Konten dari Pengguna

Kesetaraan Di Hari Perempuan Internasional 2017

Nia Dinata
Juggling different tasks as a filmmaker, a mother & wife, a sister, a mentor & a social commentator is a seemingly difficult job. Trust the universe!
8 Maret 2017 17:24 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nia Dinata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari ini tanggal 8 Maret, adalah Hari Perempuan Internasional yang dirayakan di seluruh dunia. Pertamakali Perserikatan Bangsa-Bangsa mencanangkan IWD (International Women’s Day) di tahun 1975. Sejak itu korporasi, komunitas, Organisasi non-profit, sekolah-sekolah dan kampus-kampus, mulai merayakannya. Perayaan ini awalnya lebih untuk memperjuangkan kesetaraan gender lewat hak-hak upah untuk pekerja perempuan, juga hak-hak akan pendidikan. Lalu perlahan-lahan, perjuangannya meluas sampai juga memperjuangkan hak atas tubuh perempuan, kesehatan dan kesehatan reproduksi, hak LGBT, hak buruh migran, dan hak-hak perempuan yang termarjinalkan lainnya.
ADVERTISEMENT
Di Tahun 2017 ini, dengan kecanggihan media sosial, dari jauh-jauh hari organisasi perempuan dunia sudh bisa meworo-woro tema perayaan per tahun. Benang merahnya dijadikan hastag atau tagar, seperti #BeBoldForChange atau #ADayWithoutWomen. Jadi, siapapun baik secara individu maupun komunitas, perusahaan dan organisasi, bisa mengunduh dan mengunggah kegiatannya dan saling mempelajari dan mendukung kegiatan satu sama lainnya.
Contohnya saya sendiri, sambil melihat-lihat Instagram di perjalanan menuju kantor tadi pagi, melihat-lihat hashtag #BeBoldForChange memang seru-seru dan kreatif foto-foto kegiatan hari perempuan internasional ini. Tapi, gong nya adalah ketika saya melihat akun Bang Djarot alias Djarot Saiful Hidayat, Wakil Gubernur Jakarta yang lagi cuti kerja, memasang foto mpok Happy, istri tercintaannya dengan caption yang menyentuh hati, di atas gambar mpok Happy yang lagi mengunungi lokasi banjir, dengan celana jeans basah sampai ke lutut. Tulisnya: Saya beruntung memiliki pendamping hidup @happyFarida yang memiliki rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi. Seorang perempuan dimasa ini juga harus memiliki rasa kesetiakawanan sosial tinggi…dst dengan tagar be bold for change. Contoh yang baik dari suami yang mendukung kegiatan apapun dari istrinya. Hidup di jaman sekarang memang bukan jamannya lagi, cuma bertugas membuntuti suami saja.
ADVERTISEMENT
Lalu, saya penasaran melihat akun instagram Basuki Tjahaya Purnama yang ternyata tidak memakai tagar apapun. Tapi, dia juga memasang foto istrinya, Veronica Tan, yang tidak punya akun Instagram, sedang beraktivitas bersama ibu-ibu rusun atau mungkin ibu-ibu pengrajin binaannya. Caption di foto tersebut, bikin saya bertambah semangat sekali, karena bang Ahok selain menulis selamat untuk para perempuan, tapi juga menyampaikan ‘khusus untuk Veronica, istri dan ibu dari anak-anak saya, salut atas kerja kerasnya. Dia perempuan bukan hanya pendamping, tapi partner yang sejajar bagi saya…" dan seterusnya. Saya rasa perempuan dengan akal sehat dimanapun, pasti akan semangat, tidak hanya tersentuh, melihat hubungan partnership suami istri seperti ini.
Jarang sekali laki-laki mau menyatakan bahwa hubungan suami-istri dalam rumah tangganya sejajar. Apalagi laki-laki dalam pemerintahan Indonesia yang cenderung sangat hati-hati dalam memunculkan istri-istrinya. Pembagian kerja suami istri masih sangat terkotak-kotakkan. Istri urusan domestik dan suami urusan di luara rumah. Sehingga anak-anak yang besar dalam lingkungan seperti itu juga tidak bisa mengambil aspirasi dari rumahnya. Anak perempuan, biasanya mengambil aspirasi dari tokoh-tokoh inspiratif untuk mengejar mimpi dan cita-citanya. Anak laki-laki, cenderung melihat ayahnya dan akan mengulangi cycle perlakuan ayahnya terhadap ibunya di rumah.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Keluarga (Foto: Pixabay)
Ngomong-ngomong soal rumah tangga dan relasi suami-istri, saya jadi ingat diskusi dengan teman baik, seorang psikolog yang juga aktivis, yang pernah memperlihatkan hasil risetnya kepada saya. Katanya, justru di dalam rumah tangga kelas menengah ke atas, kekerasan dalam rumah tangga itu sulit untuk diberantas, atau di-treatment. Kenapa? Karena istri-istri pejabat, maupun pengusaha dan kalangan profesional, cenderung punya tanggung jawab lebih besar untuk menjaga nama baik suaminya. Menjaga nama baik keluarga suaminya dan keluarga besarnya sendiri juga menjadi beban. Jadi apapun bentuk kekerasan baik yang fisik, maupun non-fisik, menjadi tabu untuk dibicarakan.
ADVERTISEMENT
Kalau kekerasan fisik, ada buktinya dengan mudah dapat divisum, tapi kekerasan non-fisik itu yang susah. Contohnya apa yang non-fisik? Perkataan kasar, larangan ini itu, pengekangan, sampai menyimpan istri lain diam-diam, alias poligami. Walaupun istri-istri ini sudah melakukan konseling secara sangat privat, tapi menjadi sulit untuk mengambil keputusan-keputusan yang akan mengubah hidupnya. Ini semua terjadi karena status sosial. Safe-house yang sudah ada di Jakarta maupun beberapa daerah lain di Indonesia, terasa kurang privat bagi ibu-ibu menengah atas ini. Kalau nanti bikin laporan ke polisi, gimana nama baik suaminya, dan sejuta alasan lainnya.
Mungkin ini yang juga tidak boleh luput dari perhatian kita semua. Bahwa pemimpin dan tokoh masyarakat itu contoh dan aspirasi bagi bangsanya. Kalau pemimpin dan para tokoh menunjukkan sikap yang menghargai kesetaraan, dan kejujuran, maka rakyat dan bangsanya juga akan berani menghargai kesetaraan, berani jujur, dan tidak munafik. Makanya Rencana Undang Undang Anti penghapusan kekerasan seksual, harusnya segera diselesaikan dan disahkan di Indonesia. Jadi, sanksi hukumnya bisa berlaku merata bagi siapa saja terlepas dari kelas sosialnya. Ini baru #beboldforchange
ADVERTISEMENT