Konten dari Pengguna

Autentisitas Budaya dalam Novel Pingkan Melipat Jarak Karya Sapardi Djoko Damono

Nia Kartika
Mahasiswi Universitas Pamulang, Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia
2 Desember 2022 14:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nia Kartika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Novel Pingkan Melipat Jarak Karya Sapardi Djoko Damono | Sumber foto: Foto pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Novel Pingkan Melipat Jarak Karya Sapardi Djoko Damono | Sumber foto: Foto pribadi
ADVERTISEMENT
Novel merupakan sebuah karya sastra yang cukup erat hubungannya dengan kehidupan masyarakat, hal ini lantaran banyak sekali cerita dalam novel yang memang tercermin dari kehidupan sehari-hari manusia. Tidak sedikit pula para pengarang yang menciptakan karya sastra berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, termasuk kondisi budaya dan sosial masyarakat multikultural yang juga kerap kali tercermin dalam berbagai novel. Namun, terkadang gambaran mengenai budaya dalam sebuah novel masih banyak mengalami ketidaksesuaian atau ketersesatan. Dengan demikian diperlukan untuk mengkaji autentisitas budaya dalam sebuah karya sastra agar mendapatkan pemahaman yang jelas dan benar mengenai sebuah kelompok masyarakat etnis yang digambarkan dalam karya sastra tersebut.
ADVERTISEMENT
Disini penulis akan membahas mengenai sebuah novel yang menggambarkan adanya kondisi budaya dan sosial masyarakat yang multikultural yakni novel “Pingkan Melipat Jarak” karya Sapardi Djoko Damono. Novel tersebut merupakan sebuah novel yang menyuguhkan budaya dari dua negara yaitu budaya Jawa dengan budaya Jepang. Novel ini lebih memfokuskan kepada Pingkan dan perasaannya serta Katsuo dan pengabdian kepada ibunya. Dalam novel yang berlatar di Solo, Jawa Tengah ini menggambarkan bagaimana kebudayaan Jawa dan Jepang terefleksikan saat berusaha untuk menyembuhkan Sarwono yang sakit, orang tuanya melakukan upacara ritual Jawa untuk saudara-saudara imajiner Sarwono sedangkan Katsuo yang merupakan orang Jepang membantunya dengan ritual dari budayanya dan berdasarkan kepercayaannya. Untuk mengetahui sejauh mana autentisitas karya sastra dalam menggambarkan sebuah kebudayaan. Kita dapat menggunakan teori yang dikemukakan oleh Mingshui Cai dalam bukunya "Multicultural Literature for Children and Young Adults: Reflection on Critical Issues (2002)".
ADVERTISEMENT
Baik, langsung saja pada pembahasannya, pertama penulis akan mengulas mengenai perspektif etnis, menurut Mingshui Cai (2002:41) “Perspektif etnis adalah pandangan dunia yang dibentuk oleh perbedaan ideologis dengan mayoritas Amerika. Perspektif ini tercermin dalam cara hidup, keyakinan, dan perilaku yang spesifik secara budaya”. Dalam hal ini pemahaman Sapardi terhadap budaya Jepang dan Jawa akan tertuang, baik mengenai cara hidup, berperilaku, dan berkeyakinan. Dalam novel “Pingkan Melipat Jarak” penulis menemukan adanya gambaran mengenai budaya Jepang yaitu ojigi (membungkuk). Budaya ini merupakan salah satu budaya yang memang sudah turun temurun dilakukan oleh orang Jepang. Dimana mereka melakukan itu untuk tetap menjunjung tinggi budaya kesopanan dalam bertingkah laku. Menurut Piri dalam jurnalnya menuliskan bahwa ojigi dapat bermakna sebuah ungkapan rasa saling menghormati serta menghapus dinding permusuhan, yang mana kebiasaan tersebut memang sudah dilakukan oleh orang Jepang sejak zaman Yayoi (abad ke 10-SM) (Piri, 2018). Sapardi menggambarkan tokoh Katsuo yang merupakan orang Jepang selalu melakukan ojigi saat berinteraksi dengan orang lain, sebagaimana kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
“Melihat Bu Pelenkahu muncul, Katsuo berdiri lalu membungkuk dalam-dalam, minta pamit.” (Damono, 2017:12).
