Implementasi Biaya Sosial (Social Cost of Corruption) sebagai Hukuman Finansial

Nicholas Martua Siagian
Reformasi Birokrasi, Perbaikan Sistem, Pencegahan Korupsi, dan Inovasi Sivitas Akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Awardee Beasiswa Unggulan Kemendikbud RI, Penyuluh Antikorupsi Tersertifikasi LSP KPK.
Konten dari Pengguna
11 September 2021 19:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nicholas Martua Siagian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nicholas Martua Siagian-Fasilitator PAK Sertifikasi LSP KPK
Ilustrasi KPK. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Penerapan Biaya Sosial Korupsi (Social Cost of Corruption) Sebagai Hukuman Finansial Dalam Mengoptimalkan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
ADVERTISEMENT
Tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crime yang melanggar hak sosial dan ekonomi masyarakat. Adanya korupsi tidak hanya mengganggu stabilitas pembangunan ekonomi, namun merusak tatanan atau sistem secara multidimensional. Di Indonesia, perbuatan korupsi menjadi sebuah kebiasaan bagi oknum pejabat negara yang mengambil kesempatan di tengah gencar-gencarnya pembangunan masyarakat. Bahkan, di tengah pandemi COVID-19, banyak pejabat negara baik di tingkat daerah maupun pusat yang menjadi pelaku tindak pidana ini.
Namun demikian, hukuman atau sanksi atas tindak pidana korupsi yang diterapkan hanya memperhitungkan besaran nilai uang yang dikorupsi. Hal ini memang tidak salah, karena kerugian keuangan negara akibat kasus korupsi memang mempengaruhi kemampuan negara dalam melakukan kegiatan pembangunan. Namun, kerugian akibat korupsi tidak hanya sekadar keuangan negara (biaya eksplisit korupsi) melainkan juga dampak korupsi terhadap alokasi sumber daya yang tidak optimum (biaya implisit korupsi). Kerugian keuangan negara (pemerintah) akibat korupsi, pada dasarnya hanyalah sebagian dari kerugian korupsi terhadap perekonomian.
ADVERTISEMENT
Apa arti biaya sosial korupsi itu?
Pada dasarnya biaya sosial korupsi adalah besarnya dampak korupsi terhadap perekonomian negara. Namun, tidak hanya kerugian negara (pemerintah), namun juga kerugian yang dialami masyarakat, serta dunia usaha. Analisis biaya sosial korupsi ini dibangun berdasarkan kerangka berpikir social cost of crime (biaya sosial kejahatan). Berikut merupakan elemen dalam biaya sosial korupsi yang dapat dilihat pada gambar di atas.
Bagan Unsur Biaya Sosial Korupsi Sumber : https://acch.kpk.go.id/id/component/content/article?id=681:menerapkan-biaya-sosial-korupsi-sebagai-hukuman-finansial-dalam-kasus-korupsi-kehutanan
1. Biaya Eksplisit adalah biaya yang keluar secara riil sebagai biaya dalam melaksanakan biaya antisipasi korupsi, biaya reaksi korupsi, dan biaya akibat korupsi.
a. Biaya Antisipasi Korupsi adalah biaya pencegahan korupsi yang dikeluarkan oleh KPK seperti edukasi anti korupsi, serta sosialisasi pencegahan korupsi.
b. Biaya Reaksi Korupsi adalah biaya yang dikeluarkan oleh negara dalam memproses pelaku korupsi, baik dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, pemasyarakatan, hingga menjalani hukuman fisik. Termasuk biaya pelaksanaan perkara, hingga biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan perampasan aset negara baik di dalam maupun luar negeri.
ADVERTISEMENT
c. Biaya Eksplisit Korupsi adalah nilai uang yang dikorupsi yang diterjemahkan sebagai kerugian negara, serta telah dihitung oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan).
2.B iaya Implisit adalah biaya oportunitas yang ditimbulkan akibat korupsi misalnya cicilan bunga yang semakin besar, perbedaan multiplier ekonomi baik saat ada dan tidak adanya korupsi, serta biaya yang hilang akibat sumber daya yang teralihkan dari produktif menjadi tidak produktif (defisit).
Dengan demikian, bahwa dalam satu tindak pidana korupsi, kerugian negara tidak hanya berdasarkan biaya eksplisit korupsi saja. Memang nilai uang yang dikorupsikan merupakan kerugian negara yang telah diaudit oleh BPK dan BPKP, namun definisi kerugian tersebut tidak berakhir pada nilai korupsinya, namun terdapat biaya sosial lainnya yang menjadi bagian dari kerugian negara.
ADVERTISEMENT
Sebelum pelaku korupsi ditemukan, negara telah mengeluarkan biaya untuk memprosesnya, baik dari tahap penyelidikan hingga pemasyarakatan pelaku korupsi. Bahkan pengejaran aset negara, hingga melakukan sosialisasi pencegahan tindak pidana korupsi dihitung sebagai biaya sosial yang dikeluarkan oleh negara. Tidak berhenti sampai di sana, biaya yang seharusnya menjadi pendapatan dan pembangunan ekonomi, namun menjadi non produktif karena adanya korupsi, juga diartikan sebagai biaya sosial korupsi.
Bagaimana mengaplikasikan biaya sosial korupsi?
Apabila seorang pejabat negara melakukan tindak pidana korupsi sebesar 10 miliar berdasarkan audit BPK dan BPKP. Dapat disimpulkan, bahwa kerugian negara tersebut sebenarnya bukanlah 10 miliar, namun bisa lebih besar, bahkan berlipat ganda dari nilai yang dikorupsikan. Dengan menghitung kerugian 3 elemen tersebut yaitu pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, besaran korupsi bisa lebih besar daripada angka eksplisitnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, penerapan biaya sosial korupsi sebagai hukuman finansial haruslah dioptimalkan. Selama ini, kerugian negara yang kita anggap hanyalah angka audit korupsi yang tertera (biaya eksplisit korupsi saja). Berdasarkan kajian KPK, besaran pembebanan biaya sosial terhadap terpidana korupsi besarnya bisa 4 kali hingga 543 kali lipat dibandingkan hukuman finansial yang diberikan pengadilan kepada para terpidana. Padahal terdapat unsur biaya sosial korupsi lainnya yang juga merupakan kerugian negara.
Artinya, apabila biaya sosial korupsi ini diterapkan, maka pelaku korupsi akan mendapatkan hukuman finansial yang lebih berat. Sehingga, pelaku korupsi bisa mendapatkan penyitaan aset yang lebih besar atau sanksi pidana yang lebih berat. Dengan demikian penulis mengargumenkan, bahwa penerapan biaya sosial korupsi merupakan inovasi konkret yang dapat dilaksanakan oleh negara. Optimalisasi hukuman dan sanksi menjadi cara strategis dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT