Konten dari Pengguna

KPK Masih Punya Banyak 'PR'

Nicholas Martua Siagian
Reformasi Birokrasi, Perbaikan Sistem, Keuangan Negara, Pencegahan Korupsi, dan Inovasi. Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Inisiator Asah Kebijakan Indonesia. Peraih Talenta Riset dan Inovasi BRIN Tahun 2024.
25 November 2024 8:46 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nicholas Martua Siagian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi KPK. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPK. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Berbicara soal keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejauh ini masih menjadi isu yang sangat hangat dibicarakan masyarakat, mulai dari kalangan anak sekolah hingga orang dewasa.
ADVERTISEMENT
Sejak berdirinya KPK yang begitu eksis di televisi saat itu, aksinya yang memperlihatkan penangkapan koruptor membuat masyarakat mengenal istilah koruptor, korupsi, KPK, Tahanan KPK, hingga rompi oranye.
Begitu garangnya KPK pada saat itu sebenarnya adalah langkah yang edukatif bagi masyarakat hingga penyelenggara negara, selain memberikan edukasi tentang tindak pidana korupsi, juga memberikan kesadaran akan bahaya korupsi, serta rasa takut untuk melakukan korupsi. Langkah ini juga menjadi perbaikan secara sistem bahwa negara hadir melalui penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Garangnya KPK membasmi koruptor pada saat itu, tak jarang membuat penyelenggara negara mulai dari tingkat desa hingga pusat takut jika berhubungan dengan KPK, bahkan dalam hal koordinasi dan kerja sama sekalipun seringkali membuat para penyelenggara negara takut jika KPK datang.
ADVERTISEMENT
Tidak mungkin KPK pada saat itu bisa ‘garang’ tanpa adanya dukungan kewenangan melalui undang-undang, bukan?  Artinya bahwa ada jaminan secara hukum. Adanya independensi lembaga yang dijamin melalui undang-undang. Kenyataan ini sebenarnya menunjukkan bahwa suatu lembaga negara akan berfungsi dengan baik, apabila marwah dan eksistensi lembaga tersebut dijaga.
Baik buruknya suatu lembaga negara sangat tergantung bagaimana pemerintah dan DPR memperlakukan lembaga tersebut melalui regulasi yang dibuat. Semakin diberikan kewenangan yang kuat melalui undang-undang, maka semakin tercapai tujuan dari lembaga tersebut dibentuk. Sebaliknya, semakin kewenangannya dilucuti, maka semakin tumpul kemampuannya.
Keberadaan KPK saat ini yang merupakan hasil revisi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 bukanlah sebuah proses instan yang datang begitu saja. Mulai dari perdebatan panjang revisi UU KPK, demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa, hingga tragedi Tes Wawasan Kebangsaan yang menghantarkan pemecatan pegawai KPK.
ADVERTISEMENT
Belum lagi kontroversi Eks Ketua KPK, Firli Bahuri yang telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 22 November 2023, artinya hampir setahun tak kunjung tuntas. Pimpinan yang seharusnya menjadi contoh, namun menjadi preseden buruk bagi SDM dan kelembagaan KPK. Tidak hanya itu, taring KPK dalam melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) kian menciut.
Masyarakat rindu melihat aksi KPK menangkap para koruptor, turun ke daerah tiba-tiba untuk menangkap mereka yang tidak setia pada sumpah jabatan dan mencuri kekayaan negara ini.Dari beberapa kasus OTT yang dilakukan oleh KPK, tidak sedikit di antara para koruptor mengajukan praperadilan.
Mulai dari Praperadilan Kasus Sahbirin Noor atau yang dikenal Paman Birin, Praperadilan Kasus Budi Gunawan, Praperadilan Kasus Ilham Arief Sirajuddin, Praperadilan Kasus Marthen Dira Tome, Praperadilan Hadi Poernomo, Praperadilan Kasus Taufiqurahmanm  Eks Bupati Nganjuk, Praperadian Kasus Eddy Hiariej, dan lain sebagainya.Dalam Praperadilan tersebut tidak sedikit koruptor bisa menang melawan KPK.
