mengakui perbuatannya dan berkenan untuk belajar lebih jauh mengenai kesetaraan juga bahaya atas tindakan yang dilakukannya.
Daripada harus mengeluarkan kata-kata "kotor" seperti "anjing", "babi" atau yang lain. Meskipun ini adalah hal yang wajar apabila kadar emosi kita tidak stabil ketika mendengar atau bahkan mengalami pelecehan seksual.
Menjadi penting juga ketika kita mengalami atau mengetahui adanya tindakan pelecehan, sebisa mungkin jangan membuat kekerasan jenis baru dengan mem-bully pelaku atau hal sejenisnya.
ADVERTISEMENT
Hal perlu dipertimbangkan, bisa jadi isu-isu mengenai kesetaraan ini adalah hal yang baru bagi pelaku. Maka penghukuman seperti itulah yang dapat dilakukan dan harapannya bukan hanya menghukum tindakan pelaku, namun juga menghukum pemikiran seksis daripada pelaku dan menghapuskannya.
Evaluasi Kebijakan Diri
Selain metode-metode penghukuman terhadap pelaku di atas, patut dipertimbangkan pula untuk konsultasi kepada ahli psikologi dampak seperti apa yang kita terima dari kebijakan diri tersebut. Karena bukan tidak mungkin ketika kita dilecehkan namun sekaligus memberikan pandangan baru bagi orang lain melalui metode tersebut, kita akan terpicu pada kejadian-kejadian serupa yang pernah kita alami di masa lalu.
Metode tersebut juga tidak disarankan bagi para korban yang secara psikis tidak mampu untuk melakukan kampanye kesetaraan di tengah pelecehan seksual yang dialaminya. Korban disarankan untuk menyembuhkan luka traumanya terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Masih berdasarkan pengalaman pribadi, berbicara mengenai penyembuhan trauma, metode di atas yang diharapkan bukan hanya membuka pikiran pelaku namun juga sebagai kampanye kesetaraan yang dapat dibaca oleh banyak orang dan memberikan perspektif baru bagi bagi mereka.
Dimulai dari satu atau dua orang yang kemudian menyadari bahaya dari pelecehan seksual lalu berniat untuk bertanggung jawab dengan memperbaiki diri dan mempelajari lebih dalam terkait kesetaraan adalah salah satu obat yang, setidaknya dapat meringankan beban trauma korban.
Bukan salah korban juga apabila tidak memberikan penjelasan atau edukasi terhadap pelaku. Yang jelas setiap orang tidak patut untuk dilecehkan, terlepas dia memahami isu kesetaraan dan bahaya pelecehan seksual ataupun tidak.
Referensi:
https://www.merdeka.com/peristiwa/kemenpppa-catat-kekerasan-seksual-tertinggi-sebanyak-7191-kasus.html#:~:text=Sedangkan%20di%20tahun%202021%2C%20dihimpun,telah%20mencapai%20angka%203.122%20kasus.