Konten dari Pengguna

Budaya Keluarga dalam Organisasi

Nicolas Hario Chrisetyawan
Saya merupakan mahasiswa aktif Program Studi S1 Manajemen, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada.
13 Desember 2023 10:05 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nicolas Hario Chrisetyawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi organisasi. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi organisasi. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2020, saya memutuskan untuk kembali memperjuangkan idealis saya untuk bisa menjadi mahasiswa di salah satu universitas ternama di Indonesia, setelah saya gagal pada ujian penerimaan mahasiswa di tahun tersebut. Berbagai upaya dan strategi saya terapkan untuk bisa lolos ujian dan menjadi mahasiswa di universitas tersebut.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, saya akhirnya lolos dan memulai perjalanan baru di sana. Berbagai hal saya persiapkan untuk menjalani kehidupan perkuliahan dengan baik, seperti belajar materi perkuliahan, membuat jadwal, dan menjalin pertemanan baru.
Kegiatan perkuliahan berjalan sebagaimana mestinya hingga akhirnya banyak pengumuman mengenai open recruitment dari berbagai organisasi maupun event yang membuat saya berpikir untuk mencoba bergabung di dalamnya. Pilihan saya jatuh kepada organisasi perkumpulan mahasiswa yang dikenal sebagai organisasi yang memiliki budaya kekeluargaan yang kental daripada beberapa organisasi lainnya.
Saya pun mendaftar dan melalui berbagai proses seleksi yang ada, mulai dari pengumpulan berkas, FGD, penugasan, dan interview. Tentu, saya sedikit gugup ketika saya menghadapi banyak orang dengan berbagai pemikiran yang luar biasa, kemampuan yang mumpuni, dan banyaknya pengalaman yang dimiliki. Saya mencoba untuk tetap percaya diri dan memberikan yang terbaik. Setelah berbagai tahap saya lalui dan menunggu waktu pengumuman, saya pun dinyatakan lolos dan menjadi salah satu staf di organisasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Selama satu tahun saya menghadapi berbagai dinamika yang terjadi. Dari setiap nilai dan budaya yang disosialisasikan, ada salah satu yang paling menonjol, yakni kekeluargaan. Saya melihat bagaimana interaksi antar anggota terjadi dan sistem pada organisasi yang dibuat selayaknya keluarga.
Perilaku antar anggota didorong untuk bisa saling akrab dan membangun kebersamaan, atau dalam hal ini istilahnya adalah bonding. Jika muncul perilaku yang tidak saling akrab, ini akan menjadi suatu masalah dalam organisasi tersebut. Begitu juga apabila anggota tidak bersikap sopan kepada pemimpinnya, penilaian negatif akan muncul.
Ilustrasi remaja. Foto: Tom Wang/Shutterstock
Selain antar anggota, ikatan juga sangat dibangun di antara anggota dengan pemimpin pada suatu divisi maupun board of director. Ikatan ini dibangun seperti bapak dan ibu di suatu keluarga. Para pemimpin ini juga didorong untuk bisa mengayomi anggotanya selayaknya anak-anak.
ADVERTISEMENT
Jika tidak, ini bisa menjadi masalah juga dan akan dievaluasi oleh jajaran atas maupun anggota-anggotanya sendiri. Dalam pengambilan keputusan, para anggota maupun pemimpinnya perlu bersama-sama mendiskusikannya. Hal ini tercermin dari agenda rapat mingguan dan percakapan sehari-hari sebagai sarana untuk melakukan musyawarah.
Lantas, bagaimana konstruksi kekeluargaan menjiwai budaya organisasi di Indonesia bahkan sampai organisasi dengan lingkup yang kecil, yaitu di kampus? Bagaimana budaya ini mempengaruhi sistem, aktivitas, dan hubungan di organisasi tersebut?
1. Hubungan Bapak dan Anak
Ilustrasi ayah dan anak main sepeda. Foto: Shutterstock
Sedari kecil, saya selalu diajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua. Di rumah, saya ditekankan untuk tidak berbicara dengan nada yang tinggi kepada orang tua, menggunakan bahasa yang sopan, mematuhi apa yang mereka katakan, dan lain sebagainya. Hal ini pun ikut terbawa pada lingkungan sosial di mana saya menaruh hormat pada orang yang lebih tua dan ini juga terjadi pada masyarakat di sekitar saya.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia bersifat hierarkis. Nilai-nilai dan norma di dalam masyarakat Indonesia menekankan pada sikap dan perilaku yang sopan kepada orang yang lebih tua atau mereka yang memiliki jabatan tertentu. Penelitian Hofstede mendukung hal ini dengan menyatakan bahwa Indonesia memiliki power distance yang tinggi.
Hal ini turut menjadi budaya dalam organisasi di Indonesia. Kita perlu menunjukkan rasa hormat kepada senior dan otoritas. Gelar atau status merupakan sesuatu yang dapat dibanggakan dan sangat dihargai. Karyawan dengan jabatan yang lebih rendah perlu menyesuaikan kata-katanya supaya lebih pantas dalam berkomunikasi dengan seseorang dengan jabatan lebih tinggi. Begitu juga dengan sikap dan perilakunya.
