Kisah yang Menembus Latar Belakang Identitas

Daniel Simanullang
Pandit abal2 Sepak Bola , Tarot Reader, Madridista, Pemain DOTA 2 role Support :),
Konten dari Pengguna
18 Oktober 2017 17:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daniel Simanullang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kisah yang Menembus Latar Belakang Identitas
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Gambar Homerus. Saking terkenal dan luar biasanya pria buta ini lewat karyanya berupa epos Illiad dan Odyssey, semua wilayah di Ionia mengklaim bahwa daerah mereka adalah tempat lahirnya seorang Homerus. (sumber : commons.wikimedia.org)
ADVERTISEMENT
Isu-isu politik adalah salah satu hal-hal yang ditabukan dalam dunia sepak bola. Namun, tidak dapat dipungkiri jika hal itu hanya sebatas wacana. Fakta yang berkembang di lapangan terkadang sepak bola malah menjadi sebuah isntrumen politik untuk menyuarakan waham, gagasan, dan juga tuntutan. Tidak jarang sepak bola ditunggangi oleh manifestasi kelompok tertentu yang kadang berbahaya bagi kelangsungan hidup kemanusiaan.
Sepak bola dan Barcelona adalah salah satu contoh paling relevan dan hakiki kala menyampaikan pesan politik kepada dunia terlebih kepada Spanyol. Oleh Barcelona yang mewakili manifestasi masyarakat Catalan, ide-ide kemerdekaan selalu hadir dan juga makin menguatkan jika Barcelona bukan sekedar club sebagaimana filosofi yang mereka bangun.
Hal ini akan semakin menarik bila isu-isu politik tersebut kita bawa dengan keriuhan soal istilah pribumi yang marak di lini masa. Ketika membaca istilah pribumi maka saya teringat buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer seperti Bumi Manusia dengan tokoh Minke. Kemudian ada Salah Asuhan dan Robert Anak Suropati karya Abdul Muis. Masih banyak karya sastra kita yang membahas tentang aspek apa itu pribumi dan bagaimana eksistensinya.
ADVERTISEMENT
Namun, itu tidak relevan lagi diperdebatkan dan dihadirkan. Pribumi adalah sebuah istilah yang menegaskan aspek devide et impera milik pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Sudah banyak kajian kenapa dan bagaimana berbahayanya istilah itu ketika digaungkan. Apalagi sampai saat ini di Indonesia belum dan masih dalam perdebatan siapa dan sosok yang bagaimanakah yang dikatakan pribumi itu.
Paleo Javanicus kah?
Homo Wajakensis kah?
Orang Batak kah, suku Jawa kah,?
Orang yang beragama Islam kah? Atau kaum Parmalim kah?
Para CEO kah? Atau jangan-jangan para pengemudi Go-Jek kah?
Semua yang berkaitan dengan istilah pribumi itu siapa dan bagaimana masih dalam perdebatan.
Sejarah mencatat jika aspek pribumi dan non-pribumi mewarnai sepak bola di dunia. Banyak kisah-kisah ke-pribumian dan ke-non-pribumian hadir dengan cita rasa dan respon tersendiri dalam sepak bola yang beberapa layak untuk diingat namun ada juga yang diingat untuk dijadikan bahan pembelajaran. Ingatan ini akan membawa kita pada satu waham bahwa istilah pribumi adalah hal yang berbahaya jika terlalu dimunculkan di era saat ini terkhusus dalam ranah sepak bola, mengapa? Karena ketika berbicara tentang prestasi dan sepak bola, asal dan latar belakang itu tidak layak untuk diperdebatkan lagi ketika semua sudah berusaha mencetak prestasi dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam tim.
ADVERTISEMENT
Selayaknya Homeros yang buta dengan epos klasik nan masyur dan mendunia. Karena hasil karangannya yang prestisius yakni Illiad dan Odyssey, setitiap wilayah di Ionia (saat ini merupakan wilayah Turki) pada zaman keemasan peradaban Yunani Kuno mengklaim bahwa Homeros adalah warga mereka.
Berikut kisah tentang mereka yang dianggap non-pribumi menjadi pahlawan bagi negara tempat ia hidup, bekerja, dan mengabdi dengan melampaui istilah pribumi karena prestasi sepak bola.
Kisah skuad timnas Prancis pada tahun 1998 pada dasarnya sangat memiriskan. Skuad ini muncul sebagai jawaban atas gagalnya kiprah David Ginola cs ketika menuju Piala Dunia 1994. Satu hal mendasar yang diingat publik adalah kegagalan Prancis melaju ke Piala Dunia 1994 adalah kesalahan seorang David Ginola. Generasi gagal itu digantikan oleh kehadiran generasi Zidane cs yang pada saat bersamaan kekuatan politik sayap kanan ekstrem pimpinan Jean-Marie Le Pen tengah mendominasi dan jadi trend di Prancis.
