Konten dari Pengguna

Mengenal Hak-hak Otonom Dokter Dalam Hukum Kesehatan

nicolas dammen
Tenaga Ahli Anggota pada Badan Legislasi, Pengurus Pusat Asosiasi Advokat Indonesia, Advokat, Auditor Hukum, Mediator, Mahasiswa Magister Filsafat STF Driyarkara
5 November 2024 15:04 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari nicolas dammen tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dokter. Foto: PopTika/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dokter. Foto: PopTika/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Mendapat pelayanan yang baik dan pantas tentulah memberi rasa puas pada seseorang. Kepuasan konsumen lalu menjadi ukuran penilaian suatu layanan. Di era digital sekarang ini, mesin pencarian di ruang maya menyediakan kolom ulasan bagi konsumen terhadap suatu layanan jasa. Di kolom ulasan tersebut orang sesukanya bisa menulis apapun dan bisa dilihat serta dikomentari siapa saja. Dalam teori relasi kuasa Michael Foucault (1926-1984), memang kekuasaan itu bersifat majemuk dan tidak saja dari yang kuat, karena kekuasaan tumbuh dari berbagai ruang dan lapisan struktur sosial. Jadi dalam hal ini, konsumen pun punya kuasa untuk mengendorse sekaligus juga memutarbalikkan dan mengucilkan suatu layanan jasa. Maka adagium "konsumen adalah raja" bukan saja suatu ungkapan dalam dunia pemasaran melainkan juga memiliki pendasaran epistemik yaitu suatu bentuk relasi kuasa. Penelitian yang lebih detail tentang relasi kuasa konsumen misalnya ditulis Aprillia Eka Kusnawati (2021) di UIN Syarif Hidayatullah, bahwa terdapat unsur signifiant berupa kalimat yang mengandung unsur kekuasaan, biasanya seperti arahan maupun permintaan tertentu, baik yang dituliskan oleh mitra ojek online maupun dari konsumen, namun umumnya pihak mitra ojek online menuruti apa yang diminta konsumen baik yang sesuai pada aplikasi maupun pada catatan. Berdasarkan analisis kritis, mitra ojek tidak memiliki hak untuk menentang konsumen, sehingga dalam percakapan manapun konsumen selalu menjadi pihak yang memerintah, dan mitra ojek menjadi yang diperintah.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan ini lalu dibawa saat konsumen saat menjadi pasien di rumah sakit. Meskipun semula beberapa kalangan dokter bersikukuh tidak menggolongkan pasien sebagai konsumen dengan alasan etika kedokteran masih berpegang pada prinsip pengabdian dan kemanusiaan, namun seiring dengan perkembangan layanan kesehatan menjadi usaha komersial yang dikelola korporasi, bahkan saham-saham perusahaan rumah sakit banyak yang melantai di Bursa Efek Indonesia, pendapat kalangan dokter tersebut tidak dapat lagi dipertahankan. Rumusan konsumen dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dihubungkan dengan hak pasien dalam hubungan dokter dan pasien membuktikan pasien merupakan konsumen akhir dari jasa layanan kesehatan yang disediakan di rumah sakit atau klinik. Sebagai konsumen dan dihubungkan dengan relasi kuasa yang dimilikinya terkadang pasien menyamakan dirinya sebagai pelanggan ojek online atau pelanggan jasa lainnya yang dapat sesuka hati meminta pemenuhan kepuasan pelanggan ketika sedang di rumah sakit atau klinik. Bahkan uniknya, pasien terkadang sudah menyamakan definisi kesembuhan dengan kepuasan, sehingga tak jarang ada pasien yang memuntut dokter harus melakukan hal-hal diluar tata laksana medis, karena pasien merasa telah membayar biaya layanan dengan harga mahal. Nah, bolehkah seorang pasien meminta kepuasan pelanggan yang tidak ada hubungannya dengan layanan kesehatan atau indikasi medis serta diagnosa?
