Konten dari Pengguna

Jika Negara Salah Urus

Nicholas Martua Siagian
Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia. Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Peraih Talenta Riset dan Inovasi BRIN Tahun 2024. Alumni Kebangsaan Lemhannas RI Tahun 2024 bagi Kader Pemimpin Muda Nasional (KPMN).
19 Februari 2025 15:23 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nicholas Martua Siagian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Masyarakat Depresi Karena Kebijakan yang tidak adil. Foto: Canva (Pribadi Milik Nicholas Martua Siagian)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Masyarakat Depresi Karena Kebijakan yang tidak adil. Foto: Canva (Pribadi Milik Nicholas Martua Siagian)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pernyataan di atas merupakan kutipan dari buku seorang ahli politik dan ekonomi Amerika Serikat bernama Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul State-Building: Governance and World Order in the 21st Century. Fukuyama menekankan bahwa kebijakan yang hanya berfokus pada perluasan peran negara tanpa meningkatkan kapasitasnya seringkali berujung menjadi celah korupsi dan inefisiensi.
Berbicara tentang kapasitas negara menjadi relevan dengan kondisi di Indonesia saat ini. Sejak 100 (seratus) hari pertama pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, pengambilan kebijakan di bidang hukum, ekonomi dan politik pemerintahan masih menjadi topik yang ‘seksi’ perbincangan publik. Bahkan, tidak jarang menuai kritikan terkait kebijakan blunder yang dilakukan oleh para menteri Kabinet Merah Putih. Ibarat pribahasa ‘sudah jatuh malah tertimpa tangga pula’, pemerintahan saat ini dihadapkan tantangan membangun kapasitas institusional, ternyata juga mengalami inkapasitas dalam menjalankan peran negara.
ADVERTISEMENT
Pergantian pemerintahan seharusnya menjadi momentum bagi sebuah negara untuk membawa perubahan yang lebih baik. Namun, di Indonesia, pemerintahan baru justru diwarnai dengan berbagai masalah yang semakin menegaskan perlunya evaluasi tata kelola negara. Sebagai contoh persoalan yang sempat terjadi adalah kebijakan distribusi gas LPG 3 kg yang membingungkan dan merugikan masyarakat kecil.
Ketidaksiapan pemerintah dalam mengimplementasikan sistem distribusi yang baru menyebabkan kelangkaan di berbagai daerah. Harga gas melon ini meroket, sementara masyarakat kecil yang seharusnya mendapatkan subsidi justru kesulitan mengaksesnya. Akhirnya terlihat bahwa pemerintah tampaknya terlalu tergesa-gesa menerapkan kebijakan tanpa memperhatikan sebab-akibat dari kebijakan yang diambil.
Persoalan lainnya yang saat ini menjadi kontroversi adalah upaya efisiensi anggaran yang sedang dilakukan pemerintah. Di berbagai negara, efisiensi anggaran berarti mengurangi pengeluaran yang tidak perlu agar sumber daya bisa dialokasikan ke sektor yang lebih produktif. Namun, di Indonesia, efisiensi anggaran yang dijalankan oleh pemerintah justru menyebabkan hilangnya anggaran untuk pelayanan publik yang seharusnya disalurkan kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pascaterbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja negara dalam pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025, anggaran pelayanan publik rasanya hilang satu per satu. Satu demi satu instansi pemerintahan yang menyelenggarakan layanan publik mengumumkan pemotongan program dengan alasan adanya instruksi efisiensi anggaran.
Memang benar rakyat seharusnya mendukung segala upaya pemerintah untuk yang lebih baik. Namun, yang menjadi pertanyaan serius adalah, apakah pemerintah punya perencanaan yang matang sehingga bisa menentukan kementerian/lembaga mana yang harus dipotong dan mana yang tidak harus dipotong? Sudahkah mempertimbangkan secara matang pos-pos anggaran mana saja yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah? Serta, sudahkah mempertimbangkan domino effect di daerah jika Transfer ke Daerah (TKD) dipotong di saat masih banyak pemerintah daerah yang sangat menggantungkan nasib pada bantuan pemerintah pusat?
ADVERTISEMENT
Pemerintah yang amatiran juga ditunjukkan dari maju mundur penghematan anggaran. Sebagai contoh nyata, dari yang awalnya akan ‘merumahkan’ karyawan TVRI dan RRI, namun setelah disorot publik, yang berujung pada pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akhirnya kebijakan tersebut dibatalkan.
Contoh lainnya, pemotongan anggaran pendidikan yang sudah dibahas bersama di DPR, setelah menjadi sorotan besar-besaran dari publik, akhirnya berujung kebijakan tersebut dibatalkan. Mengapa tunggu disorot publik dulu baru kebijakannya direvisi? Apakah perlu semua kebijakan efisiensi anggaran harus disorot dulu baru pemerintah mau bekerja secara matang untuk memperhatikan mana yang seharusnya dipotong atau tidak?
Persoalan lainnya yang semakin menyayat hati rakyat adalah diangkatnya Staf Khusus bidang Komunikasi Kementerian Pertahanan, Deddy Corbuzier, di tengah badai efisiensi anggaran. Dari mengangkat staf khusus saja sebenarnya sudah mengakibatkan efisiensi anggaran menjadi salah kaprah. Belum lagi, orang yang diangkat masih dipertanyakan kapasitas dan kompetensinya dalam bidang pertahanan nasional. Belum lagi, buruknya meritokrasi dirasionalisasi bahwa staf khusus yang diangkat nantinya tidak akan mengambil gaji, tunjangan, hingga fasilitas apa pun dari negara.
ADVERTISEMENT