ADVERTISEMENT
Skuad timnas Prancis pada Piala Dunia Prancis 1998 disusun dari berbagai ras dan latar belakang. Hal ini menjadi sasaran tembak bagi Jean-Marie Le Pen dan pendukungnya. Momentum Piala Dunia mereka pilih guna menerbitkan dan menggaungkan gaya politik mereka lewat kritikan terhadap event yang pada saat itu digelar di Prancis. Artinya jika pada saat itu mental pemain-pemian timnas Prancis jatuh maka kekuatan politik mereka akan menguat lewat isu-isu dan sentiment yang mereka hembuskan. Jean-Marie Le Pen mengatakan bahwa skuad yang ada sekarang tidak mencerminkan jati diri Prancis (tentu saja dengan standar politik dirinya). Jean-Marie Le Pen mempertanyakan bagaimana rasa nasionalisme dibebankan pada pundak skuad jika juga diisi oleh Basque ( Lizarazu), Kaledonian (Karembeu) campuran Portugal dan Spanyol (Pires), dan Afrika (Zidane, Desailly,Makalele, dan Vieira).
ADVERTISEMENT
Lilian Thuram, pemain yang moncer ketika memperkuat Parma ini adalah contoh nyata betapa merusaknya istilah pribumi jika menjadi sebuah sentimen dalam sepak bola. Dibandingkan koleganya seperti Zidane dan Desailly, Thuram memiliki episode pahit sendiri saat membela timnas Prancis. Thuram adalah pribadi yang sensitif dan rentan dengan isu-isu pribumi. Seolah berbanding terbalik dengan gaya permianannya yang lugas, tegas, dan solid sebagai pemain belakang. Thuram bukanlah sosok seperti Paolo Di Canio atau Materazzi yang gaya politik dan pandangan pribadinya dicemooh publik karena terlalu dieskpresikan, tetapi oleh yang bersangkutan ditanggapi sesuka hati oleh mereka sendiri. Ketika merambah ke isu-isu privasi yang coba ditutup oleh Thuram melalui performa dalam sepak bola, ia akan meradang dan emosional. Ini terjadi pada helatan Piala Dunia 1998. Kehadirannya bersama kolega yang kebetulan warga keturunan di timnas Prancis diselingi dengan sentimen yang berkaitan dengan asal mereka. Memang pada saat itu selain Thuram ada juga Zidane, Desailly, dan Karembeu yang nota bene bukan Prancis tulen yang diterpa isu-isu nasionalisme dalam ranah nonpribumi. Namun, hanya Thuram lah yang jadi sorotan atas hal ini karena respon yang ia berikan. Sebelum Prancis bertemu Kroasia di babak semifinal. Thuram dan kawan-kawan menjadi bahan olok-olokan mengenai latar belakangnya. Hal ini pada saat itu sangat terasa mengingat kekuatan politik sayap kanan ekstrem yang dipimpin oleh salah satu politisi kontroversial Prancis Jean-Marie Le Pen memuncak. Momen itu sangat luar biasa dan saya rasa jika Thuram membuat biografi, pertandingan melawan Kroasia pada babak semifinal kala itu akan mendapat halaman khusus.
ADVERTISEMENT
Pada babak semifinal tersebut, Thuram membawa Prancis lolos ke final dengan dua goalnya ke gawang Kroasia yang kala itu dihuni oleh striker pencuri perhatian, Suker, (kelak Prancis juara dengan dua goal yang dicetak oleh seorang Afrika dan satu orang Prancis). Selebrasinya tidak segila Marco Tardelli atau seikonik Bebeto. Thuram merayakannya dengan air mata dan tangis did epan pendukung Prancis yang pasti salah satu di antara yang hadir adalah pendukung politk Jean-Marie Le Pen. Sebuah kenangan yang membangkitkan rasa emosi luar biasa. Apa yang Thuram berikan adalah salah satu momen rontoknya isu-isu politik yang digiatkan oleh Jean-Marie Le Pen dan pendukungnya lewat sepak bola. Sebelum Jean-Marie Le Pen kalah telak oleh kanan tengah dan Jacques Chirac pada pemilu babak penentuan pada 5 Mei 2002, para warga keturunan lewat sepak bola telah memenangkan hati Prancis dengan menyandingkan Piala Dunia dan Piala Eropa. Pada babak final Piala eropa 2000 yang dihelat di Belanda dan Belgia, gol kemenangan tim Prancis dicetak oleh David Trezeguet seorang keturunan Argentina. Salah satu kisah luar biasa yang melampaui batasan-batasan istilah pribumi dalam sepak bola.
Kisah yang Menembus Latar Belakang Identitas (1)
zoom-in-whitePerbesar
Pada akhirnya aspek kebangsaan tidak harus dibatasi dan dipandang melalui latar belakang seseorang, apalagi demi mengharumkan dan memajukan bangsa sendiri di mata dunia terkhusus Indonesia. Sebab, jika sentiment dan isu-isu politik yang bersifat diskriminatif terlalu dikedepankan demi mengabdi kepada bangsa dan negara, yang terjadi ke depannya adalah sebuah kemunduran suatu bangsa. Ingat bangsa ini bukan milik dari satu agama, satu suku, atau satu kalangan. Indonesia menjadi NKRI dengan perjuangan berbagai ragam budaya, golongan, agama, dan latar belakang.
ADVERTISEMENT