Konten dari Pengguna

Salah Pungut Pajak di Restoran: PPN atau Pajak Daerah? Yuk, Pahami Perbedaannya!

Nicky nurul huda
Mahasiswa DIV - Manajemen Keuangan Negara PKN STAN
10 Februari 2025 12:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nicky nurul huda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini, media sosial dihebohkan oleh salah satu restoran yang mencantumkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% dalam tagihan pembayarannya. Kejadian ini memicu kebingungan dan kekhawatiran di kalangan konsumen, yang mulai mempertanyakan apakah mereka harus membayar lebih untuk menikmati hidangan favorit mereka. Terlebih lagi, penerapan PPN 12% belum jelas, dan ada isu bahwa pajak ini hanya dikenakan untuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Lantas, apakah restoran memang juga dikenakan PPN? Dan apakah tarifnya 12%?
ADVERTISEMENT
Dilansir dari situs resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), PPN dikenakan atas beberapa jenis transaksi, termasuk penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha, impor Barang Kena Pajak, serta penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha. Selain itu, pajak ini juga berlaku untuk pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. PPN juga dikenakan pada ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak.
Sementara itu, Pasal 4A ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menyatakan bahwa jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai tertentu merupakan bagian dari kelompok barang yang mencakup hasil pertambangan atau pengeboran yang diperoleh langsung dari sumbernya; kebutuhan pokok yang esensial bagi masyarakat; makanan dan minuman yang disediakan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, baik untuk dikonsumsi di tempat maupun dibawa pulang, termasuk yang disediakan oleh usaha jasa boga atau katering; serta uang, emas batangan, dan surat berharga. Dari aturan tersebut, sudah sangat jelas bahwa restoran merupakan jenis usaha yang tidak dikenakan PPN. Lantas, apakah selama ini pengenaan pajak di restoran salah? Atau restoran terkena pajak yang lain?
ADVERTISEMENT
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki kewenangan untuk mengelola pajak yang bersumber dari pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Materai. Sementara itu, pajak daerah terdiri dari berbagai jenis, yang terbagi menjadi pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota. Pajak provinsi sendiri terbagi menjadi lima, yaitu Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Rokok, dan Pajak Air Permukaan. Sedangkan pajak kabupaten/kota terdiri dari Pajak Hotel, Pajak Hiburan, Pajak Restoran, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Parkir, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
ADVERTISEMENT
Pajak restoran termasuk dalam pajak daerah, yang berarti restoran tidak dikenakan PPN, terlebih sebesar 12%. Namun, restoran dikenakan pajak sebesar maksimal 10%, sebagaimana diatur dalam Pasal 39, 40, dan 41 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh restoran. Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10% dan tarif tersebut ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Besaran pokok Pajak Restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39. Pajak Restoran yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat restoran berlokasi.
Oleh karena itu, jangan sampai kejadian pengenaan PPN, apalagi sampai 12% oleh restoran, terulang kembali. Terlebih pada masa transisi PPN 12%, dikhawatirkan akan menjadi ladang "aji mumpung" bagi beberapa pihak. Apabila kejadian ini berulang, jangan ragu untuk segera melaporkan restoran terkait kepada pihak yang memiliki otoritas, yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Sumber : Penulis