Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mengenal Hak Imunitas Dokter dalam Omnibus Law Kesehatan
29 Maret 2024 9:48 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari nicolas dammen tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap orang yang menjalankan profesinya dengan baik haruslah mendapat perlindungan hukum. Dalam rangka mendapat perlindungan hukum itu, setiap profesi lalu membentuk wadah perkumpulan dan memiliki suatu majelis kehormatan untuk memeriksa setiap pengaduan sesuai dengan standar profesi masing-masing.
ADVERTISEMENT
Memang seyogyanya yang berwenang menilai pelanggaran disiplin profesi adalah dari unsur organisasi profesi itu sendiri, meskipun tak jarang legitimasinya sering dipertanyakan karena akan ada anggapan saling melindungi sesama anggota seprofesi, namun terlepas dari hal tersebut, di situlah letak tantangan bagi setiap majelis kehormatan profesi untuk menjaga integritasnya supaya legitimasinya di masyarakat dihormati.
Salah satu profesi penting dalam kehidupan kita adalah profesi dokter, namun betapa pun pentingnya profesi tersebut tetap saja menjumpai berbagai risiko, salah satunya adalah risiko hukum. Sadar akan perlunya hak-hak tertentu dalam menghadapi proses hukum, akhirnya hukum itu sendiri memberi dokter suatu 'imunitas' di hadapan hukum, semacam kekebalan bersyarat. Kekebalan yang hanya berlaku apabila memenuhi syarat-syarat tertentu.
ADVERTISEMENT
Hadiah Imunitas dari Hakim
Dulu, sebelum berlakunya Undang-undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan atau sering dikenal dengan sebutan Omnibus Law Kesehatan, melaporkan atau menggugat dokter adalah hal yang mudah dilakukan oleh setiap pasien yang merasa dirugikan atau sekadar tidak puas saja.
Meskipun saat itu dalam Undang-undang Praktik Kedokteran dikenal suatu Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebagai lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi, namun proses di MKDKI tidak menjadi halangan bagi pasien untuk melaporkan ataupun menggugat seorang dokter yang diduga melakukan kelalaian.
Hal itu disebabkan karena memang Undang-undang Praktik Kedokteran yang berlaku saat itu membolehkannya dan juga diduga akibat kekeliruan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dalam menyusun peraturan terkait. Dugaan kekeliruan itu misalnya dalam Pasal 79 Peraturan Konsil Kedokteran No. 50 Tahun 2017 (Perkonsil 50 Tahun 2017) disebutkan bahwa putusan MKDKI tidak dapat dijadikan bukti dalam perkara pidana dan perdata, bahkan biasanya dalam setiap putusan MKDKI ditambahkan lagi frasa, "tidak dapat dijadikan bukti dalam proses peradilan tata usaha negara".
ADVERTISEMENT
Aneh dan cukup terkesan ototitatif memang, namun dapat dimengerti jika niatnya awalnya untuk melindungi profesi dokter dari berbagai potensi itikad buruk menggunakan upaya hukum untuk menuntut dokter yang justru beritikad baik.
Namun sebaliknya di situlah letak terbukanya peluang mempermasalahkan dugaan kelalaian praktik kedokteran ke berbagai institusi hukum, sebab secara otoritatif jalur penyelesaian sengketa medis oleh KKI telah ditutup rapat-rapat dalam Perkonsil 50 Tahun 2017, akhirnya pasien yang merasa dirugikan tetap mencari alternatif penyelesaian sengketa medis ke institusi penegak hukum lain dengan kesumatnya yang kian membara.
Hak imunitas dokter sebelum berlakunya Omnibus Law Kesehatan justru merupakan 'hadiah' cuma-cuma dari hakim yang mengadili sengketa medis. Dalam beberapa putusan tentang sengketa medis, majelis hakim menolak gugatan pasien dengan pertimbangan hukum bahwa belum ada putusan MKDKI yang menyatakan praktik kedokteran yang dilakukan oleh dokter ternyata menyimpang dari penerapan disiplin ilmu kedokteran.
