Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Maradona dan teman masa kecil di Dolok Sanggul
27 November 2020 20:39 WIB
Tulisan dari Daniel Simanullang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mengeskpresikan kekaguman pada seseorang dapat berbagai bentuk, salah satunya dengan memberikan keturunannya sama seperti nama sosok yang dikagumi. Konon inilah yang dilakukan orang tua sahabat saya yang dikenal sebagai penggila sepak bola di lingkungan kami. Beliau menamakan anaknya dengan nama Maradona dan kebetulan sejak dari tahun ketahun orang tua anak ini juga termasuk die hard timnas Argentina sebutut apapun tim tersebut dalam setiap perhelatan sepak bola.
ADVERTISEMENT
Sebuah nama yang terdengar susah bila diucapkan oleh orang Batak jika memenggal susunan katanya menjadi sebuah nama panggilan. Jika dipanggil "Mara" tentu itu tidak baik karena bermakna malapetaka, bahaya, atau naas atau bala dalam bahasa Batak Toba. Orang tua mana di dunia ini yang sudi anaknya dipanggil dengan sebutan negatif macam itu. Lalu jika disebut dengan "Dona", itu sangat feminim padahal yang empunya nama adalah sosok maskulin. Namun pada akhirnya semua perdebatan itu tidak menjadi beban pikiran pada masa kecil karena kami lebih suka memanggilannya Togu, sebagai salah satu nama yang melekat pada diri anak tersebut namanya tepatnya adalah Togu Monang Maradona Purba.
Mungkin saya terlambat mengikuti kiprah Maradona sebagai mana orang tua si Togu tersebut, namun jika melihat legacy dan juga kenangan dari bapak-bapak seusia orang tua si Togu ini, dapat dikatakan bahwa Maradona ini adalah sosok idola bagi mereka yang melebih Messi yang kita kenal saat ini. Saya sendiri hanya mengenal nama Gullit dan Maradona sebagai idola kaum old seusia bapak si Togu tersebut. Pribadi saya tumbuh dengan nama-nama pemain sepak bola idola seperti Owen, Beckham, Totti, Vieri, dan tentu saja Raul.
ADVERTISEMENT
Lalu siapa itu Maradona di mata saya ketika mencoba menelisik sedikit tentang salah satu dewa sepak bola tersebut. Perawakannya kekar, dada membusung, terkesan tambun, namun juga lincah. Itulah yang saya lihat pertama kali dari sosok Diego Armando Maradona kala dunia Dalam Berita segmen olahraga meberitakan tentang diskorsnya Maradona pada perhelatan Piala Dunia 1994 karena obat terlarang. Itulah ingatan yang paling jelas yang saya miliki tentang pertama kali melihat sosok Maradona di layar kaca.
Rasa penasaran saya terhadap Maradona tidak seperti pemain-pemain idola saya pada umumnya seperti Puskas, Raul, Redondo, atau Cannavaro. Namun tidak dapat dipungkuri, dengan hanya mendengar namanya saja, secara spontan para pecinta sepak bola pasti sedikit banyak memiliki kenangan atau opini tentang salah satu anak ajaib sepak bola dunia ini. Terlepas dari hanya menyaksikan kiprahnya lewat cuplikan di Youtube atau siaran ulang berita olahraga di TVRI seperti saya dulu ketika di Dolok Sanggul. Pada umumnya publik sepak bola dunia mengatakan bahwa pria kontroversial ini sangat istimewa.
