Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Jejak Kisah Pendatang Baru Di Negeri Bauhinia
19 Mei 2018 19:21 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
Tulisan dari Nicma Faneri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masih ku ingat, kala itu akhir tahun 2013 silam. Sebagai seorang pendatang baru Di Negeri Beton Hong Kong, kali pertama aku turun dari City Bus. Mata yang terlanjang ini terpesona-kagum akan keindahan bangunan gedung-gedung menjulang tinggi di Central. Ya. seperti itulah, cah ndeso keluar Negeri!
ADVERTISEMENT
Dulu itu, pertama kalinya aku menginjakkan kaki di bumi beton ini, usiaku masih tergolong sangat muda, orang bilang, usia muda gampang terbawa pergaulan. Sebelum aku berangkat pun banyak teman-teman di penampungan yang mewanti-wanti: "Ingatlah ini, Mila. Sekali salah jalan di Hong Kong, kau akan hancur.!"
Aku berjalan mengikuti perwakilan ajensi yang menjemputku di bandara, sambil menenteng satu tas ransel berwarna merah-kuning dan tampak terukir nama PJTKI yang menampungku di Indonesia.
"Berat nggak nduk?"tanyanya. Dia bernama Mbak Nuris. Orangnya gemuk dan baik. Aku sudah mengenalnya, Mbak Nuris pernah datang ke penampungan kala itu dan kami sempat berbincang-bincang.
"Tidak Mbak." Jawabku mantab. Walau sebenarnya tas ransel ku ini berat. Seberat kenanganku bersama rekan-rekan seperjuang di PJTKI.
ADVERTISEMENT
"Nanti kamu medical, setelah itu ke kantor ya." Kata Mbak Nuris.
"Siap, Mbak." Lanjutku. Sepanjang perjalanan, aku terus bertanya pada Mbak Nuris, ia pun dengan senang hati menjawab dan sesekali menjelaskan. Walau aku tahu Mbak Nuris sudah bosan.
"Mbak, aku nggak bisa bahasa kantonis." Kataku pelan.
"Masih banyak kok mereka yang baru datang dan tidak paham bahasa inggris pun bahasa kantonis. Namun, semangat mereka luar biasa akhirnya juga sukses. Kamu harus bersyukur, Mil. Kamu punya modal, bisa berbahasa inggris. Ada loh anak kemaren baru datang dari PT, nggak bisa ngomong apa-apa. Untung aja majikannya itu baik."kata Mbak Nuris menenangkan.
Aku menghela napas panjang. Menyakinkan diriku bahwa aku bisa.!
ADVERTISEMENT
***
Satu minggu aku di building house ajensi. Disana aku di training dulu sebelum tiba waktunya majikan menjemput.
Seminggu pun beralalu. Aku menunggu majikan menjemput. Pertama bertemu nyonya, aku memberi salam padanya sembari tersenyum ramah. Nyonya mengamatiku, wajahnya cantik, tapi tampak judes.
Sepanjang perjalanan tak ada yang membuka suara. Sampai pada saat kami duduk di bis, nyonya bertanya padaku dengan logat bahasa kantonis, tapi aku nggak mengerti, wajahku mungkin sudah kayak sapi ompong. "Can we speak engglish, Ma'am,?"tanyaku. Nyonya menggelengkan kepala.
Aku mulai pusing berat.
***
Aku dan nyonya turun di halte bis yang ada di kota Hung Hom. Kami berjalan menyeberangi dua jalan raya.
ADVERTISEMENT
Dulu, aku sempat berpikir bahwa datang ke Negeri Beton ini seperti mimpi saja, nyatanya-memang nyata.
Pertama datang, aku sangat bodoh. Nggak bisa pergi kemana-mana. Tidak tahu Nama makanan, budaya, bahasa, tradisi, pergaulan dan semua hal masih sangat asing di mataku.
Di fase itu, aku mengenalnya dengan fase: perjuangan berdarah.
Ngeri!
Namun di sisi itu, saat angin berembus pelan dan membuat kedua mataku terpejam. Aku merasa ada ribuan mimpi yang menyentuh jiwaku. Aku bisa merasakan bahwa di Negara inilah aku akan belajar banyak hal. Belajar berbahasa kantonis, belajar praktek memasak masakan khas Hong Kong, memahami budayanya, belajar memaknai persahabatan sesama buruh migran, belajar memberi manfaat kepada orang lain,
ADVERTISEMENT
Dan mungkin, juga belajar memahami dia yang bernama cinta.
(Credit Foto By: Google Pic)