Konten dari Pengguna

Tanah Air Kita Indah, Kok Tamasyanya ke TPS?

Nia Dinata
Juggling different tasks as a filmmaker, a mother & wife, a sister, a mentor & a social commentator is a seemingly difficult job. Trust the universe!
19 April 2017 8:03 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nia Dinata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Indonesia (Foto: Pixabay)
Tamasya ke TPS di Pilkada putaran ke 2 DKI?
ADVERTISEMENT
Ini sebuah fenomena baru yang buat saya terasa mengada-ada. Tapi, ternyata, ini sebuah kegiatan serius, bahkan ketua panitia tamasya ini sempat mendatangi ketua KPU untuk beraudiensi untuk meminta izin. Panitia tamasya bahkan datang ke beberapa media–konon ketua panitia berani berkata bahwa izin lisan sudah ada dari ketua KPU.
Sementara di sisi pengamanan, Jenderal Tito Karnavian sebagai Kapolri, secara tegas melarang kegiatan berkumpul dalam bentuk apapun di area TPS bagi masyarakat yang tidak terlibat pilkada di TPS tersebut.
Tindakan Kapolri bukan hal yang di luar kebiasaan karena di situlah peran jajaran kepolisian negara ini menjadi sangat penting dalam memberi rasa aman bagi setiap warga negara yang sedang merayakan pesta demokrasi.
ADVERTISEMENT
Tetapi, membaca berita-berita sampai subuh hari ini, tampaknya pihak yang ingin tamasya, bersikeras untuk melakukannya. Bahkan beberapa artikel di kumparan sendiri, terlihat menyokong kegiatan ini.
Padahal coba pikirkan dengan hati terbuka dan akal yang sehat, bukankah telah begitu banyak rentetan peristiwa pengerahan massa yang terjadi dari mulai kuartal terakhir 2016, sampai setiap hari Selasa (hari sidang Ahok) di Jakarta ini?
Akibatnya macet, kegiatan publik terganggu karena ada hambatan di jalan-jalan dan uang kas negara terpakai untuk proses pengamanannya, yang memerlukan ribuan bahkan puluhan ribu aparat untuk turun dan mengawasinya.
Lalu, coba diingat-ingat, panitia dan pencetus seluruh kegiatan turun ke jalan, bela ini-itu, sampai tamasya.
Siapakah manusia-manusianya? Merekalah orang-orang yang sama, dengan organisasi massa yang sama pula. Merekalah pendukung pasangan calon gubernur yang telah membiarkan Islam dan keislaman dipakai sebagai alat politik demi kemenangan.
ADVERTISEMENT
Mereka yang masih belum puas dengan hasil-hasil yang dituai selama mereka menanamkan kecurigaan, menanamkan tuduhan, bahkan istilah kata yang sering disalahartikan, contohnya kata 'kafir'. Kita semua tahu orangnya: dia lagi, dia lagi.
Lalu, kenapa sepertinya mereka tidak habis-habis tenaganya bergerak mengajak bukan hanya warga Jakarta, tapi juga warga kota-kota lainnya untuk berpartisipasi?
Pertama pasti, karena kucuran dana entah dari siapa untuk kegiatan mereka masih mengalir lancar.
Kedua, karena masih banyak warga Jakarta dan warga negara Indonesia lainnya yang berpikiran terbuka, mencintai kedamaian dan keberagaman sehingga tidak terpengaruh dengan apapun kegiatan yang bertubi-tubi ini.
Masih banyak masyarakat yang menghormati jalannya pesta demokrasi, tidak gampang emosi, dan selalu mengikuti hati nurani. Selama masih banyak dari kita, bangsa Indonesia yang berprinsip, maka gerakan mereka yang ingin mengganggu dan gemar menyulut ini tidak akan berhenti.
ADVERTISEMENT
Jadi, kalau bersama kita sadari langkah-langkah dan cobaan ini, ketenangan, fokus, dan niat kita untuk tetap menjunjung tinggi kebebasan memilih, menghormati dan menghargai perbedaan, menginginkan kemajuan, memimpikan kejujuran dan jajaran pemerintahan yang berani dan bebas korupsi bagi Jakarta, bagi Indonesia, kita sebaiknya tak gentar dengan apapun bentuk aksi, atau intimidasi, maupun tamasya yang mereka buat.
Selamat memilih dengan hati dan akal sehat, warga Jakarta!