Konten dari Pengguna

Akankah Ada Perppu Pembatalan PPN oleh Presiden Prabowo?

Nicholas Martua Siagian
Reformasi Birokrasi, Perbaikan Sistem, Keuangan Negara, Pencegahan Korupsi, dan Inovasi. Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Inisiator Asah Kebijakan Indonesia. Peraih Talenta Riset dan Inovasi BRIN Tahun 2024.
22 November 2024 17:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nicholas Martua Siagian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Diakses Sekretariat Kabinet pada https://setkab.go.id/presiden-prabowo-tegaskan-dukungan-indonesia-terhadap-perdagangan-terbuka-dan-adil-di-apec-2024presiden-prabowo-tegaskan-dukungan-indonesia-terhadap-perdagangan-terbuka-dan-adil-di-apec-2024/.
zoom-in-whitePerbesar
Foto Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Diakses Sekretariat Kabinet pada https://setkab.go.id/presiden-prabowo-tegaskan-dukungan-indonesia-terhadap-perdagangan-terbuka-dan-adil-di-apec-2024presiden-prabowo-tegaskan-dukungan-indonesia-terhadap-perdagangan-terbuka-dan-adil-di-apec-2024/.
ADVERTISEMENT
Kalimat ini merupakan ekspresi penolakan dari salah satu platform di media X yang bernama Bareng Warga. Mulai dari teknokrat, akademisi, mantan pejabat negara, influencer, hingga mahasiswa juga memberikan tanggapan menolak terkait adanya isu kenaikan pajak ini.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit juga yang memberikan argumen setuju dan mendukung kenaikan PPN 12 persen. Adapun argumennya, “I think if you want to have a Nordic style welfare state, there’s no way around it other than funding it through VAT. This is why European have very high VAT rates (12%)".
Meski demikian, banyak yang membantah argumen tersebut, bahkan menganggap pernyataan tersebut sangat tidak sesuai dengan realita Indonesia saat ini, dan tidak apple to apple membandingkan kondisi Indonesia dengan negara-negara nordik. 
Memang isu kenaikan pajak ini bukan datang begitu saja saat ini, terdapat proses panjang yang telah terjadi sejak tahun 2021 yaitu reformasi perpajakan. Salah satu kebijakan utama dalam reformasi ini adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari sebelumnya 10% menjadi 12%. Kebijakan ini diatur secara bertahap melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
ADVERTISEMENT
Tidak bisa dipungkiri bahwa semua proses peregulasian ini ada di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Disahkannya UU HPP yang salah satu isinya mengatur kenaikan PPN idealnya seharusnya tidak lagi mengalami penolakan kalau pemerintah dan DPR benar-benar efektif menjalankan perancangan undang-undang yang baik.
Ilustrasi membayar pajak penghasilan. Foto: Shutter Stock
Tingginya perhatian masyarakat menolak kenaikan PPN sebenarnya menjadi gambaran bagaimana pembentukan regulasi di Indonesia yang belum mengedepankan meaningful participation hingga pelibatan ahli/pakar. Meaningful participation atau partisipasi yang bermakna adalah elemen penting dalam pembentukan sebuah regulasi, tidak hanya berkaitan dengan keterlibatan dalam diskusi, tetapi juga memastikan bahwa aspirasi, kekhawatiran, dan solusi dari berbagai pihak dipertimbangkan secara menyeluruh.
Dalam konteks kenaikan PPN, seharusnya meaningful participation menjadi penting karena kebijakan ini mempengaruhi daya beli masyarakat, biaya hidup, serta dinamika ekonomi makro. Melibatkan masyarakat dalam proses ini dapat meningkatkan legitimasi kebijakan, mengurangi resistensi, dan membantu menciptakan solusi yang lebih inklusif. 
ADVERTISEMENT
Memang sebagai negara yang besar, secara ideal, Indonesia membutuhkan pendapatan negara yang memadai untuk membiayai banyaknya pembangunan infrastruktur, pembangunan manusia, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, dan memastikan stabilitas fiskal. Dalam konteks ini, mungkin pemerintah beralasan bahwa melalui penerimaan PPN memiliki peran signifikan karena kontribusinya yang besar terhadap pendapatan negara.