Kutipan tersebut menggambarkan Katsuo melakukan ojigi pada Bu Pelenkahu yang merupakan ibu dari Pingkan sebagai bentuk menghormati serta ungkapan pamit dan terima kasih karena telah diperlakukan dengan baik selama bertamu. Dari kutipan di atas, Sapardi menggambarkan bagaimana orang jepang melakukan sebuah komunikasi non-verbal sebagai dasar sopan santun, namun dalam penggambarannya Sapardi tidak menjelaskan lebih rinci ojigi jenis apa yang dilakukan Katsuo dan bagaimana tata caranya.
Membahas mengenai budaya Jepang, Sapardi menciptakan tokoh Katsuo sebagai orang Jepang yang sedang menetap di Indonesia karena terlibat urusan dengan Pingkan dan Sarwono. Dalam novel tersebut, Katsuo diceritakan berasal dari Okinawa mengalami identitas etnis yang membingungkan. Sapardi menceritakan bahwa beberapa diantara mereka yang berasal dari Okinawa ingin memiliki identitas yang jelas dengan melakukan berbagai upaya untuk dapat menjadi Jepang seutuhnya sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh Katsuo dalam kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
“Pemuda yang sudah sejak remaja pindah ke Kyoto dari kampung halamannya untuk bersekolah itu merasa sudah menjadi Jepang sepenuhnya, meskipun kadang-kadang dirasakan sirat sikap dan ucapan orang yang sekitar yang menyebabkan dirinya merasa sebagai seorang liyan di ibu kota Jepang kuno itu.” (Damono, 2017:17).
Untuk mengetahui kadar autentisitas dalam novel ini, penulis akan mengulas sedikit mengenai Okinawa yang diceritakan Sapardi sebagai tempat asal dari Katsuo. Pembahasan ini menjadi bagian yang cukup penting untuk diulas, kenapa? Karena tidak dapat disangkal bahwa imajinasi merupakan sebuah kekuatan kreatif, namun tidak dengan penguasa realitas, karena imajinasi dapat dibatasi oleh realitas. Perbedaan budaya dapat mempengaruhi imajinasi seorang pengarang, hal demikian yang menjadi penyebab terbatasnya imajinasi pengarang, sehingga mereka terkadang sulit untuk dapat menggambarkan kondisi sosial yang tepat dan benar mengenai suatu kelompok etnis dalam karya sastranya.
ADVERTISEMENT
Okinawa ternyata merupakan sebuah provinsi yang terletak di bagian paling selatan kepulauan Jepang. Sebagai provinsi terakhir yang dianeksasi oleh Jepang, status kontroversial Okinawa tetap menjadi bahan perdebatan. Okinawa adalah kerajaan merdeka sebelum dianeksasi oleh China, AS dan Jepang masing-masing, meskipun Okinawa telah resmi dinyatakan sebagai provinsi Jepang, Okinawa tetap berada di bawah kekuasaan militer AS. Inilah yang membuat identitas Okinawa masih kontroversial, apakah Okinawa benar-benar bagian dari Jepang atau bukan di peta dunia. Namun dibalik itu, Okinawa yang dulunya merupakan kerajaan merdeka, yang bernama kerajaan Ryukyu, kerajaan yang sangat makmur yang pernah sukses berdagang dengan Jepang, Cina, Korea dan negara-negara Asia Tenggara. Sejak itu, masyarakat Okinawa telah berkembang menjadi masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh pengaruh asing, dan secara tidak sengaja, Okinawa telah mengembangkan sejarah dan budayanya sendiri yang unik. Keunikan ini telah diturunkan dari generasi ke generasi (Maulidya, 2010:12). Orang Okinawa menentang struktur ketidakadilan ini secara dinamis sehingga identitas Okinawa tidak dapat diselesaikan dalam satu tanggapan. Selalu ada kontes apakah Okinawa adalah Okinawa, Okinawa adalah Jepang, atau Okinawa adalah Jepang dan Okinawa. Suku mayoritas di Jepang adalah Jepang, sedangkan suku Okinawa merupakan salah satu suku minoritas. Ada kalanya mereka menjadi orang Okinawa, terutama ketika mereka berada di lingkungan mereka