ADVERTISEMENT
Hadiah Imunitas dokter dari hakim ini tentu tidak saja diberikan semata-mata untuk melindungi profesi dokter seperti upaya yang dilakukan oleh KKI dalam Perkonsil 50 Tahun 2017, tetapi suatu argumen timbul dari penalaran hukum seorang hakim. Penalaran hukum (legal reasoning) penerapan prinsip berpikir lurus (logika) dalam memahami prinsip, aturan, data, fakta, dan proposisi hukum.
Imunitas Diberikan oleh Omnibus Law Kesehatan
Sekarang, hak imunitas bagi dokter dan tenaga kesehatan telah dijamin dalam Omnibus Law Kesehatan, maka seorang dokter dan tenaga kesehatan dapat saja menolak hadir memberi keterangan dalam suatu proses hukum sepanjang belum ada rekomendasi dari Majelis Kehormatan.
Pasal 308 menyebutkan bahwa Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang diduga melakukan perbuatan yang melanggar hukum dalam pelaksanaan Pelayanan Kesehatan yang dapat dikenai sanksi pidana, terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304 yaitu Majelis yang menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin profesi yang dilakukan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Rekomendasi tersebut berupa rekomendasi dapat atau tidak dapat dilakukan penyidikan karena pelaksanaan praktik keprofesian yang dilakukan oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sesuai atau tidak sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
Pemberian rekomendasi tersebut diberikan paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima, di mana apabila majelis tidak memberikan rekomendasi dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka berlaku asas fiktif positif yaitu majelis dianggap telah memberikan rekomendasi untuk dapat dilakukan penyidikan atas tindak pidana atau tuntutan perdata.
Ditinjau dari sisi kepentingan tenaga medis dan tenaga kesehatan, Omnibus Law Kesehatan telah cukup memberi imunitas profesi bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan. Sementara dari sisi pasien dan aparat penegak hukum, prosedur penyidikan dan penuntutan secara pidana maupun perdata terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan yang diatur dalam Omnibus Law Kesehatan kemungkinan akan dianggap mempersulit masyarakat pencari keadilan yang merasa haknya dirugikan dalam praktik kedokteran.
ADVERTISEMENT
Namun sebagai profesi yang cukup penting dalam masyarakat, di mana selain Tuhan, pada dokter lah kita menghadap saat sakit dan pada dokter lah kita menyerahkan raga kita diperiksa, maka profesi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang dilaksanakan dengan itikad baik perlu diberi hak imunitas.
Setidaknya dengan adanya imunitas demikian pada profesi tenaga medis dan tenaga kesehatan, dilakukan suatu evaluasi yang sungguh-sungguh, sebab hasil evaluasi tersebut pada akhirnya justru akan semakin meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diterima oleh masyarakat.
Prinsip Usaha Terbaik dan Risiko Medis
Selain itu, tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis dengan dibantu oleh tenaga kesehatan adalah suatu upaya pelayanan kesehatan kepada Pasien dengan prinsip mengusahakan yang terbaik. Prinsip upaya terbaik maksudnya tindakan medis dilakukan tidak menjamin keberhasilan melainkan didasarkan pada norma, standar pelayanan, dan standar profesi serta kebutuhan kesehatan pasien. Di mana menurut hasil penelitian telah membuktikan jika norma, standar pelayanan, dan standar profesi telah diterapkan oleh tenaga medis maka hasilnya dapat memulihkan kesehatan pasien.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, MKDKI atau majelis yang memeriksa pengaduan terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan akan menggunakan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagai parameter pemeriksaan.
Sehingga dalam hal ditemukan fakta tenaga medis dan tenaga kesehatan telah mengikuti dan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional dalam melakukan tindakan medis, namun pasien tidak sembuh atau bahkan justru meninggal, maka peristiwa tersebut dianggap sebagai suatu risiko medis yang membebaskan tenaga medis dan tenaga kesehatan dari segala tanggungjawab.