ADVERTISEMENT
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu mengenal terlebih dahulu mengenai profesi kedokteran, yang tentu saja berbeda dengan mitra ojek online. Sebagai suatu profesi yang dijalankan dengan kaidah-kaidah ilmiah, bukan berarti profesi dokter sepenuhnya melulu pada sains belaka, melainkan juga melibatkan pertimbangan pribadi. Namun pertimbangan pribadi yang dimaksud di sini adalah pertimbangan yang sungguh-sungguh otonom dari diri seorang dokter. Sikap otonom adalah sikap moral yang timbul dari dalam diri seseorang untuk mengambil keputusan rasional sendiri tanpa dipengaruhi oleh faktor eksternal, dalam hal ini faktor kepuasan pelanggan. Sikap otonom misalnya dapat dijumpai dalam ajaran moral Immanuel Kant (1724-1804) yang menyatakan suatu tindakan hanya dapat dinilai bermoral jika tindakan itu dimotivasi oleh rasa kewajiban dan didasarkan pada prinsip yang secara rasional dikehendaki menjadi hukum yang universal dan objektif, yang dalam pemikiran Kant disebut imperatif kategoris. Imperatif Kategoris inilah yang kemudian menjadi pendasaran ajaran Kant tentang kebebasan, jadi sikap otonom adalah sikap yang hanya dapat diwujudkan oleh seseorang yang berada dalam kondisi bebas. Kondisi bebas berarti keadaan dimana seseorang bebas menyatakan sebaliknya terhadap pilihan-pilihan yang tersedia. Maka dalam konteks medis, sepanjang dokter memiliki kewenangan klinis, ia sepenuhnya berhak menentukan dan menyarakan tindakan medis kepada pasien, begitu pula sebaliknya pasien secara otonom berhak menolak atau menyetujuinya, dengan ketentuan tidak dalam masa penanggulangan wabah pandemi atau penyakit yang diderita pasien bukan merupakan penyakit menular, yang mewajibkan pasien tunduk pada tata laksana medis tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (Undang-undang Kesehatan).
ADVERTISEMENT
Mulanya hubungan dokter dan pasien adalah hubungan vertikal satu arah dari dokter ke pasien, di mana pasien secara sukarela mendatangi dokter dan menjadi bagian dari kontrak yang mengharuskan pasien mematuhi instruksi dokter. Namun seiring dengan privatisasi dan komersialisasi sektor kesehatan, paradigma itu bergeser ke arah sejajarnya posisi dokter dengan pasien. Maka setiap tindakan medis harus dengan persetujuan pasien selaku konsumen akhir dari suatu layanan kesehatan. Terlebih saat ini metode pengobatan berkembang pesat sehingga menyediakan pilihan yang cukup beragam bagi pasien untuk memilih. Selain itu, penyebaran serta akses terhadap informasi sangat luas sebagai pertimbangan pasien dalam memilih faslitas pelayanan kesehatan, bahkan dengan iming-iming diskon.
Sejajarnya hubungan hukum pasien dengan dokter membutuhkan hak-hak otonom bagi dokter untuk menegakkan kewenangan klinis yang melekat padanya. Hak-hak itu melekat pada diri dokter selama menjalankan profesinya.
ADVERTISEMENT
1. Hak Menentukan Tindakan Medis
Menentukan jenis dan metode tindakan medis terhadap Pasien adalah sepenuhnya kewenangan dokter, selaku pihak yang diberi wewenang menjalankan praktik kedokteran sebagaimana Pasal 285 Undang-undang Kesehatan. Namun setiap tindakan medis harus terlebih dahulu mendapat persetujuan (informed consent) dari Pasien. Dalam hal pasien menolak, maka dokter selaku pihak yang memiliki cukup pengetahuan tentang penyakit yang diderita pasien harus menempuh upaya maksimal dan memadai terlebih dahulu untuk menjelaskan kepada pasien mengenai akibat yang ditimbulkan jika tidak dilakukan tindakan medis. Kegagalan dokter memberi penjelasan yang memadai kepada pasien merupakan jenis kelalaian yang dapat menjadi celah bagi pasien untuk menuntut pertanggungjawaban kepada dokter karena dokter tetap diandaikan sebagai pihak yang dipersepsikan memiliki pengetahuan memadai atau kompetensi dan kewenangan klinis untuk menyampaikannya kepada pasien.
ADVERTISEMENT
2. Hak Menolak Keinginan Pasien
Memberikan pelayanan kesehatan adalah tugas pokok dokter, namun dalam keadaan tertentu, dokter secara otonom dapat saja menghentikan pelayanan kesehatan. Penghentian pelayanan kesehatan tersebut adalah termasuk hak yang sepenuhnya otonom dari dokter. Ketentuan itu misalnya dapat dilihat pada Pasal 273 ayat (2) huruf (i) Undang-undang Kesehatan berbunyi "menolak keinginan Pasien atau pihak lain yang bertentangan dengan standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional, kode etik, atau ketentuan peraturan perundang-undangan."
