Konten dari Pengguna

Bukan sembarang belatung, Indonesia ekspor belatung ke Mancanegara

frishyjoi
Books and Beute Story Teller
8 Juli 2019 19:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari frishyjoi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
gambar
gambar lalat tentara hitam (sumber: www.abc.net.au)
zoom-in-whitePerbesar
gambar lalat tentara hitam (sumber: www.abc.net.au)
Kalau teman-teman mendengar belatung, kesan yang pertama kali terbesit adalah jijik atau karena ada bangkai atau hal serupa yang telah membusuk. Bahkan saya masih berpikir bahwa belatung tidak bisa dijual dan hanya bisa membantu pembusukan pada sampah. Jika dibandingkan dengan cacing, cacing masih bisa diproduksi utuk obat, namun sepertinya aneh jika mendengar obat yang dibuat dari belatung. Tapi taukah kalau belatung juga bermanfaat bahkan Indonesia mampu mengekspor belatung ke mancanegara? Hebat kan, bahwa Indonesia bisa mengekspor hal yang unik yang sebelumnya tidak kita kira namun sebenarnya ada dan bisa dihasilkan di setiap rumah tangga di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Berkeinginan untuk menghasilkan belatung atau membudidayakannya untuk dijual bahkan di ekspor? Sebelum itu, belatung yang bisa diekspor di sini bukan sembarang belatung. Bukan belatung yang berasal dari apapun yang busuk, seperti nangka busuk misalnya. Namun belatung atau maggot yang bisa di ekspor yakni dari jenis Black Soldier Fly (BSF) atau dalam Bahasa Indonesia adalah lalat tetantara hitam.
Black Soldier Fly (BSF) adalah lalat. Jadi awalnya belatung ini berasal dari lalat yang bisa dipakai untuk mengatasi persoalan sampah organik, yakni hermetia illucens atau yang dikenal dengan nama black soldier fly (BSF). Lalat hermetia illucens bisa membantu mengatasi persoalan sampah organik karena makanan dan sumber kehidupan dari BSF adalah sampah organik. Nah, anakan lalat tersebut disebut larva yang menjadi bahan baku pakan ternak. Untuk menjadikan telur BSF menjadi larva, membutuhkan waktu untuk tumbuh yakni 15 hari dan dengan 1 gram telur lalat bisa menghasilkan berkilo-kilogram larva maggot yang nantinya bisa dikeringkan dan dijual dengan harga yang tinggi. Dengan sedikit saja, telur maggot bisa menghasilkan larva yang banyak, sehingga menguntungkan para budidaya belatung BSF ini. Selain menguntungkan karena produksi yang banyak, maggot di Indonesia sangat dibutuhkan sebagai pakan untuk ternak. Hal ini dikarenakan maggot BSF memiliki kadar protein yang tinggi sehingga bisa menjadi altenatif selain pelet dan tentu saja karen lebih murah harganya.
ADVERTISEMENT
Namun, sebelum memulai bisnis untuk memulai ekspor belatung ini, banyak faktor lainnya yang perlu diperhatikan. Misalnya bau yang dihasilkan, yakni bagaimana agar orang di sekitar kita tidak terganggu dengan bau. Pasti ada pemilihan tempat yang tepat untuk produksi belatung agar tidak mengganggu orang disekitar. Atau bahkan karena bau dari pembusukan sampah untuk makanan belatung tersebut bisa mengundang hewan seperti tikus atau kecoa yang malahan bisa menghambat atau merusak proses pertumbuhan belatung yakni dari telur menjadi larva. Lalu ada faktor sampah organik yang harus dipasok setiap harinya. Karena belatung yang baik bukan dari sampah yang bercampur seperti kebanyakan sampah di Indonesia, melainkan dari sampah organik yang terpilih sehingga bisa menghasilkan larva yang bagus dengan kandungan protein yang tinggi. Tapi untuk masalah sampah, daerah di Indonesia masih bisa memasok sampah harian yang membludak meski belum tentu sampahnya sudah terpilah dari organik dan non organik. Dan hal tersebut salah satu “PR”nya, yakni mendapatkan sampah yang benar-benar organik.
ADVERTISEMENT
Degan budidaya belatung ini meski terlihat susah dari prosesnya, tapi bukan berarti tidak bisa dihasilkan dengan kualitas yang baik. Contohnya yakni salah satu perusahaan Indonesia yang berhasil mengekspor Black Soldier Fly (BSF), yaitu BioCycle. Menurut laman daring antaranews.com, BioCycle berhasil mengekspor BSF ke Belanda dengan jumlah 35 ton. Dan dengan harga 4 dollar Amerika per kilogramnya. Sedang harga telur lalatnya biasanya lebih mahal dengan harga sekitar 10 ribu per gramnya. Dalam membudidayakan BSF, BioCycle berbeda dengan idsutri rumahan yakni bahan sampahnya tidak dari sampah organik melainkan dari bungkil kelapa sawit. Dengan begitu, hasil larva yang diproduksi memiliki kualitas yang bagus dan dengan kadar protein yang lebih bagus jika dibandingkan dengan sampah organik.
ADVERTISEMENT
Meskipun tantangan pada pasokan sampah organik untuk produksi rumahan susah, bukan berarti produksi maggot rumahan tidak menjajikan dan tidak mampu ekspor. Bahkan di Indoensia kini sudah banyak unit masyarakat yang melakukan budidaya maggot seperti di Bogor, Cimahi, Jakarta, Lamongan dan banyak lainnya. Bahkan di Banyumas Jawa Tengah, menurut laman mongabay.co.id terdapat desa yang bernama Dusun larangan yang kini memiliki sebutan dengan Desa Laler (desa lalat) karena dengan 200 keluarga yang menaungi desa tersebut 23 rumah sudah melakukan budidaya belatung BSF ini. Dengan budidaya BSF ini, di Desa Laler bisa menjual larva yang hidup dengan Rp 7000 per kilogramnya atau yang sudah kering dioven senila 10 ribu sampai 15 ribu per gramnya. Perkirakan saja jika setiap warga di desa atau bahkan satu kecamatan siap untuk melakukan pilah sampah dan mampu menyediakan sampah organik saja, maka produksi BSF ini akan meningkat dan membantu para peternak karena harganya yang lebih murah daripada pelet (makanan ternak) dan bahkan jika berlebih bisa di distirbusikan baik lokal maupun internasional.
ADVERTISEMENT
Bagaimana? Uniknya belatung yang diekspor ke luar negeri bukan sembarang belatung kan? Belatung yang mampu mengurai sampah organik ini bahkan bisa dijual dengan harga yang lumayan. Apalagi jika larva sudah kering, harganya menjadi dua kali lipat. Selain itu, sebagai pengganti pakan ternak yang lebih murah yakni dengan harga tiga kali lipat lebih murah per kilogranya dibandingkan dengan harga larba BSF ini. Mau memulai dan mencobanya?#BeraniEkspor #142KarantinaMelayani