Konten dari Pengguna

Krisis Pengangguran Terdidik: Apakah ASN Jadi Jalan Pintas?

Nicholas Martua Siagian
Reformasi Birokrasi, Perbaikan Sistem, Keuangan Negara, Pencegahan Korupsi, dan Inovasi. Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Inisiator Asah Kebijakan Indonesia. Peraih Talenta Riset dan Inovasi BRIN Tahun 2024.
23 Desember 2024 13:12 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nicholas Martua Siagian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pelaksanaan CPNS. Sumber: https://fahum.umsu.ac.id/blog/dimulai-hingga-1-oktober-berikut-cara-penarikan-data-final-skd-cpns/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pelaksanaan CPNS. Sumber: https://fahum.umsu.ac.id/blog/dimulai-hingga-1-oktober-berikut-cara-penarikan-data-final-skd-cpns/
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena ledakan jumlah pelamar Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia menjadi perhatian publik. Setiap kali pemerintah membuka lowongan PNS, jutaan pelamar dari berbagai latar belakang pendidikan berbondong-bondong untuk mendaftar. Tidak hanya sebatas lulusan baru atau ‘fresh graduate’ yang mengincar formasi ini, bahkan yang hampir menyentuh batasan umur tertinggi juga masih tetap mencoba keberuntungan menjadi ASN.
ADVERTISEMENT
Kita harus akui bahwa stigma menjadi ASN masih dianggap memberikan rasa aman secara finansial. Tidak sedikit orangtua yang menyuruh anaknya mendaftar ASN karena menjadi seorang aparatur negara dianggap dapat meningkatkan citra positif dari keluarga. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri ASN hingga saat ini tidak lepas dari stigma positif maupun negatif. Mulai dari ‘menantu idaman’, ‘kesayangan mertua’, ‘kerja ga kerja tetap digaji’, ‘pemalas’, ‘tidak berkembang’ dan lain sebagainya.
Menjadi ASN sebenarnya bukanlah hal yang buruk, justru baik jika memang benar-benar ingin mengabdi untuk negara, melayani masyarakat, serta menuangkan kompetensi dan keilmuan yang dimiliki untuk kemajuan bangsa. Yang menjadi masalah adalah jika motivasi ASN hanyalah sekadar mengamankan diri dibiayai negara, tidak punya kompetensi, tidak benar-benar memberikan pelayanan sepenuh hati. Tentu motivasi yang buruk seperti inilah yang sebenarnya semakin merusak kondisi birokrasi di Indonesia yang berimbang kepada meningkatkan permasalahan sosial.
ADVERTISEMENT
Di tengah semakin kompetitifnya persaingan kerja, minimnya lapangan kerja, hingga fenomena Pemutusah Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran di Indonesia, menjadi ASN akhirnya menjadi sasaran pelamar kerja, mulai dari lulusan SMA, lulusan baru perguruan tinggi, karyawan swasta, pegawai tidak tetap, dan lain sebagainya. Hal tersebut terbukti dari data yang dirilis oleh BKN terkait pelamar CPNS Tahun 2024 dimana total pelamar sebanyak 3.963.832 orang dan yang memenuhi syarat sebanyak 2.855.597 orang, dengan formasi CPNS yang tersedia sebanyak 250.407 formasi. Memang jumlah pelamar tahun 2024 lebih sedikit dibanding lima tahun yang lalu yaitu 2019, formasi yang tersedia pada tahun 2024 jauh lebih banyak. Jumlah ini belum termasuk pelamar Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang juga dibuka pada tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN), hingga saat ini, jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia pada Semester I-2023 adalah 3.795.302 orang, dan 487.127 orang adalah PPPK. Sehingga jumlah total Aparatur Sipil Negara  (ASN) yang ada mencapai 4.282.429 orang. Memang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia saaat ini sebanyak 277,5 juta jiwa (berdasarkan data tahun 2023), keberadaan ASN di Indonesia persentasenya adalah 1,54 persen, artinya nilai ini masih ideal jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya.
Memang secara kuantitatif angka ini masih ideal, namun secara kualiatif apakah ideal juga? Apakah jumlah ASN yang ada saat ini secara kualitatif keberadaanya benar-benar dibutuhkan atau justru mengalami ketimpangan? Di saat formasi tenaga kesehatan dan tenaga pendidikan sangat minim, beberapa formasi lainnya justru membludak. Belum lagi, eksistensi teknologi informasi yang bisa menggantikan beberapa posisi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ajib Rakhmawanto di Badan Kepegawaian Negara, membludaknya jumlah formasi ASN diantaranya disebabkan oleh tidak adanya perencanaan strategis PNS secara nasional, validitas kebutuhan PNS per instansi berdasarkan beban kerja, dan instansi pemerintah tidak memiliki standar kompetensi PNS. Manajemen PNS tidak mendesain proyeksi kebutuhan PNS yang didasarkan pada jumlah penduduk dan kondisi objektif kekuatan PNS yang ada, sehingga trend antara pertumbuhan penduduk dan PNS tidak menjadi dasar dalam pemenuhan kebutuhan PNS. 
Pemerintah tidak akan mungkin men-ASN-isasi seluruh pelamar kerja di Indonesia. Mustahil jika ingin menyelamatkan lapangan kerja di Indonesia dengan membuka formasi ASN sebesar-besarnya. Tentu akan berdampak terhadap tidak sehatnya pengelolaan anggaran negara. Dari perspektif kebijakan publik, ada batas rasional antara jumlah penduduk dan jumlah ASN yang harus dipenuhi. Artinya, saat ini pemerintah perlu mendesain kembali ketenagakerjaan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dengan berubahnya kebutuhan akan tenaga kerja akibat disrupsi teknologi, kegamangan pun melanda para pemberi kerja atau pemilik perusahaan. Hal itu terkait dengan berubahnya keterampilan yang dibutuhkan seiring dengan digitalisasi. Kesenjangan keterampilan dan ketidakmampuan mendapatkan tenaga kerja atau talenta yang sesuai menjadi hambatan dalam transformasi industri.
Belum lagi, banyak perusahaan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, mulai dari birokrasi yang berbelit hingga minimnya insentif untuk berkembang. Iklim usaha yang tidak kondusif ini mengakibatkan lambatnya pertumbuhan lapangan kerja. Pengusaha seringkali harus berhadapan dengan regulasi yang tidak konsisten, pajak yang tinggi, dan pungutan liar yang merajalela. Akibatnya, banyak perusahaan memilih untuk menekan jumlah karyawan atau bahkan gulung tikar.
Ledakan pelamar ASN serta keinginan pemerintah membuka formasi ASN sebanyak-banyaknya bukanlah solusi jangka panjang untuk krisis pengangguran terdidik di Indonesia. Fenomena ini justru mencerminkan masalah mendasar yang lebih besar, buruknya sistem dunia usaha dan ketenagakerjaan, birokrasi yang korup, dan besarnya hambatan investasi. Reformasi menyeluruh diperlukan agar Indonesia dapat menciptakan ekosistem kerja yang sehat dan berkelanjutan, sehingga generasi muda tidak hanya bergantung pada profesi ASN, tetapi juga mampu bersaing di berbagai sektor ekonomi.
ADVERTISEMENT