Toxic Masculinity, Penghancur Mental Pria

Nicholas Tandinata
Siswa SMA Citra Berkat Tangerang
Konten dari Pengguna
11 Januari 2024 9:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nicholas Tandinata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : istockphoto - takasuu
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : istockphoto - takasuu
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam kasus toxic masculinity, emosi dari pria harus dikesampingkan dan menunjukkan sikap yang memimpin, tangguh dan sikap yang kuat. Hal tersebut membuat para pria untuk menyimpan emosi atau kesedihannya dan tidak bisa menyuarakan kekesalannya. Karena stereotip ini, pria merasa tertekan untuk menyesuaikan diri mereka untuk memenuhi ekspektasi masyarakat dan dapat merusak mental dari pria. Beban yang harus dipendam untuk menunjukkan sikap yang kuat itu akan perlahan-lahan meluruh dan menghancurkan pria dari dalam hingga keluar. Selain dari itu, Fikri Ramdani (2022,232) juga menegaskan bahwa pria akan cenderungan melakukan kekerasan dan kurangnya kesadaran serta kemauan untuk meminta pertolongan kepada orang lain. Hubungan antara mental dan toxic masculinity terletak dalam stereotip tersebut sehingga para pria tidak bebas dalam berekspresi, tidak bisa membuka diri untuk meluapkan masalahnya, dan tekanan psikologis.
ADVERTISEMENT
Sumber : Pexels - RDNE Stock Project
Toxic masculinity telah menjadi sebuah stereotip yang tertanam pada benak masyarakat sampai sekarang. Masyarakat harus memahami bahwa pengaruh dari stereotip tersebut dapat merusak mental para laki-laki dan memberikan beban yang tinggi dan memperlakukan para lelaki sebagai manusia. Selain dari itu, para lelaki juga mampu bergabung dalam komunitas yang memahami kecerdasan emosional untuk memahami diri sendiri. Maka dari itu, laki-laki bisa menerima dirinya dan mulai membangun laki-laki yang sehat.