ADVERTISEMENT
Kehadirannya di panggung sepak bola dunia sudah langsung menyita perhatian. Pada Piala Dunia Junior 1979 yang dihelat di Tokyo, Jepang, El Pibe de Oro atau Golden Boy sudah menegaskan bahwa Diego adalah next big thing dalam dunia sepak bola. Pada Piala Dunia 1978 Menotti menolak membawanya sebagai bagian skuad Argentina pada Piala Dunia 1978 yang mana pada akhirnya Kempes dan kawan-kawan menjadi juara di kampung halaman sendiri. Lewat bintang-bintang seperti Ricky Villa, Ardilles, dan tentu saja Mario Kempes, racikan Menotti yang estetik menghibur publik Argentina dengan raihan trofi piala dunia perdana Tim Tango tersebut dan sedikit banyak meredam suara sumbang akan pelaksanaan piala dunia tersebut yang terkesan hanya pencitraan politik rezim Videla . Pada suatu momen, Menotti ditanyakan tentang keputusannya tidak membawa Maradona sebagai bagian skuad. Menotti mengatakan bahwa tim Argentina yang ia tangani harus bermain dengan visi yang dia miliki dan visinya adalah permainan indah kolektif yang tidak hanya mengandalkan satu pemain saja. Menotti menambahkan bahwa Maradona masih terlalu muda untuk berkompetisi di event tersebut, masih ada sosok lain yang lebih matang dan layak dan Menotti mengimbuhi bahwa tiga atau empat edisi piala dunia dapat Maradona ikuti nantinya. Menotti meyakini bahwa usia yang masih muda dan belum matang dari seorang Maradona akan memengaruhi skema permainan secara tim. Publik tentu mencibir keputusan Menotti dan suara keras pun dari dalam tim hadir seperti kecaman sang Kapten, Daniel Passarella, Menotti tidak bergeming dan pada akhirnya Maradona menjadi penonton di rumah sendiri.
ADVERTISEMENT
Momen juara Piala Dunia Junior yang saya sebutkan di atas menjadi pijakan bahwa Menotti tidak dapat mengabaikan Maradona. Pada Piala Dunia 1982 yang dilaksanakan di Spanyol kala itu, Menotti mambawa Maradona dan menjadi pemain termuda di skuad kala itu. Nama-nama skuad juara dunia pada edisi sebelumnya masih dipertahankan oleh Menotti. Ketika saya melihat skuad unggulan tim yang ada pada piala dunia yang dimenangkan oleh Italia ini, saya melabelinya sebagai Piala Dunia perang antar bintang. Tim-tim tradisional pemilik prestasi sepak bola dunia yang ambil bagian di helatan tersebut mengirimkan ace terbaiknya belum lagi tim-tim kuda hitam lainnya.
Italia yang diguncang skandal Totonero datang dengan kepercayaan diri tinggi dengan gaya permainan Cattenacio yang diracik Enzo Bearzot. Pemain seperti Paulo Rossi, Scirea, dan Zoff menjadi andalan.
ADVERTISEMENT
Peru dengan Teofillo Cubilas, Jerman Barat dengan skuad mewah yang dikomandoi oleh Karl-Heinz Rumminigge. Ada Cekoslovakia dengan andalannya Antonin Panenka. Inggris dengan Kevin Keegan. Tidak ketinggan Prancis dengan trio mautnya Platini, Tigana, dan Giresse. Spanyol tuan rumah dengan nama-nama bekan pada masanya seperti Juanito. Brasil dengan skuad emasnya yang dikomandoi oleh Socrates.
Pertandingan Piala Dunia itu begitu membekas bagi Maradona karena pada turnamen tersebut Argentina harus bertekuk lutut kepada Italia dengan permainan luar biasa dari seorang Gentile yang membuat Maradona frustasi karena permainan keras Gentile dengan strategi man marking total dengan pendekatan kontak fisik. Sebagai catatan, permainan pada masa itu masih terbilang keras karena tackling dari belakang dan tackling dua kaki masih “wajar”. Italia juara dunia. Brazil juara dunia tanpa mahkota dengan skuad emas dan permainan atraktifnya. Argentina jadi pesakitan dan Menotti ditendang dari jabatannya.