sendiri dalam hal berbicara, mengadopsi budaya lokal, atau mempraktikkan kepercayaan mereka (Maulidya, 2010:16). Generasi muda Okinawa yang lahir dan besar dengan adat-istiadat Jepang, serta fasih berbahasa Jepang, belum tentu mampu membangun jati dirinya seperti orang Jepang. Perbedaan Okinawa dalam budaya, sejarah, dan ketergantungan di bidang ekonomi dan politik menimbulkan rasa identitas nasional yang kabur di antara orang Okinawa. Di sisi lain, orang Okinawa yang mengalami perbedaan sejarah, budaya, politik dan ekonomi, pada gilirannya merasakan rasa adanya perbedaan etnis dari orang Jepang di provinsi lain.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, dalam novel ini penulis juga menemukan adanya gambaran mengenai kebudayaan Jawa. Seperti yang telah penulis paparkan di paragraf sebelumnya bahwa novel “Pingkan Melipat Jarak” karya Sapardi Djoko Damono memiliki budaya yang multikultural. Adapun gambaran budaya Jawa yang terdapat dalam novel ini merupakan budaya yang sudah cukup banyak dikenal oleh masyarakat, tidak hanya bagi masyarakat Jawa tetapi juga masyarakat yang memang memiliki budaya serupa. Kebudayaan tersebut merupakan sebuah kepercayaan masyarakat Jawa jika sebenarnya manusia itu memiliki empat saudara atau yang biasa disebut dengan istilah sedulur papat lima pancer, orang Jawa percaya bahwa manusia memiliki empat saudara yakni kakaknya, ketuban, dan adik-adiknya yakni ari-ari, darah, dan pusar. Sedulur papat juga dipahami sebagai kawah, getih, pusar dan ari-ari. Sedangkan Pancer (manusia itu sendiri). Posisi papat sedulur juga mengikuti arah kiblat manusia Jawa. Kawah putih yang terletak di sebelah timur (wetan) adalah tempat lahirnya, membuka jalan. Getih, merah di selatan, pusar hitam di barat dan ari-ari kuning di utara. Sedangkan yang di tengah adalah pancer, yaitu Mar dan Marti yang keluar melalui Margahina, ke arah luar (Aziz, 2020:30). Dalam novel “Pingkan Melipat Jarak” Sapardi menggambarkan tokoh Bu Hadi sebagai orang Jawa, mempercayai akan adanya empat saudara yang dimiliki oleh setiap manusia, yang disebut dengan sedulur papat lima pancer. Hal ini termanifestasikan dalam kutipan berikut.
ADVERTISEMENT
“Aku yakin keempat saudaranya masih menjaganya baik-baik, Pak. Kepada suaminya dijelaskan bahwa mungkin yang menumbangkan anaknya adalah dirinya sendiri, si Pancer itu, Pak.” (Damono, 2017:39).
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa novel "Pingkan Menepi Jarak" karya Sapardi Djoko Damono dapat digolongkan sebagai sastra multikultural karena menceritakan tentang budaya Jawa dan juga Jepang yang berada di Indonesia dan saling berinteraksi satu sama lain. Kemudian, untuk kadar autentisitas budaya dalam novel “Pingkan Menepi Jarak” karya Sapardi Djoko Damono setelah melalui tahap analisis, dapat terlihat bahwa adanya kesesuaian kondisi sosial budaya dalam novel tersebut.
Daftar Pustaka
Aziz, A. Z. (2020). Tradisi Wetonan Di Desa Segaralangu Kecamatan Cipari Kabupaten Cilacap. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.
ADVERTISEMENT
Cai, M. (2002). Multicultural Literature For Children And Young Adults: Reflection on Critical Issues. Greenwood Press.
Damono, S. D. (2017). Pingkan Melipat Jarak. Pt Gramedia Pustaka Utama.
Maulidya, C. A. (2010). Fenomena Tarian Eisa dalam Eisa Matsuri di Okinawa-Jepang (Dinamika Ritual Keagamaan dan Budaya Populer). Universitas Indonesia.
Piri, E. N. (2018). Makna Budaya Ojigi Dalam Kehidupan Orang Jepang Dewasa Ini (the Meaning of Ojigi Culture in Japanese Life Today). Kadera Bahasa, 10(1), 9–22. https://doi.org/10.47541/kaba.v10i1.40