Hal ini juga terjadi pada organisasi yang saya ikuti di kampus. Perbedaan posisi dan angkatan antara pemimpin dan staf memengaruhi hubungan keduanya. Seorang staf akan menyesuaikan gaya komunikasi dan sikapnya kepada pemimpinnya, yang biasanya ditunjukkan dengan kesungkanan dan kata-kata yang lebih sopan/pantas.
ADVERTISEMENT
Namun, staf tersebut juga mengharapkan ada peran ayah yang ditunjukkan kepadanya. Seorang pemimpin diharapkan mampu menunjukkan otoritasnya dalam mengambil keputusan dan mendampingi atau mengayomi para stafnya selama bekerja. Ketidakhadiran pemimpin di saat itu akan menjadi masalah bagi mereka.
Pada kedua kasus yang kita bahas ini, hal tersebut terjadi selayaknya hubungan antara bapak dan anak di suatu keluarga Indonesia. Hubungan antara pemimpin dan bawahannya di suatu organisasi bersifat timbal balik, di mana pemimpin mengambil peran sebagai bapak dan bawahan sebagai anak.
Pemimpin yang bertindak seperti seorang bapak, maka bawahan biasanya akan merespons dengan memposisikan dirinya sebagai anak. Seorang anak yang menunjukkan perasaan sopan santun penuh hormat kepada bapaknya (atasan) serta menunjukkan perasaan takut kepadanya.
ADVERTISEMENT
2. Kebersamaan dan Kepedulian
Satu tahun kepengurusan saya sebagai seorang staf berlalu. Melihat perlunya banyak perbaikan dan peningkatan pada organisasi, saya memutuskan untuk memberanikan diri dalam ajang pemilihan jajaran ketua untuk kepengurusan selanjutnya. Dengan berbagai tahap yang saya lalui bersama tim, akhirnya saya terpilih sebagai wakil ketua. Awal perjalanan cukup berat karena kami perlu merancang dan membangun fondasi perubahan.
Proses ini tidak hanya kami sendiri yang terlibat, tetapi juga kepala biro dan departemen lainnya. Dalam hal ini, proses pengambilan keputusan perlu melalui rapat bersama di mana masing-masing di antara kami menyampaikan pendapatnya dalam rangka mencapai konsensus.
Jika ada pihak yang tidak setuju, kami kembali melanjutkan diskusi untuk mempertimbangkan pendapat mereka. Keputusan baru bisa diambil ketika semua pihak dapat menerima atau mengompromikan pandangan mereka. Seperti yang saya katakan sebelumnya, kekeluargaan menjiwai budaya organisasi ini.
ADVERTISEMENT
Selain dalam pengambilan keputusan, budaya tersebut juga turut memengaruhi bagaimana hubungan antar staf, staf dengan atasan, dan antar atasan. Ketika suatu program kerja salah satu departemen berjalan, seluruh pengurus ini sangat diharapkan untuk membantu menyukseskan dan menunjukkan kehadirannya sebagai bentuk dukungan. Apabila ada yang sedang mengalami kesulitan, sudah seharusnya kami sebagai sesama pengurus menolongnya.
Hal ini juga tercermin pada budaya organisasi sebagian besar perusahaan di Indonesia. Orang Indonesia menghargai komunikasi tidak langsung dan sopan, serta menghindari konfrontasi langsung untuk menyelamatkan ‘wajah’ mereka. Menjaga keharmonisan kantor menjadi nilai utama bisnis di Indonesia.
Kebersamaan dalam pengambilan keputusan dalam organisasi atau dalam hal ini adalah musyawarah merupakan cara untuk menghindari kemungkinan konfrontasi dan terganggunya keharmonisan kantor dengan mencapai konsensus kolektif. Dengan ini, keputusan diambil tidak hanya untuk memuaskan salah satu pihak saja sehingga semua pihak melepaskan dan/atau mengompromikan pandangan mereka. Semua ini pada akhirnya bermuara untuk mencapai harmoni.
ADVERTISEMENT
Perusahaan/organisasi yang beroperasi di Indonesia perlu mengembangkan serta menyesuaikan gaya manajemennya agar dapat mengakomodasi preferensi lokal dan sesuai dengan konteks Indonesia. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan oleh manajer adalah hierarki sosial dan menjaga kehormatan individu yang merupakan permasalahan krusial.
Selain itu, disarankan bagi mereka untuk mempromosikan interaksi sosial di lingkungan kerja. Sebaiknya, manajer menghindari menggunakan teknik manajemen yang bersifat konfrontatif, seperti memberikan teguran atau kritik secara publik.
Praktik semacam itu dapat dengan mudah mengarah pada kondisi kerja yang tidak menghormati dan tidak kooperatif yang dapat berdampak negatif terhadap tingkat komitmen karyawan di Indonesia. Pada akhirnya, setiap organisasi perlu memperhatikan budaya masyarakat di mana ia beroperasi. Bagaimanapun, kita sebagai manusia harus menghargai perbedaan budaya ini dan menaruh kepedulian di dalamnya.
ADVERTISEMENT