ADVERTISEMENT
Tentu, ini sebenarnya menjadi pertanyaan kepada KPK, mengapa KPK bisa kalah melawan koruptor? Apakah penangkapan yang dilakukan tidak berdasarkan alat bukti dan pemeriksaan? Atau apakah, KPK terlalu tergesa-gesa sehingga menetapkan tersangka yang seharusnya tidak menjadi tersangka? Kalau memang demikian, maka KPK lebih baik mengurangi kuantitas OTT ketimbang melakukan OTT namun kalah pada Praperadilan. 
Tentu, hal seperti ini mengakibatkan kebingungan masyarakat awam. Yang ada di pikiran awam adalah bahwa koruptor yang ditangkap KPK sudah seharusnya diadili seadil-adilnya. Sesederhana itu masyarakat melihat pemberantasan korupsi, artinya KPK seharusnya bisa profesional menjalankan tugasnya sehingga pemberantasan korupsi yang dilakukan optimal.
Belum lagi dengan ditemukannya uang sekitar Rp920 miliar di Rumah Eks Pejabat Mahkamah Agung hasil makelar kasus, termasuk penangkapan beberapa hakim yang menerima, semakin membuat masyarakat berpikir lebih liar dan tanda tanya.Sebenarnya, siapa yang bisa dipercaya?
ADVERTISEMENT
Rasanya, masyarakat dianggap sebatas ‘penonton bayaran’ dalam tragedi-tragedi ini. Ya, penonton bayaran yang dimaksud, karena rakyat pada dasarnya membayar pajak menjadi APBN untuk membiayai negara ini melakukan pemberantasan korupsi dan penegakan hukum.
Dengan banyaknya kontroversi ulah oknum di Mahkamah Agung, tentu jadi pertanyaan yang tidak bisa dijawab, apakah menangnya Praperadilan para koruptor murni kesalahan KPK, atau malah ada ‘permainan’ di baliknya? Tentu menjadi spekulasi di benak masyarakat,  mengingat banyaknya kasus suap hakim yang terjadi di Mahkamah Agung. Ini masih segelintir yang terjadi dan viral menjadi perhatian masyarakat, masih banyak kasus yang tidak terangkat, bahkan hanya sebatas ‘dilihat dan dibiarkan’.
Kegagahan KPK harus dikembalikan sebagaimana mestinya. KPK adalah lembaga penegakan hukum, bukan lembaga pendidikan yang hanya menunjukkan eksistensinya pada pendidikan antikorupsi. Kalau memang maunya seperti ini, lebih baik KPK dialihfungsikan menjadi Kementerian Pemberantasan Korupsi, tidak perlu menjadi Komisi yang bersifat independen.
ADVERTISEMENT
Bagaimana mungkin Indonesia bebas korupsi, kalau senjata OTT KPK kian menciut. Justru semakin banyak OTT yang dilakukan KPK, semakin negara berhasil membasmi hama pembangunan/koruptor. Barulah edukasi antikorupsi akan berjalan karena mulai timbul efek jera serta rasa takut untuk melakukan korupsi.
Oleh karena itu, perlu memastikan bahwa KPK benar-benar memiliki independensi dan kekuatan untuk menindaklanjuti kasus-kasus korupsi tanpa terpengaruh tekanan politik. Tanpa independensi ini, justru pemberantasan korupsi bisa terhambat.
Bulan depan akan diperingati Hari Anti korupsi Sedunia pada 9 Desember 2024. Tentu, harapannya KPK harus kembali menjadi lembaga penegakan hukum sebagaimana mestinya, bukan sekadar lembaga pendidikan antikorupsi.
Memang pendidikan antikorupsi adalah cara jangka panjang merawat integritas dan moral bangsa ini, namun membiarkan koruptor bebas berkeliaran yang ada saat ini adalah cara mengakibatkan kerusakan yang fatal dan terhambatnya pembangunan jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup dari penulis: