Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Tiongkok sebagai Raksasa Ekonomi Dunia, Ada Roh Komunisme di Baliknya?
12 Januari 2023 8:24 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari nicolas dammen tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
What? Pada abad 21, ini apakah benar tahap pengetahuan kita masih dalam tahap teologis seperti teori tahap pengetahuan yang disampaikan Auguste Comte (1798-1857) dua abad silam?
Sejak 1992, Francis Fukuyama dalam The End of History and the Last Man, telah mengungkapkan keyakinannya bahwa kemenangan demokrasi liberal pada akhir Perang Dingin menandai tahap ideologis terakhir dalam perkembangan sejarah manusia yakni Barat telah mengalahkan komunisme. Nah, mungkin saja iya, karena faktanya Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017, penduduk yang berpendidikan tinggi hanya 8,5 persen dari total penduduk berusia 14 tahun ke atas. Itu berarti hanya 8,5 persen penduduk Indonesia yang berpotensi telah membaca teks-teks pemikir yang pemikirannya memengaruhi gerak zaman dan berpikir kritis.
ADVERTISEMENT
Jadi, wajar saja jika misalnya pada dalam sepuluh tahun terakhir, ada organisasi kemasyarakatan merazia buku-buku yang dianggap berbau komunis di Indonesia dan mencurigai investasi Tiongkok di Indonesia sebagai bagian dari penyebaran komunisme. Menghadapi gejala ini tentu saja menjadi penting untuk menjawab apakah memang benar demikian?
Berupaya untuk memberi jawaban berarti berupaya terlebih dahulu mencari akar kecurigaan itu. Hubungan diplomatik Indonesia dan Tiongkok memang pernah erat di masa Orde Lama, tetapi dibekukan pada 1967, sebab penguasa Orde Baru di Indonesia telah menuduh Tiongkok melalui Partai Komunis Tiongkok (PKT) berada di balik peristiwa G30S.
Benarkah G30S Dirancang Tiongkok dan PKT?
Poros Jakarta-Peking di masa Soekarno adalah bukti eratnya hubungan diplomatik Indonesia dan Tiongkok. Momen itu tentu saja makin mempererat hubungan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT). Banyak peneliti lalu mengaitkan kedekatan PKT dengan PKI sebagai penyebab G30S, meskipun hingga kini klaim-klaim tersebut tidak didukung bukti kuat.
ADVERTISEMENT
Klaim John Roosa dalam Pretext for Mass Murder, maupun klaim-klaim spekulasi bacaan berbahasa Inggris seperti Victor Vic dalam Anatomy of the Jakarta Coup October 1 1965, dan Jun Chang dan John Halliday dalam Mao: The Unknown Story juga tidak menghadirkan bukti kuat yang dapat dipercaya sepenuhnya mengenai peran Tiongkok yang seakan dibesar-besarkan dalam G30S.
Taomo Zhou melakukan penelitian yang kemudian diterbitkan dengan judul Tiongkok dan G30S dalam buku G30S dan Asia: Dalam Bayang-bayang Perang Dingin, berupaya mendiskusikan tuduhan keterlibatan Tiongkok dalam G30S. Sumber penelitian Zhou diperoleh dari kumpulan dokumen RRT yang ada hubungannya dengan Indonesia, terdiri dari 250 koleksi dokumen setebal hampir 2.000 halaman. Zhou menyimpulkan Ketua Mao "bukanlah arsitek dari perebutan kekuasaan". Beijing sendiri terkejut dengan terjadinya peristiwa G30S, bahkan 24 jam pertama setelah G30S, Beijing kehilangan kontak dengan kedutaannya di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, peran Barat dalam G30S, misalnya diungkap oleh jurnalis asal Amerika, Tim Weiner, dalam bukunya berjudul Legacy of Ashes: The History of the CIA. Duta Besar Amerika Serikat, Marshall Green mengungkapkan telah bertemu dengan Adam Malik sebagaimana diungkapnya sebagai "in a clandestine setting" dan mendapatkan apa yang disebutnya "a very clear idea of what Suharto thought and what Malik thought and what they were proposing to do, to rid Indonesia of communism through the new political movement they led, the Kap-Gestapu." Kelak di hadapan Senator J. William Fulbright, ketika ditanyai mengenai keterlibatan Amerika Serikat, Ia menyangkal dengan gaya metafora, "We didn't create the waves, we only rode the waves ashore."
Hasil penelitian tentang keterlibatan RRT dan Barat atas G30S, justru sebaliknya menunjukkan peran dominan Barat. Sementara keterlibatan RRT baru sebatas upaya menjaga dan meningkatkan hegemoni kawasan.
ADVERTISEMENT
Hal itu misalnya dapat dilihat, saat Aidit mewakili PKI dalam pertemuan dengan para pemimpin komunis Vietnam, Laos dan Indonesia di Conghua, Guangdong, pada akhir September 1963, Perdana Menteri RRT Zhou Enlai dalam pidato pembukaannya mendeklarasikan bahwa Asia Tenggara telah menjadi wilayah kunci bagi perjuangan internasional melawan imperialisme.
Ia mengumumkan: "Misi dasar revolusi di Asia Tenggara adalah demi menentang imprealisme, feodalisme, dan kapitalisme komprador." Pidato Zhou Enlai itu secara eksplisit mengajak kamerad menjaga dan meningkatkan hegemoni komunis di kawasan untuk menghalau imprealisme Barat. Hegemoni kawasan adalah hal yang amat penting bagi kekuatan negara manapun dalam hubungan internasional.
John Mearsheimer dalam bukunya, The Tragedy of Great Power Politics, menulis tentang usaha mencapai status hegemoni kawasan. Menurutnya, semua negara akan mengejar status hegemoni kawasan untuk menuju hegemoni global yang merupakan tujuan akhir. Hal ini terjadi akibat sistem internasional yang anarkis, keinginan untuk bertahan hidup dan ketidakpastian niat negara lain.
ADVERTISEMENT
Dalam peristiwa G30S, Barat yang berhasil sebagaimana distilahkan Marshall Green sebagai "rode the waves ashore" dan memenangi hegemoni kawasan Asia Tenggara dengan pengecualian pada Vietnam berhasil mempermalukan Amerika dengan taktik perang gerilya. Hal itu ditandai dengan pembekuan hubungan diplomatik Tiongkok-Indonesia pada 30 Oktober 1967. Tahun-tahun selanjutnya menjadi hari-hari penguburan Komunisme di Indonesia.
Ribuan bahkan jutaan orang yang dituduh simpatisan PKI dibunuh, pemenjaraan tanpa proses hukum, hingga penyebaran isu-isu kebencian rasial terhadap segala hal yang berbau kiri sekalipun. Propoganda kebencian rasial itu tak putus-putusnya seperti Film G30S PKI yang menjadi tontonan wajib tiap tanggal 30 September hingga dihentikan pada 24 September 1998.
Lalu Apakah Ada Roh Komunisme dalam Investasi Tiongkok?
Mari kembali melihat Komunisme di Tiongkok saat ini. Komunisme Tiongkok sendiri telah bertansformasi dan berbeda sekali dengan corak komunisme pada Stalin dan Lenin. Yungping Chen, dalam Chinese Political Thought: Mao Tse- Tung and Liu Shao-chi, mengatakan sejak RRT didirikan pada 1949 hingga 1957 adalah era semi-sosialis dan setelahnya menjadi sosialis, agama diakui dan larangan poligami serta pernikahan anak diberlakukan. Lah, bukankan itu berarti tak ada lagi yang perlu ditakuti?
ADVERTISEMENT
Kini, tak sedikit kalangan yang berpendapat bahwa Tiongkok sudah meninggalkan ideologi Marxisme-Leninisme sejak reformasi dan keterbukaan era Deng Xiaoping sejak 1978. Tak ada lagi pertentangan kelas dan PKT tampaknya telah berpaling kepada nasionalisme sebagai pengganti Marxisme-Leninisme.
Meskipun demikian, secara internal tampaknya setiap kebijakan yang diambil pemimpin Tiongkok selalu dicari pendasaran ideologisnya ke Komunisme, tetapi secara eksternal, seperti diungkapkan Klaus H. Radito dalam artikelnya yang diterbitkan di Majalah Basis No. 11-12 tahun ke-70, 2021, Nihao China: Apakah Kau Masih (Komunis) Seperti Dulu? bahwa Beijing tidak tertarik untuk memengaruhi negara lain untuk menjadi sosialis atau komunis.
Bagi Tiongkok mengurusi sistem politik negara lain adalah pekerjaan yang tidak worthed lagi. Komunisme adalah barang usang, atau seperti kata Franz Magnis-Suseno yang mengatakan bahwa komunisme akhirnya ambruk bak rumah yang dimakan rayap. Teori ilmiah Marxisme tinggalah sebuah mitos yang perlahan-lahan menguap hilang.
ADVERTISEMENT
Sekarang, Tiongkok telah menjelma menjadi kekuatan raksasa ekonomi dunia. Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperkirakan PDB riil Tiongkok adalah 2 kali lipat dari Amerika Serikat diperkirakan menyentuh angka 0,0% di tahun 2023. Ekonomi Tiongkok diprediksi akan rebound sehingga akan tumbuh sebesar 4,6% di tahun 2023, sedangkan Ekonomi Amerika akan melambat dan dibayangi inflasi.
Ini membuktikan superioritas ekonomi Tiongkok. Bagi Indonesia , tetap bersama Tiongkok dalam China’s Belt and Road Initiative (CBRI) adalah pilihan terbaik. CBRI memberikan pinjaman-pinjaman yang memungkinkan Indonesia mewujudkan pemerintahan Jokowi mengentaskan program pembangunan infrastruktur di sisa periode pemerintahaannya.
Apalagi skema pinjaman yang diberikan Tiongkok tidak seperti isu debt trap yang disebar media Barat karena faktanya pinjaman tersebut diberikan tanpa jaminan. Lalu, yang lebih menguntungkan lagi, RRT memberikan pinjaman tanpa embel-embel politik seperti pinjaman Amerika yang selalu disertai berbagai syarat yang ditujukan untuk mempengaruhi tatanan politik negara penerima pinjaman.
ADVERTISEMENT
Aneh memang jika Tiongkok tetap dilabeli Komunis, sebab bukankah investasi adalah kegiatan kapitalis? Maka akhirnya menjadi jelas, tak ada hantu-hantu Komunisme yang menumpang dalam investasi dari Tiongkok, karena komunisme pada dirinya sendiri saja sudah sekarat. Tiongkok membangun hegemoni kawasan bukan lagi dengan ideologi Komunis tetapi ekonomi.