Di negara mana pun, program pemerintah pastinya diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Logikanya, jika pembangunan yang dilakukan pemerintah adalah tepat sasaran, berkeadilan, serta berdampak pada kesejahteraan masyarakat tentu tidak mungkin ada penolakan dari masyarakat atas kenaikan pajak. Tentu masyarakat akan menyambut baik karena merasa sudah mendapat layanan publik yang baik.
Nyatanya, kita di Indonesia sedang dihadapi masyarakat yang ‘trust issue’ kepada pemerintah. Mulai dari maraknya korupsi dari tingkat pusat hingga daerah, buruknya penegakan hukum, tebang pilihnya pemberantasan korupsi, aparatur negara yang pamer kemewahan, fasilitas negara yang tidak digunakan sebagaimana mestinya, hingga program-program pemerintah yang justru tidak memberikan dampak nyata pada masyarakat. 
ADVERTISEMENT
Dengan kenyataan ini, apakah pemerintah masih layak menaikkan pajak di tengah kondisi masyarakat yang ‘trust issue’? Seharusnya jawabannya adalah tidak jika pemerintah itu memang benar-benar berasal dari rakyat, karena sejatinya pemerintah yang datang dari rakyat mengetahui persis kondisi rakyatnya.
Ilustrasi Pajak Foto: Shutterstock
Kita harus akui juga bahwa kenaikan PPN menjadi 12 persen adalah warisan pemerintahan sebelumnya yang harus diselesaikan pemerintahan saat ini. Memang pemerintahan yang baru saat ini baru berjalan beberapa bulan, sehingga tidak cukup alasan untuk menyalahkan. Hanya ada satu harapan yang bisa menyelesaikan persoalan ini yaitu gebrakan langsung dari Presiden Prabowo.
Jika undang-undang mengatur kenaikan PPN 12 persen per 1 Januari 2025, maka kemungkinan untuk membatalkannya hanya bisa melalui dua cara yaitu melakukan revisi terhadap Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) atau Presiden Prabowo menerbitkan langsung Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Memang yang paling memungkinkan jika Presiden Prabowo bersedia membatalkan kenaikan PPN adalah melalui penerbitan Perppu Pembatalan PPN, di mana otoritas penerbitan peraturan tersebut sepenuhnya ada pada Presiden Prabowo, ketimbang harus melalui mekanisme revisi undang-undang di Parlemen yang sangat memakan waktu. 
ADVERTISEMENT
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penggunaan Perppu sudah diatur dalam pasal 22 ayat (1), di mana bunyinya, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.”
Kalau pasal tersebut dibelah, maka unsur utama dari pembentukan Perppu adalah adanya ‘hal ihwal kegentingan yang memaksa’. Memang dalam Konstitusi tidak ada diatur secara jelas apa saja kategori dan kriteria ‘hal ihwal yang memaksa’, artinya unsur tersebut sepenuhnya diputuskan oleh otoritas Presiden.
Memang sebelumnya sudah terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi 138/PUU-VII/2009 terkait kegentingan yang memaksa, yang dibagi jadi tiga kategori yaitu adanya kebutuhan yang mendesak, adanya kekosongan hukum, atau kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut memerlukan kepastian untuk diselesaikan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kemungkinan terbitnya Perppu jika Presiden ingin membatalkan kenaikan PPN tersebut adalah sudah sesuai dengan kategori yang dijelaskan Putusan MK tersebut yaitu adanya kebutuhan yang mendesak. Kebutuhan mendesak yang dimaksud adalah jika kenaikan PPN dianggap mengganggu stabilitas sosial-ekonomi Indonesia. 
Dalam sejarah politik Indonesia, penggunaan Perppu juga telah beberapa kali digunakan untuk merespons situasi darurat atau kebutuhan mendesak, seperti mengatasi gejolak ekonomi hingga memitigasi protes publik yang meluas. Artinya, bukan berarti tidak mungkin Perppu menjadi solusi untuk membatalkan kenaikan PPN ini.