Jejak Hujan di Negeri Bauhinia

Nicma Faneri
Just an ordinary woman and her dreams.
Konten dari Pengguna
17 Mei 2018 16:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nicma Faneri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hujan menjadi saksi perjalanan hidup ini, hujan juga menyimpan beribu kenangan. Aku mengamati sang hujan yang turun begitu lebat. Airnya bercucuran dari balik jendela yang ada di sampingku, seakan sang hujan menyampaikan sebuah surat rindu untukku.
ADVERTISEMENT
Dari mereka, ayah, ibu, dan keluarga tercinta.
Ilustrasi hujan (Foto: Pixabay)
Aku melihat jam yang ada di laptop sudah pukul lima sore. Hujan pun mulai mereda.
Dan aku masih belum menyelesaikan tugas kuliah. Tak berselang lama sahabatku Anna datang menghampiri. “Assalamuaikum, Dik?” sapanya sembari melontarkan senyuman padaku.
“Waalaikumsalam. Eh, Mbak Anna?” sapaku kembali.
“Ngerjain tugas ya, Dik?” tanyanya sembari meraih kursi lalu duduk di depan komputer yang ada di sampingku.
“Iya, Mbak. Ini sudah selesai,” jawabku sembari tersenyum renyah.
“Jadi ikut lomba menulis cerpen tidak?” tanyanya.
“Insyaallah ikut, Mbak Anna, tapi tulisanku berantakan,” jawabku sembari membuka folder di laptopku.
“Semua kan butuh proses belajar, Dik. Jangan menyerah!” ujarnya.
ADVERTISEMENT
“Terkadang ada rasa menyerah, Mbak. Tapi seketika itu aku segera bangkit semangat lagi,” balasku.
“Tidak semua buruh migran Indonesia bisa melakukan hal-hal yang hebat dan positif. Kamu harus bersyukur dengan apa yang telah Allah SWT berikan padamu. Kamu masih diberi kesehatan, masih bisa berkerja dengan baik di rumah majikan, pun di sela-sela kesibukan kerja, kamu ada kesempatan belajar mengasah penamu, melanjutkan pendidikanmu, berorganisasi, dan masih banyak kegiatan lainya yang kamu tekuni. Jangan pernah lupa untuk mensyukuri apa yang ada, Dik,” jelasnya sembari menepuk pundakku.
Setelah lama berbagi cerita dengan Mbak Anna, berhubung dia masih satu jam lagi di perpustakaan, aku keluar terlebih dahulu. Dan kami akan bertemu lagi di jam yang seperi biasa. Berkumpul di taman baca FLP Hong Kong. Tentu saja di bawah semilir pepohonan.
ADVERTISEMENT
Kurang lebih satu tahun aku mengenal sosok wanita berhijab biru, berwajah teduh seperti Mbak Anna. Dia mengajarkan aku banyak hal di tanah perantauan ini. Mbak Anna layaknya kakak kandungku sendiri, membimbing dan menjadi figur yang baik untukku pribadi.
Aku berjalan pelan menuju pintu keluar perpustakaan besar Library Hong Kong, menyusuri jalan yang ada di Victoria Park. Melihat aktivitas teman-teman BMI yang lain di sela-sela hari liburnya.
Bermacam-macam komunitas dan organisasi di sini. Hanya saja dipenuhi perbedaan di balik kebahagiaan mereka. Diibaratkan dua jembatan. Masing-masing punya dekorasi tersendiri. Jembatan kanan adalah mereka yang baik dan jembatan kiri di isi oleh mereka yang memilih lupa kepada kodratnya sendiri. Hal itu tidaklah asing di kalangan kami Tenaga Kerja Wanita di Negara maju seperti Hong Kong.
ADVERTISEMENT
***
Masih tercium aroma khas dari sang hujan yang baru saja terhenti. Aku jadi teringat kampung halaman. Bibirku tersenyum tipis lalu kedua mata berkaca-kaca. “Memang hidup di perantauan sebuah perjuangan yang besar untuk mencapai sukses.” Bisikku di hati setelah kedua mataku mengamati setiap aktifitas kawan-kawan seperjuanganku itu.
Kulirik jam yang ada di pergelangan tangan. Waktu masih pukul satu siang, namun langit seperti malam hari. Kala aku akan menyebrang di jalan yang ada di pojok Victoria Park, tiba-tiba tanganku ditarik oleh seseorang. “Nina? Gimana kabarnya?” tanyanya sembari memelukku erat.
Aku terpelongo sembari mengingat-ingat siapakah wanita tomboi ini?
“Kamu Jeni, kan? Temanku satu penampungan dulu?” tanyaku heran.
“Joe. Panggil namaku Joe. Geli saja sekarang kalau ada yang manggil aku Jeni,” ujarnya. Dia meninggikan alis dengan bibir dimonyongkan ke depan. Aku memgkerutkan dahi.
ADVERTISEMENT
“Sorry, aku hampir tidak mengenalimu Jen. Ng..., maksutku- Joe,” balasku agak canggung mengucapkan nama barunya itu. “Dulu waktu kamu di penampungan rambut kamu panjang dan hitam lebat. Saat ini, penampilanmu sudah berubah pakai atribut laki-laki, rambutmu warna-warni. Lalu, di tangan kananmu rokok dan di tangan kirimu sebotol minuman,” kataku panjang lebar.
“Haduh, satai saja kali, Nin. Bukan zamannya lagi jadi orang cupu. Gak gaul tahu!” serunya sembari menepuk pundakku.
Tak berselang lama. Hujan deras kembali mengguyur bumi. Aku dan Joe berlari mencari tempat berteduh. Kami duduk berdua sambil meminum teh hangat yang baru saja kami beli.
“Dulu sama sekarang itu sudah beda, Nin,” katanya pelan sembari mengisap rokoknya.
ADVERTISEMENT
“Mau?” katanya lagi, menawarkan rokok padaku.
“Tidak. Terima kasih.”
“Hahaha. Rupanya dirimu sudah berubah, Nin,” balasnya sembari tertawa lebar.
“Semua orang pasti akan berubah, Kawan. Dengan kesadarannya sendiri!” sahutku.
“Bagus kalau begitu.”
“Aku harus pergi sekarang,” kataku sembari melangkah membelah hujan.
“Dirimu di sini kan masih butuh banyak tenaga. Jaga kesehatan. Ambil ini!” katanya, langkahnya berjalan menyamaiku kemudian memberikan payungnya padaku.
“Balikin!” katanya lagi sambil berlari mendahuluiku.
“Hei, semprul. Gimana mengembalikannya?”
“Pikir besok!” teriaknya dari kejauhan.
Jeni? Dia teman baikku di penampungan dulu. Tiga tahun yang lalu kami sangatlah akrab. Kami berteman seakan tak terpisahkan oleh masa dan waktu. Ketika pergaulan mengubah segalanya, saat itu pula aku dan Jeni putus kontak. Kami sibuk di jalan masing-masing. Ya, baru hari ini aku bertemu dengannya setelah sekian lama.
ADVERTISEMENT
Hidup di tanah rantau itu memang tidak mudah. Tidak seindah opini tetangga. kita harus melalui ujian-cobaan dan proses panjang menuju sukses. Dan kunci sukses di tanah rantau. Mencintai diri sendiri akan menjadi lebih penting, terus ingat keluarga, jangan lupa menabung dan berkumpul dengan orang-orang yang memberi manfaat.