Ugal-ugalan’ Bernegara

Sebuah pemerintahan yang baik selalu memiliki perencanaan yang matang sebelum meluncurkan kebijakan baru. Sayangnya, pemerintahan saat ini tampaknya tidak memiliki strategi yang jelas dalam menangani berbagai masalah nasional. Semuanya terlihat serampangan dan tanpa perhitungan yang tepat. Dampaknya adalah ketidakstabilan ekonomi, meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah, dan bertambahnya ketimpangan sosial.
Berbicara tentang mengurus negara, tidak ada salahnya pemerintah kembali memikirkan ulang untuk memperbaiki komposisi kabinet sebagai langkah memperbaiki peran negara yang berkapasitas. Jika ternyata pascarevisi undang-undang, kementerian negara justru semakin memperlambat kinerja pemerintahan, pemerintah juga masih bisa mengurangi serta merampingkan kabinet, sehingga efisiensi anggaran negara dapat berjalan sebagaimana yang dicita-citakan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Selain itu, pemberantasan korupsi dan penegakan hukum adalah bagian integral dari ‘mengurus negara.’ Tantangan dalam memberantas korupsi dan penegakan hukum masih menjadi persoalan serius yang berdampak langsung pada kualitas pemerintahan dan pembangunan negara. Kelembagaan yang lemah akan berujung pada inefisiensi peran negara negara dalam mencapai stabilitas serta kesejahteraan masyarakat. Ketika hukum tidak ditegakkan secara merata dan masih terdapat impunitas bagi elite politik maupun ‘oligarki,’ maka kepercayaan masyarakat terhadap negara akan melemah.
ADVERTISEMENT
Sebagai langkah strategis, pemerintah perlu segera menerbitkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 sebagai pedoman utama dalam merencanakan dan mengimplementasikan berbagai kebijakan pembangunan di Indonesia, baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, maupun budaya. Tanpa RPJMN, program pembangunan bisa terhambat atau bahkan tidak terarah. Masing-masing pihak mungkin memiliki pandangan yang berbeda (ego sektoral) tentang prioritas apa yang harus dijalankan, menyebabkan kesulitan dalam pelaksanaan kebijakan.
Salah satu pilar penting dalam pemerintahan yang efektif adalah meritokrasi, di mana individu diangkat ke posisi strategis berdasarkan kompetensi dan pengalaman. Namun, realitas di Indonesia justru menunjukkan sebaliknya. Pengangkatan staf khusus, menteri, dan jabatan-jabatan publik lebih banyak dipengaruhi oleh faktor kedekatan politik, populisme, hingga hubungan pribadi ketimbang kapabilitas yang mumpuni. Akibatnya, banyak keputusan strategis diambil oleh orang-orang yang tidak memiliki keahlian di bidangnya, yang pada akhirnya menyebabkan berbagai kebijakan yang gagal dan membebani rakyat.
ADVERTISEMENT
Perbaikan atau Terjerumus Lebih Dalam?
Pemerintahan yang salah urus bukan hanya masalah politik semata, tetapi juga ancaman bagi masa depan negara. Tanpa adanya perubahan signifikan dalam cara pemerintah mengelola negara, Indonesia berisiko mengalami kemunduran dalam berbagai sektor. Rakyat membutuhkan pemimpin yang mampu menjalankan pemerintahan dengan baik, bukan sekadar pemimpin yang pandai berjanji namun gagal dalam eksekusi.
Ketika negara salah urus, yang paling merasakan dampaknya adalah rakyat. Ketidakpastian dalam kebijakan, pelayanan publik yang buruk, dan ketiadaan kepemimpinan yang kompeten menciptakan kekecewaan yang mendalam. Rakyat yang semula berharap pada pemerintahan baru justru merasa dikhianati. Terakhir, Istana harapannya bisa lebih membuka diri secara inklusif merespons kebutuhan masyarakat, tidak sebatas ‘gimmick’, yang mengkampanyekan program-program populis yang sebenarnya belum sesuai tuntutan rakyat.
ADVERTISEMENT