ADVERTISEMENT
Empat tahun berselang pada Piala Dunia 1986 yang dilaksanakan di Mexico Argentina di bawah besutan Billardo memberi sentuhan baru bagi Maradona cs. Billardo yang dikenal sebagai bapak sepak bola pragmatis Argentina memberi plot utama pada Maradona pada strateginya. Semua harus mendukung Maradona dan melindungi Maradona, "Visi saya adalah visi Maradona." begitu penekanan Billardo. Jika sebelumnya ada Passarella yang harus menahan ego demi Menotti, kali ini Valdano meradang karena potensi menyerang yang ia miliki harus diberikan kepada Maradona dan Maradona adalah berlian yang harus mereka lindungi dari pemain-pemain lawan yang mungkin sudah mempelajari cara Gentile mematikan pergerakan Maradona.
Semua menjadi sejarah dengan tajuk Piala Dunia 1986 adalah milik Argentina dengan aktor luar biasanya Diego Armando Maradona. Bukan aksi-aksi di partai puncak yang jadi sorotan namun kegilaan yang ia hadirkan pada laga melawan Inggris akan selalu jadi salah satu babak memalukan bagi sepak bola Inggris namun catatan heroik bagi Argentina. Kisah itu akan menjadi inspirasi kala timnas Inggris bertanding melawan Timnas Argentina di kemudian hari, tentu saja kisah Perang Falkland atau Malvinas yang terlupakan.
ADVERTISEMENT
Lalu seperti rindu yang harus dibalas, pada Piala Dunia 1990 yang dihelat di Italia, Jerman Barat bertemu lagi dengan Argentina pada partai puncak. Lewat goal Andreas Brehme, Maradona dan kawan-kawan harus merelakan trofi yang mereka dapat 4 tahun lalu. Jika pada 4 tahun sebelumnya bahwa Maradona adalah pemicu rivalitas klasik Inggris vs Argentina. Maka pada helatan ini Maradona menegaskan bahwa Jerman akan selalu menjadi momok bagi Argentina di masa depan. Tangisan dan air mata Maradona, bergayung bersambut dengan ingatan publik mengenai ‘diving” Klinsmann sebagai awal malapetaka Argentina meskipun sebenarnya Rudi Voller adalah biangnya.
Maradona dengan capaian dan kemampuannya menjadi inspirasi bagi pemain sepak bola dunia sesudahnya, terkhusus di Argentina. Ketika pemain sepak bola muda dengan perawakan dan posisi mirip Maradona hadir, mereka akan dilabel next Maradona, sebut saja Ariel Ortega, Aimar, D’alesandro, Tevez, dan Messi. Yang paling mendekati tentu saja Messi (ini kisah lain ya).
ADVERTISEMENT
Kharisma Maradona di lapangan dan di luar lapangan sungguh luar biasa. Kisah sepak bolanya sangat inspiratif namun kisah hidupnya di luar sepak bola sungguh menyesakkan. Mirip seperti salah satu anutannya George Best, gaya hidup glamor, gonta-ganti pasangan wanita ,bahkan kecanduan kokain adalah hal yang melekat dari sisi lain Maradona. Tidak cukup waktu lama hal tersebut memengaruhi kiprahnya di lapangan hijau. Puncaknya adalah ketika dipulangkan dari Amerika Serikat kala gagal test doping.
Kharisma yang luar biasa, visi bermain yang menarik, dan tentu saja capain yang digapai semasa bermain membuat AFA menghunjuk dia jadi pelatih Argentina pada Piala Dunia 2010 dengan harapan mengembalikan kejayaan yang ia berikan sewaktu menjadi pemain bola kepada Messi dan kawan-kawan. Namun sayang dia harus bertekuk lutut (lagi) di tangan timnas Jerman. Kisah Jerman dan Maradona seperti sebuah babak wajib dalam hidup Maradona, empat tahun berselang dari box VVIP, Maradona menyaksikan kembali bahwa Jerman mematahkan impian Argentina untuk merengguh gelar ke tiga lewat gol Mario Gotze pada babak puncak Piala Dunia 2014. Seandainya Argentina juara, tentu saja Maradona akan menjadi bagian dari tim yang berpesta pora merayakan juara dunia di kendang rival klasik mereka.
ADVERTISEMENT
Adios Diego….