Konten dari Pengguna

Petarung Laut dari Kampung Cungkeng, Bandar Lampung

Pena Pesisir
Komunitas Masyarakat Peduli Pesisir
18 Desember 2019 19:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pena Pesisir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petarung Laut dari Kampung Cungkeng, Bandar Lampung
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Petang itu, gang sempit di Kampung Cungkeng, Kelurahan Kota Karang, Lampung padat oleh warga. Bapak-bapak nongkrong ditemani kopi hitam pekat, anak-anak berlarian diiringi ocehan ibu mereka.
ADVERTISEMENT
Banyak kapal bertengger istirahat sejenak dari terjangan ombak. Saat itu bulan purnama menemani, saatnya balik dari perantauan sementara bagi nelayan.
Kala beristirahat di darat, para nelayan tetap produktif bekerja. Jaring hitam tiba-tiba membentangi jalan hingga menyulitkan berlalu karena jalanan yang memang sempit.
Jaring-jaring itu sedang dibenahi oleh beberapa nelayan, dipersiapkan untuk digunakan sebagai senjata mereka kembali.
Sebagian besar penduduk Kampung Cungkeng bekerja sebagai nelayan. Menurut paparan ketua RT Kampung Cungkeng, ada sekitar 36% keluarga yang masuk golongan prasejahtera di Kelurahan Kota Karang. Mirisnya, Kampung Cungkeng adalah penyumbang terbesar angka tersebut.
Kondisi ekonomi yang buruk ini diakibatkan oleh ketidakstabilan pendapatan warga Kampung Cungkeng, karena pendapatan dari berlaut tidak bisa dikira-kira. Hal yang sama terjadi dengan Junaidi (58).
ADVERTISEMENT
Junaidi saat itu sedang memperhatikan rekan-rekannya membenahi jaring dengan pandangan letih. “Kita nelayan mah pendapatannya nggak bisa dikira, kadang sekali jalan bisa dapat 1 juta, pernah juga nggak dapat apa-apa,” ungkap Junaidi.
Junaidi biasanya berlayar dengan 4 rekan lainnya, berarung di atas laut kurang lebih selama 22 hari. Kapal yang mereka bawa bukanlah milik mereka pribadi. Mereka hanyalah anak buah yang hasil dari melautnya akan diserahkan ke tangan bos besar terlebih dahulu.
Kala itu Junaidi bersama rekan-rekannya telah menepi ke darat selama beberapa hari dan akan melaut lagi saat air laut mulai menurun.
Selama di laut, mereka tidak memiliki arah tertentu yang hendak di tuju. Jika tangkapan kurang dan tidak memenuhi target, mereka akan menjelajah lebih jauh lagi bahkan hingga ke sekitar Gunung Krakatau yang jaraknya kurang lebih 75 km.
ADVERTISEMENT
Meski dengan badan rapuh melawan dinginnya angin laut, meski pekerjaan mereka berulang seperti kaset rusak hingga ajal menjemput, namun hari demi hari dalam hati kecil mereka tersimpan cahaya redup harapan, mengalahkan luasnya langit yang mewarnai lautan.
Oleh: Rifqa Aqila