Konten dari Pengguna

Serapan Anggaran Yang Salah Kaprah

Nicholas Martua Siagian
Reformasi Birokrasi, Perbaikan Sistem, Keuangan Negara, Pencegahan Korupsi, dan Inovasi. Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif
29 November 2024 19:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nicholas Martua Siagian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perencanaan Anggaran. Foto Pribadi Penulis (Canva)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perencanaan Anggaran. Foto Pribadi Penulis (Canva)
ADVERTISEMENT
“Serapan anggaran menjadi acuan dalam pengukuran kinerja organisasi sehingga semua pegawai bekerja dengan baik karena pimpinan menandatangani target kinerja. Serapan anggaran yang 100 persen adalah kunci dalam pertumbuhan ekonomi. Jika anggarannya kurang dari 100 persen, maka anggarannya akan ‘disunat’ atau istilah balik ke kas negara.”
ADVERTISEMENT
Kalimat ini datang dari seorang pengguna media sosial X yang memberikan tanggapan tentang fenomena mengapa banyak instansi-instansi pemerintahan yang sering mengadakan rapat-rapat di hotel berbintang, bimbingan teknis (bimtek) di luar kota, perjalanan dinas dalam/luar negeri yang rutin, hingga tragedi perbaikan infrastruktur yang ‘tiba-tiba’ terjadi.
Menjelang akhir tahun, tidak sedikit pejabat pemerintahan mulai dari level daerah hingga kementerian/lembaga negara memberikan instruksi agar segera melakukan penyerapan anggaran sampai 100 persen. Memang idealnya, penyerapan anggaran melalui APBN/APBD akan memberikan domino effect bagi pertumbuhan ekonomi.
Misal sebagai contoh, jika pemerintah menargetkan perbaikan jalan, melalui belanja modal pembangunan infrastruktur akan menyerap tenaga kerja, penghasilan diperoleh oleh tenaga kerja akan dibelanjakan kembali untuk kehidupan sehari-hari masuk ke tangan UMKM, dari UMKM masuk ke tangan UMKM lainnya, berputar terus yang akhirnya menstimulus pertumbuhan ekonomi. Tidak hanya pertumbuhan ekonomi, tidak bisa dipungkiri bahwa melalui belanja pemerintah juga mempengaruhi pembangunan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Penyerapan anggaran seperti kondisi atas tentu harus berdasarkan perencanaan yang matang sehingga bisa memberikan domino effect, tidak ‘ugal-ugalan’, ‘tiba-tiba’, ‘dadakan’, ‘yang penting terserap’, ‘yang penting habis’, atau istilah lainnya yang memandang penyerapan anggaran secara kuantitatif.
Baru-baru ramai disoroti di media terkait Dinas Sosial dari Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang memberangkatkan 133 orang ke Bali dengan anggaran Rp900 juta rupiah pada pertengahan November 2024. Berdasarkan pernyataan dari Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Bogor, bahwa kegiatan ke Bali tersebut adalah bimbingan teknis dan workshop untuk relawan.
Banyak yang memberikan tanggapan bahwa kasus di atas adalah fenomena penyerapan anggaran yang biasa terjadi dalam birokrasi. Sebenarnya menjadi sebuah polemik, apa makna dari serapan anggaran?
ADVERTISEMENT
Kalau kita berkaca dari ‘stigma’ dan kenyataan birokrasi yang ada saat ini, penyerapan anggaran masih dianggap sebagai anggaran yang digelontorkan oleh pemerintah secara kuantitatif. Artinya, masih banyak pemikiran yang menganggap bahwa semakin banyak anggaran yang terserap, dijadikan tolak ukur baik atau buruknya kinerja pemerintah.
Terserapnya anggaran yang hanya sebatas kuantitatif, justru memicu tidak efisiennya penggunaan anggaran, kemungkinan penyelewengan, bahkan tujuan untuk memberikan domino effect tidak akan bisa tercapai. Hal tersebut terjadi karena pemerintah membelanjakan secara tidak tepat sasaran, tidak sesuai kebutuhan masyarakat, bahkan hanya habis digunakan oleh pegawai. Artinya, masyarakat tidak benar-benar merasakan dampak dari anggaran tersebut.
