Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Meritokrasi di Indonesia :Ada Harapan di Tengah Dominasi Elit?
31 Juli 2024 11:47 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Nicholas Martua Siagian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang Sosiolog yang bernama Michael Young pernah menulis buku dengan judul The Rise Of Meritocracy, dalam buku tersebut Michael menyebutkan bahwa meritokrasi pada dasarnya memungkinkan individu yang memiliki keterampilan dan kemampuan terbaik untuk memimpin, sehingga organisasi dapat beroperasi dengan lebih efisien dan efektif. Michael juga menyampaikan bahwa meskipun meritokrasi tampak memberikan keadilan, kenyataanya, meritokrasi menciptakan kelas sosial baru yang berdasarkan kemampuan intelektual. Mereka yang berada di puncak hierarki meritokrasi cenderung menjadi elitis dan memandang rendah mereka yang tidak memiliki ‘merit’ yang sama.
ADVERTISEMENT
Senada dengan dengan pernyataan tersebut, Chris Hayes dalam bukunya yang berjudul Twilight of the Elites: America After Meritocracy juga menyatakan bahwa meritokrasi dapat menciptakan elit yang tidak bertanggung jawab dalam mengambil keputusan yang berdampak terhadap mayoritas masyarakat. Dia menyatakan bahwa sistem ini sering kali memfokuskan kekuasaan dan pengaruh pada segelintir orang yang dianggap ‘terbaik’, sementara mengabaikan kontribusi, inklusivitas, dan afirmasi.
Di Indonesia, meritokrasi baru dikenal sejak masuknya era reformasi birokrasi dimana prinsip-prinsip penyusunan sistem yang lebih meritokratik dalam rekrutmen dan promosi pegawai negeri sipil (PNS) mulai diberlakukan. Meski demikian, sistem feodal masih mewarnai birokrasi Indonesia, dengan kekuasaan yang terpusat di tangan segelintir elit yang mengendalikan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Feodalisme tersebut ditandai dengan naiknya orang yang tidak memiliki kompetensi dan keputusannya yang tidak berpihak kepada orang banyak sehingga mengakibatkan ketidakadilan dan ketidaksejahteraan. Jejak feodalisme yang membekas dalam birokrasi tersebut mengakibatkan semakin memudarnya tujuan dari aparatur negara dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan publik.
ADVERTISEMENT
Pendidikan sampai saat ini masih diyakini sebagai alat utama untuk mobilitas sosial. Konsep dari pelaksanaan meritokrasi adalah bahwa individu yang bekerja keras dan memiliki kemampuan akan mendapatkan kesempatan untuk bisa mencapai kesuksesan, tanpa terpengaruh oleh faktor eksternal seperti status sosial, pendidikan, ekonomi, latar belakang keluarga, dan lainnya. Padahal realita seringkali menunjukkan bahwa kesenjangan dalam akses terhadap pendidikan yang berkualitas tetap ada, yang akhirnya memengaruhi sejauh mana prinsip meritokrasi dapat terwujud.
Kesenjangan dalam pendidikan bisa terlihat dalam berbagai bentuk, mulai dari perbedaan akses ke sumber daya pendidikan, fasilitas yang tidak merata, hingga perbedaan dalam dukungan dan lingkungan belajar. Anak-anak dari keluarga dengan latar belakang ekonomi yang lebih tinggi sering memiliki akses ke sekolah berkualitas lebih baik, sementara itu, anak-anak dari latar belakang yang kurang mampu mungkin menghadapi kekurangan sumber daya, lingkungan belajar yang kurang mendukung, dan kesulitan dalam mengakses pendidikan berkualitas. Nyatanya, pendidikan pun tidak bisa menerapkan meritokratik, faktor eksternal lainnya seperti status sosial mempengaruhi pendidikan yang berkualitas hanya dapat dijangkau oleh segelintir elit. Artinya, pendidikan yang berkualitas hanya dapat dijangkau oleh beberapa orang saja, sisanya tidak terdistribusi secara merata.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, meritokrasi dalam konteks politik pun hanya dapat dicapai oleh beberapa orang saja. Hanya ada beberapa orang yang bisa sukses dalam politik dengan mengandalkan kompetensi tanpa didukung oleh faktor eksternal lainnya. Meritokrasi dalam politik Indonesia bukan tanpa tantangan, feodalisme yang masih membumi termasuk adanya praktik politik yang tidak adil dan pengaruh dari kekuatan ekonomi dan sosial yang dapat mempengaruhi proses politik yang akhirnya hanya bisa dijangkau oleh segelintir elit. Kelompok-kelompok ini sering kali mengendalikan proses pemilihan, penunjukan, dan pengambilan keputusan, sehingga kesempatan untuk individu berbakat dan kompeten dari luar kelompok elit menjadi terbatas. Dalam situasi ini, prinsip meritokrasi yang mengutamakan kemampuan dan prestasi seringkali terabaikan, bahkan meritokrasi yang dimaksud bukanlah berdasarkan kemampuan namun berdasarkan kedekatan
ADVERTISEMENT
Terbatasnya akses terhadap sumber daya menjadi alasan utama individu Indonesia pesimis untuk mencapai kesuksesan melalui meritokrasi. Nyatanya, meritokrasi tidak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan faktor eksternal seperti pendidikan, ekonomi, status sosial, dan lain sebagainya. Kesenjangan ini harus diputus dari tingginya dominasi elit yang masih mempengaruhi akses sumber daya tersebut. Harapannya, di Indonesia setiap individu harus bisa menjadi apapun, karena setiap individu mendapat jaminan hak yang sama oleh Konstitusi.