3. Hak Menghentikan Pelayanan Kesehatan
Demikian halnya selama pemberian layanan kesehatan kepada pasien, dokter dapat saja sewaktu-waktu berdasarkan pertimbangan rasionalnya dapat menghentikan pelayanan kesehatan dalam hal pasien menuntut kepuasan konsumen pelanggan diluar tata laksana medis. Ketentuan tersebut misalna diatur dalam Pasal 273 ayat (2) Undang-undang Kesehatan, yang berbunyi "Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat menghentikan Pelayanan Kesehatan apabila memperoleh perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai sosial budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, termasuk tindakan kekerasan, pelecehan, dan perundungan."
ADVERTISEMENT
4. Hak Melaporkan Dugaan Tindak Pidana
Dokter juga memiliki tanggungjawab hukum untuk berpihak pada kelompok masyarakat yang termasuk dalam kelompok rentan. Kelompok rentan menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat atau disabilitas, termasuk juga pekerja rumah tangga yang umumnya perempuan. Bilamana dalam pelayanan kesehatan, doker menemukan adanya kemungkinan penyebab trauma adalah misalnya pemukulan, bukan karena jatuh atau pasien merupakan korban penyandraan. Maka dokter berhak melaporkan hasil pemeriksaannya kepada aparat penegak hukum.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 302 ayat (1) Undang-undang Kesehatan, yang berbunyi "Dalam hal Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang mengetahui atau patut menduga adanya tindak pidana pada Pasien yang diberi Pelayanan Kesehatan, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan berhak melaporkannya kepada aparat penegak hukum."
ADVERTISEMENT
Namun perlu disadarai, melaporkan dugaan tindak pidana adalah bukan kewajiban dokter, melainkan hak yang sepenuhnya masuk wilayah pertimbangan otonom dari seorang dokter.
Bolehkah dokter menolak Pasien?
Betapapun komersianya layanan kesehatan tersebut akibat sistem ekonomi pasar yang tidak dapat dihindari, layanan kesehatan sejatinya tetaplah layanan kemanusiaan dan merupakan misi negara dalam pembukaan UUD 1945 serta termasuk hak asasi manusia yang pemenuhannya menjadi tugas negara yang dijalankan oleh dokter melalui pemberian izin praktik. Maka hak-hak otonom dokter yang dijamin dalam undang-undang tidaklah dimaksudkan untuk menjadi pembenaran bagi dokter menolak pasien karena berpotensi melanggar hak asasi manusia. Hak otonom dokter tersebut hanya digunakan untuk menolak keinginan pasien di luar tata laksana medis dan menghentikan layanan medis apabila pasien melakukan perbuatan melanggar hukum selama mendapat layanan medis. Jadi bukan pasiennya yang ditolak melainkan keinginannya, bukan manusianya melainkan sifat pasien yang menuntut kepuasan konsumen di luar tata laksana medis yang dapat ditolak oleh dokter.
ADVERTISEMENT
Layanan kesehatan merupakan layanan publik sebagaimana diatur di dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Meskipun layanan kesehatan dilaksanakan di rumah sakit atau klinik swasta, layanan tersebut tetaplah suatu layanan publik karena lingkup layanan publik adalah meliputi layanan kesehatan dan jaminan sosial. Pelayanan publik seyogianya dilaksanakan secara profesional dan tidak diskriminatif. Jadi dokter tidak pernah dibolehkan menolak pasien dalam kondisi apapun. Lalu bagaimana jika penyakit pasien tidak sesuai dengan kompetensinya? Sesuai dengan Pasal 274 huruf (e) Undang-undang Kesehatan dan Pasal 14 Kode Etik Kedokteran, maka dokter wajib merujuk ke rekan sejawatnya yang sesuai kompetensinya atau ke fasilitas kesehatan lain apabila tempat praktiknya tidak menyediakan layanan yang dibutuhkan pasien. Dengan demikian, tindakan merujuk bukanlah dan seharusnya tidak digunakan sebagai siasat untuk menolak pasien.
ADVERTISEMENT