Mengadakan rapat di hotel, perjalanan dinas, bimbingan teknis, pengembangan kapasitas (capacity building) tentu tidaklah salah sebagai bagian dari belanja pegawai. Namun, publik menuntut bahwa anggaran tersebut digunakan yang orientasinya adalah untuk kepentingan publik, serta memperbaiki kualitas pelayanan publik. Sebagai contoh, aparatur yang melaksanakan pengembangan kapasitas (capacity building) terhadap operator pengaduan layanan publik selama satu minggu di hotel, hasilnya diharapkan bisa meningkatkan kualitas SDM operator, yang akhirnya semakin berkualitasnya pelayanan kepada masyarakat. Sederhananya adalah demikian jika istilah penyerapan anggaran digunakan semestinya.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi permasalahan, tidak sedikit serapan anggaran tersebut justru disalahartikan. Misalnya, mengadakan rapat koordinasi yang rutin di hotel berbintang tanpa menghasilkan output; melaksanakan perjalanan dinas ke luar kota, nyatanya dimanfaatkan untuk berlibur; melaksanakan pengembangan kapasitas (capacity building) di hotel berbintang, nyatanya digunakan membawa keluarganya menginap, tidak diikuti secara utuh dan penuh; memperbaiki jalan-jalan umum yang sebenarnya tidak mengalami kerusakan, yang justru hanya mengakomodasi kepentingan politik.
Dalam Jurnal Rechstvinding Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang berjudul, “Analisis Rendahnya Penyerapan Anggaran Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pemerintaha Daerah”, Edward James Sinaga menyampaikan bahwa persoalan tidak berkualitasnya penyerapan anggaran ini terjadi karena beberapa hal yaitu, adanya ketakutan yang berlebihan dari aparatur di berbagai institusi untuk terkait penggunaan anggaran, lemahnya perencanaan, minimnya pengetahuan pemahaman sejumlah aparatur di berbagai institusi terkait mekanisme penggunaan anggaran dan model pertanggungjawaban, hingga proses panjang birokrasi.
ADVERTISEMENT
Tidak bisa dipungkiri, birokrasi kita masih menghadapi minimnya kualitas dalam perencanaan dan penganggaran. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menyoroti bahwa perencanaan yang buruk menjadi celah terjadinya penyelewengan anggaran, artinya korupsi bahkan terjadi sejak perencanaan. Fenomena serapan anggaran di akhir tahun pada akhirnya tidak lagi beroerintasi pada kualitas, namun sekadar dibelanjakan demi menghindari pengembalian ke kas negara atau pemangkasan anggaran di tahun depan.
Dari beberapa pernyataan di atas, kesalahan pemaknaan serapan anggaran itu kembali lagi pada kualitas dari SDM aparatur pada birokrasi kita. Minimnya kapasitas dalam perencanaan anggaran akhirnya berimbas pada penggunaan anggaran yang ‘ugal-ugalan’ tanpa melihat apakah anggaran yang dikeluarkan itu menjadi belanja produktif yang berorientasi kepentingan pubik serta memberikan domino effect pada pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Perlu adanya koordinasi pemerintah pusat seperti Kementerian Keuangan, Bappenas, LKPP, KPK, BPKP, dan instansi lainnya untuk memperhatikan kualitas perencanaan anggaran pada insitusi pemerintahan termasuk melakukan pembinaan SDM aparatur di pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, sehingga bisa meningkatkan kualitas perencanaan anggaran daerah.
Keberhasilan pemerintah daerah membelanjakan anggaran tentu akan sangat berdampak pada pertumbuhan dan pembangunan lokal, serta berkontribusi pada pembangunan nasional. Sekalipun pemerintah pusat memiliki pengaruh besar, tidak bisa dipungkiri bahwa keberhasilan itu kembali kepada masing-masing pemerintah daerahnya sebagai pengelola anggaran daerah.
Mengacu pada rumus sederhana dalam Ekonomi, Y (pendapatan nasional) = C (Consumption) + G (Government) + I (Investment) + X - I (Export - Import), bahwa menuju peningkatan pendapatan nasional yang berdampak pada pertumbuhan nasional sangat dipengaruhi oleh belanja pemerintah yaitu G (Government). Tentu, belanja yang dimaksud adalah belanja yang benar-benar berkualitas sehingga memberikan domino effect. Dengan demikian, serapan anggaran harus dimaknai semestinya yaitu belanja yang berdasarkan perencanaan yang berkualitas.
ADVERTISEMENT